Terkadang, saat saya sibuk mengejar-ngejar uang. Malah
dia lari sekencang-kencangnya. Akan tetapi, saat saya santai duduk diam.
Malahan dia mendekati saya dari berbagai arah. Bahkan memaksa saya menerima
kedatangannya.
#NasehatDiri
Uang itu penting
Siapa yang
tidak membutuhkan uang? Hampir tidak ada. Karena, semua orang, siapapun dia,
entah anggota DPR. Menteri. Gubernur. Satpam. Sopir. Guru. Dokter. Perawat. Pelukis.
penggali kubur. Designer. Tentara. pengawal pribadi. Petani. Dai. Pendeta, dan
orang-orang di sekeliling kita. Semuanya membutuhkan uang. Tentu termasuk Anda
dan saya di dalam nya, iyakan?
Berbicara
mengenai uang. Memang sesuatu yang sangat disukai oleh beberapa orang. Juga
tidak disenangi oleh sebagian kalangan. Suka dan benci. Ini terjadi akibat cara
seseorang berinteraksi dengan uang. Bisa jadi, lantaran memiliki pengalaman kurang
menyenangkan di masa lalu.
Seperti;
bangkrut, dibohongi, rumah tangga hancur gara uang, program orang tua (yang
memiliki otoritas), dan kejadian lain yang mengantarkannya kepada sikap
tersebut. Persis sebagaimana pernah saya alami. Dulu, saya kurang bershahabat
dengan uang—karena cara pandang saya
tentang uang—kurang memberdayakan hidup saya.
Dari
pengalaman itu, saya meyakini—bahwa uang itu bisa menjadi raja bagi seseorang,
atau sebagai budak—sangat tergantung, bagaimana cara orang tersebut menyikapi
dan memperlakukan uang?
Uang bukan prasyarat bahagia
Katakan saja
cara mengartikan tentang uang. Dalam setiap training pembahasan tentang belief dan value. Saya selalu menggunakan uang sebagai contohnya. Biasanya
intruksi yang sering saya arahkan berupa ”Bisa
Anda menuliskan sekarang menurut pendapat Anda sendiri—uang adalah…?”
Hasil dari
latihan ini, banyak ragam definisi terukir. Dan rata-rata peserta menyikapi
uang sebagai alat atau prasyarat kehidupan. Terutama syarat bahagia. Seperti;
“Uang adalah alat untuk memenuhi kebutuhan
supaya bahagia”.
“Uang adalah sesuatu yang sangat penting.
Tiadanya sama halnya hidup tak berarti”.
Anda pasti
bisa menyimak dua contoh di atas, betul? Bagaimana pandangan Anda mengenai
contoh tersebut? Kira-kira apa yang terjadi pada kehidupan orang yang mempunyai
pola pikir seperti itu? Kalau menurut saya—hidupnya cenderung hampa dan
menderita—tatkala uang mulai menipis di dompet, rekening, dan tempat
penyimpanan uang di rumahnya.
Memang,
bercakap tentang uang tidak akan ada habisnya. Dari cara menyikapi seperti saya
ceritakan di atas—hingga ke langkah-langkah memperoleh uang. Macam ragam topik,
kiat, trik, tips dan metode membahas tentang itu. Sementara sekarang, saya mau
sharing pengalaman saya dalam hal—misteri uang masuk dan keluar.
Self employee
Bila saya
meninjau konsep alur kas kuadran Robert T Kyosaki. Maka ada 4 kuadran tempat
uang berputar. Dan setiap kuadran memiliki cara masuk dan keluar. Demikian juga
ukurannya. Bahkan, jenis pertambahan dan perkembangan uang, juga dibahas dari
setiap kuadran tersebut.
Keempat kuadran
tersebut;
1. Employee (karyawan);
kuadran seseorang yang bekerja kepada orang lain. Dan dia bukan pemilik dari
pekerjaan tersebut. Uang masuk kelompok ini, terjatah dan terukur. Apakah
harian atau bulanan. Contoh pegawai negeri atau pegawai di perusahaan swasta.
2. Self
Employee (bisnis pribadi); Untuk kuadran ini, saya sulit menerjemahkan
ke dalam bahasa indonesia. Tapi intinya, self employee adalah mereka yang
bekerja menggunakan tenaga, pemikiran, dan kecerdasannya sendiri. Saya biasa
mempermudah dengan istilah—orang yang memperkerjakan diri sendiri.
Uang masuk
tidak terjatah dan ditentukan oleh orang lain, melainkan dirinya sendiri.
Seberapa besar jumlahnya, tergantung usaha yang dia keluarkan. Contoh:
Konsultan, Pengacara, Designer, dan lainnya.
3. Busness
Owner (Pemilik bisnis): ini adalah kuadran orang yang
memiliki bisnis dari hulu ke hilir. Aspek bisnisnya sudah tersistem. Sehingga,
tanpa keberadaannya, bisnis tetap berjalan. Bukan hanya itu, uang yang masuk,
terus saja mengalir, walau pemilik sedang jalan-jalan.
Contoh; saya
mempunyai seorang teman pemilik pabrik bola di Cibubur. Terkadang saat ada
meeting bukan tujuan usaha pabriknya, dia bisa ikut hadir. Bahkan, saya pernah
training bareng sama beliau di Surabaya. Sementara bisnisnya tetap berjalan,
karena sudah ada orang yang menjalankannya. Mudahnya, kita sering menamai
dengan pengusaha.
4. Investor (Penanam
Modal); Nah, kuadran yang terakhir ini, merupakan orang-orang mempunyai uang
gak tau harus dibawa kemana. Sehingga, dia menanamkan uangnya sebagai modal
untuk bisnis (usaha) menjanjikan keuntungan baginya. Sementara uang yang masuk
ke rekeningnya, hasil bagi dari keuntungan bisnis, tempat dia menanamkan modal.
Nah dari
keempat kuadran di atas, maka saya termasuk dalam kuadran kedua. Yaitu self employee. Orang yang bekerja untuk
dirinya sendiri. Bosnya, ya saya. Karyawannya juga, ya saya. Sehingga, jenis
uang masuknya tidak pernah jelas. Ketidakjelasannya berupa kepastian yang tak
terukur. Dan kelemahan kuadran ini, bila saya tidak bekerja, semakin pasti uang
tidak masuk (menurut nalar manusia).
9 dari 10 pintu rezeki
Sementara itu, mungkin Anda pernah mendengar—bahwa 9
dari 10 pintu rezeki itu tersebar dalam usaha perdagangan (berbisnis). Apakah
Anda setuju? Selain itu, Allah sendiri telah menjamin. Bila seseorang beriman,
maka Allah akan mengkaruniai rezeki untuknya, dari arah yang tak terduga.
Dan, terlepas Anda mau setuju atau membenarkannya.
Tetapi, berdasarkan pengalaman saya berikhtiar mendapatkan rezeki berupa uang.
Memang uang itu mendatangi saya dari arah-arah yang tak saya duga. Dan besar
kecilnyapun, juga tidak terukur dan tak terkira.
Meskipun
jenis usaha yang saya lakukan menyelenggarakan pelatihan publik. Atau, menjadi
pembicara di organisasi tertentu—untuk memberi motivasi dan mengoptimalkan potensi
dan kinerja karyawan—sudah jelas ukurannya. Tetapi terkadang, jumlahnya di luar nalar saya bentuknya.
Misteri uang masuk
Maksud saya,
sangat sering saya mengalami kejutan-kejutan dari Allah dalam hal pemasukan
(uang). Bila merujuk ke bayaran yang saya peroleh karena layanan (perjam) yang
telah saya berikan. Sungguh berbeda-beda jumlahnya. Ketidak konsistenan uang
masuk ini, membuat saya tersenyum sendiri.
Saya pernah,
training untuk 2 jam mendapat bayaran senilai Rp. 500.000,-. Namun di waktu
yang lain, durasinya sama, materinya juga sama, cuma berbeda perserta dan
organisasinya. Saya mengajar 2 jam dibayar Rp.3000.000,-. Sungguh asyikkan?
Bahkan, saya pernah hanya berbicara 30 menit di bayar Rp.500.000,- namun di
kesempatan yang lain, saya menerima kwitansi harus saya tanda tangani Rp.
2.000.000,-
Demikian
pula durasi sehari (6-8 jam). Saya pernah mendapat transferan sebanyak Rp.
1juta. Namun pernah saya cek di hp saya (sms banking), senilai Rp.13.000.000,-.
Memang, beberapa sudah jelas uang akan saya peroleh, karena klien menyetujui
dengan jumlah yang saya tawarkan dalam proposal pelatihan. Tapi ada juga yang
belum jelas, karena saya tidak mematok harga.
Sedekah pasti bertambah
Dari
pengalaman ini semua. Saya menyadari akan keyakinan bahwa janji Allah pasti—dalam
hal harta yang telah kita sedekahkan. Seorang teman malahan meyakinkan agar
mengajar penuh totalitas, meskipun mengetahui penyelenggara menghargai bukan
sesuai jumlah nominal semestinya (gratis). Karena, bila kita tidak dibayar di
satu event (tempat), maka itu pertanda, Allah sedang menyiapkannya di tempat
lain.
Mungkin, pengalaman
yang saya ceritakan di atas tadi. Merupakan bentuk realisasi nyata dari
pernyataan shahabat saya ini. Oleh karena itu, mari terus melakukan yang
terbaik. Apakah kita akan mendapatkan imbalan atau belum dari pekerjaan itu.
Karena, hakekatnya, energi yang lepas, sama dengan energi yang masuk. Dan
sesuatu yang telah ditetapkan untuk kita (hak), tidak akan pernah bertukar.
Bandung, 22 April 2012
Bagikan