Jumat, 30 Maret 2012

Nur Avelyna: Pelepas Lelahku


Air yang digunakan untuk berwudhu dengan syarat harus suci. Karena sesuatu yang suci bisa menyucikan. Begitulah bayi yang damai—sehingga, siapa yang mendekatinya merasakan kedamaian jiwa. 


Training Visi Hidup

Kamis, 8 Maret 2012. Saya mendapat kesempatan memberikan training tentang Visi Hidup dengan teman-teman Agent baru di Pru Power Vision, Sudirman. Seperti biasa, setiap training berlangsung, bila training sehari seperti yang saya laksanakan pada kamis kemarin. Biasanya acara selesai jam 17.00wib. Dan paling lambat sampai jam 18.00. Setelah training usai, sering juga terjadi diskusi personal dengan beberapa peserta pelatihan.

Kebiasaannya, saya baru pulang dari tempat pelaksanaan training, setelah melaksanakan shalat maqrib. Sebab, terlalu tangung bila langsung pulang. Sudah pasti tidak sempat shalat di rumah. Jadi, kalau bukan di ruang tunggu (lobby kantor), seringnya menanti shalat maqrib di Musholla perusahaan.

Setelah menunaikan ibadah shalat maqrib. Baru saya pulang kembali bertemu dengan istri dan anak tercinta. Selama dalam perjalanan, istri menanyakan kabar lewat sms. “Ayah, sudah di mana posisinya? Nanti, di depan, tolong beli kapas satu buat Lyna ya?”. 

Dari sudirman, saya menuju ke Halte Busway Dukuh Atas. Saya bersama penumpang lain menanti busway yang akan mengangkut kami menuju ke Ragunan. Setelah 15 menit menanti, busway tiba di dukuh atas. Selang satu jam kemudian. Saya tiba di halte busway pertanian. Saya turun melanjutkan lagi ke Ciganjur dengan angkot M20. Syukur angkotnya cepat penuh. Dan perjalananpun tidak terlalu macet. Jadi, dari pertanian 30 menit sampai di gang syarpa.

Biasanya saya langsung pulang tanpa membeli apapun, kecuali aqua gelas di warung terdekat. Namun, malam itu istri menitip pesan selain beli kapas, supaya saya membeli ayam goreng untuk lauk makan malam. Sayapun memesan ayam goreng satu potong di warung depan. Si penjual mengenal saya dan keluarga istri. Lalu beliau bertanya “Kok sendiri? Biasa bareng ma Ita (istri)?”. Sambil memanaskan minyak goreng di atas kompor.

Anak pelepas lelah

Ita gak ikut, baru melahirkan, tiga minggu”. Jawab saya sembari duduk menanti ayam selesai digoreng. Selanjutnya, penjual bilang sama saya “Oh selamat ya. Anaknya laki atau perempuan? Kok Ibu gak sampaikan apa-apa, padahal tadi ketemu di pasar?”. “Alhamdulillah perempuan” Jawab saya. Lalu, beliau melanjutkan komunikasinya “Alhamdulilah, mau laki atau perempuan, yang penting lahir dengan selamat. Kalau sudah punya anak sudah aman mas. Karena, anak bisa menjadi aspek pendamai bila orang tua sempat bertikai. Selain itu, habis pulang kerja, capek dan lelah rasanya hilang, saat melihat bayi. Mengendongnya, adalah terapi melepaskan beban”.

Ayam yang saya pesanpun, sudah matang dan terbungkus rapi. Saya keluarkan sejumlah uang dari kantong sesuai harga ayam tersebut. Dan saat jalan kaki dari depan syarpa hingga ke rumah. Kalimat penjual tadi terus terngiang dalam diri saya. Anak adalah pendamai. Dan anak merupakan terapi pelepasan beban. Sampai di rumah saya cerita sama istri. Lalu, saya menatap lama wajah putri saya sedang tertidur lelap. Sungguh, melihatnya tertidur pulas. Damai rasanya jiwa ini. 

Ternyata memang benar. Anak selain amanah dan memperlancar rezeki. Juga mendamaikan batin serta melepaskan beban lelah seharian berkerja. I love you Nur Avelyna.

Ciganjur, Kamis 8 Maret 2012
Bagikan

Senin, 26 Maret 2012

Mungkinkah Keinginan Dapat Terkontrol ?


Sekuat apapun kamu berusaha bahkan berdoa, matahari akan tetap berada di atas kepalamu. Hingga dia mengganti harimu menjadi malam. Sesuai kodratnya.
#NasehatDiri

Impian saya tercapai

Seorang teman pakar brain menagement and memory berkata, “Pengalaman pertama yang penuh emosi, akan selalu terkenang dan tertanam kuat dalam bawah sadar kita”. Bukankah Anda pernah mengalaminya? Sementara Anda mencoba mengingat-ngingat peristiwa itu, mata Anda terus tertuju pada kata-kata selanjutnya, dengan penuh rasa ingin tahu, sekarang.

Mungkin Anda sudah mengingat pengalaman itu, iyakan? Seperti 26 februari 2005, merupakan hari pertama dalam hidup saya, duduk di ruang tunggu keberangkatan Bandara Sultan Iskandar Muda. Waktu itu, saya menggunakan maskapai Adam Air. Serasa bagaikan mimpi, tapi itulah mimpi yang telah menjadi kenyataan. Allah wujudkan mimpi saya, sehingga bisa mengalami perjalanan dengan besi yang melayang di udara.

Sudah menjadi sifat dasar manusia, setelah keinginan yang satu tercapai, maka segera tercipta keinginan selanjutnya. Seperti, saya ingin mengalami perjalanan domestik selain dengan maskapai Adam air. Alhamdulillah, berkat izin Allah, itupun terwujud, dalam rangka perjalanan kerja ke luar kota.

Melihat pesawat di atas awan Aceh

Berbicara mengenai pesawat terbang. Saya yakin Anda sudah tau benda tersebut, kan? Setidaknya, Anda pernah mendengar suara pesawat terbang di atas awan sana. Dulu, semasa masih kecil, saat saya masih sekolah dasar. Setiap ada pesawat yang terbang melintasi Aceh, yang terdengar hingga ke kampung saya, desa Lambadeuk. Maka, kebiasaan saya bersama teman-teman adalah mencari tau dari mana arah suara itu, kemudian berusaha memperhatikan ke udara, di mana benda tersebut? Hingga tidak terlihat lagi oleh mata, dan suaranya menghilang terbawa angin. Masa kecil memang sangat mebahagiakan, betulkan?

Belajar menata keinginan

Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa penciptaan yang ada di bumi, semua ada makna dan manfaatnya. Seperti penjelasan ”rabbana ma khalaqta haza baathila, subhanaka faqina ’azabannar”. Demikianpula dengan cerita pesawat di atas. Pasti ada sesuatu yang bisa kita jadikan perumpaan. Anda pasti setujukan? Dan di antara perumpamaan tersebut ialah belajar menata keinginan.

Mungkin saja Anda bertanya, ada apa dengan keinginan, sehingga kita harus menatanya? Padahal, bukankah sudah kita fahami, tidak ada yang keliru dengan keinginan? Seperti cerita saya pada managemen keinginan (baca managemen keinginan.pen). Perumpaan pesawat ini sekedar untuk melengkapi kesadaran sebelumnya. Sehingga, pemahaman tersebut menjadi lebih kokoh. Bagaimana semestinya kita bijak dalam bersikap, berlatih diri menyadari dan memahami, setiap keingian yang timbul tenggelam, Mau?

Hargai proses; Cara meng”nol”kan keinginan

Inilah metafora yang sangat bagus untuk menjelaskan cara mengnolkan keinginan, yang disampaikan oleh Guru Gede Prama. Dalam sebuah pengajian, seorang pemuda bertanya ”Bagaimana cara agar saya bisa mengnolkan keinginan saya?” Sang guru memperhatikan, penanya masih muda seperti saya ini. Kemudian beliau menjawab;

”Cara mengnolkan keinginan itu seperti pesawat terbang. Anda tau kan pesawat terbang? Tatkala ingin melepas landas (take off), maka dia perlahan mempersiapkan antara kecepatan dan kapan tenaga pendorong digerakan  untuk melayang ke udara. Apa yang terjadi seandainya pesawat langsung menyalakan tenaga pendorong melayang ke udara, bila bukan pada saatnya? Pesawatnya jatuh.

Pun saat ia mendarat, pesawat tidak langsung menerjun kelandasan dan berhenti, tetapi perlahan-lahan sampai kelandasan penurunan penumpang. Apa yang terjadi bila pesawat dengan kecepatan tinggi terjun kelandasan dan berhenti? Pesawatnya hancur. Demkian pula dengan Anda yang masih muda. Belajar mengnolkan keinginan. Belajarlah perlahan-lahan, selangkah demi selangkah dan ikuti prosesnya.”

Bukankah cantik metafora di atas? Cara menggnolkan keinginan, dengan menyadari di mana posisi kita sekarang? Sehingga kita bisa melakukan proses yang tepat.

Tidak ada yang sia-sia

Dan, apa yang terjadi, saat Anda dan saya bisa mengambil hikmah dan pembelajaran dari setip peristiwa? Sungguh, setiap penciptaan yang Allah kreasikan penuh dengan makna dan pembelajaran. Bahkan, ciptaan manusiapun, terdapat pelajaran hidup, bila kita mau mengambilnya. Seperti penjelasan sang guru di atas, proses selangkah demi selangkah pendaratan pesawat terbang, dapat kita jadikan ibrah dalam menata keinginan diri kita. Karena, proses itu sifat alamiah alam. Dan Allah sendiri menciptakan alam ini dengan proses tersendiri hingga menjadi, kun fayakun.

Apakah Anda sedang menjalani prosesnya? Maafkan saya terlalu banyak bertanya. Semoga seluruh makhluk berbahagia di alam semesta.

Cinganjur, 9 April 2011
Mau berkomunikasi dengan saya? Follow @mind_therapist
Bagikan

Kamis, 22 Maret 2012

Antara Teori dan Praktek


Mengetahui tapi tidak melakukan. Sama saja artinya tidak mengetahui.
#Falsafah Zen

Kisah 9 Angsa dan Seekor Rajawali

Adalah 9 ekor bebek angsa sedang mencari makan di sawah pedesaan. Secara bergerombolan, mereka menundukkan kepala ke dalam sawah yang berair. Mulutnya terbuka celah sedikit untuk menyedot air dan makanan, sementara lidah bergerak-gerak menyortir, jika makanan, maka akan diteruskan ke perut dan air dikeluarkan kemabli melalui samping mulutnya.

Ketika sedang asyik-asyiknya mencari sesuatu untuk mengisi perut mereka. Terdengar suara dari langit “Kelik…kelik…kelik…”. Angsa muda, salah satu di antara mereka mencari-cari sumber suara dengan mengangkat kepalanya, melihat ke kiri dan kenan. Sementara suara itu semakin lama semkin mendekat. Kemudian, bebek mengangkat kepalanya lebih tinggi lagi, menengangah ke atas. Dia melihat ada yang mengepakkan sayap dan melayang-layang di atas sana.

Ingin belajar cara terbang

Lalu dia menyeletuk “Oh betapa senangnya”. Teman-temannya yang lain, keheranan dengan celetukannya. Mereka berhenti mencari makan. Kemudian, Angsa besar yang menjadi pemimpin bertanya “Apa yang kamu maksud, betapa senangnya?” “Itu yang sedang terbang”. Jawab angsa muda sambil menunjukkan kepada kelompoknya.

Angsa muda melanjutkan “Ketua, apakah kita bisa terbang seperti dia? Kitakan juga memiliki sayap?”. “Mungkin bisa, bila kita tau caranya”. Jawab angsa besar. “Bagaimana kalau kita minta Rajawali itu mengajarkan kita cara terbang seperti dia?” sahut angsa yang lain. “Setuju” kata angsa muda dan yang lainnya.

Karena sepakat untuk belajar cara terbang meringankan tubuh kepada rajawali. Kemudian 9 angsa tersebut menarik perhatian sang rajawali agar mendekat kepada mereka. Setelah dia mendarat, angsa besar menyampaikan niat belajar cara terbang, dan mengharap rajawali berkenan mengajarkan caranya.

Izinkan kami belajar cara terbang kepadamu”. Kata angsa besar dengan suara pelan penuh harap. “Baik”. Persetujuan sang rajawali. Selanjutnya Rajawali menjelaskan kepada mereka cara memanfaatkan sayap, menahan udara supaya bisa melayang, dan langkah-langkah lain supaya bisa terbang. Setelah menjelaskan teorinya, sang Rajawali memperagakan “Perhatikan, begini caranya”.

Teori dan praktek

Rajawalipun terbang dengan kaidah-kaidah yang telah dia jelaskan kepada 9 angsa tadi. Dan beberapa saat kemudian, dia kembali lagi bersama mereka. “Apakah kalian sudah mengerti?” tanya sang rajawali. Angsa muda menjawab dengan penuh semangat “Ya, mengerti”. “Kalau begitu, sekarang saat nya mempraktekkan”. Lanjut rajawabli.

Horee..hore..hore..” Angsa muda kegirangan. Tetapi berbeda dengan angsa besar dan yang lainnya. “Tidak, terima kasih rajwali. Kami sudah faham dan mengerti yang kamu jelaskan. Prakteknya besok saja, karena hari sudah sore”. Ucap sang angsa besar, sambil melangkah pulang ke rumah mereka.

Angsa muda, kenapa kamu masih berdiri di situ? Ayo kita pulang”. Ajak angsa lain yang sedang melangkah pulang. “Tidak, aku tetap di sini. Aku mempratekkan apa yang telah diajarkan oleh rajawali. Sampai aku benar-benar bisa”. Akhirnya, kedelapan angsa melangkah pulang, dan satu angsa muda, tetap bersama rajawali, asyik berlatih terbang.

Siapa yang menguasai?

Saya penasaran, menurut Anda, angsa yang manakah yang akan menguasai cara terbang dan bisa mengelilingi angkasa? 

Ciganjur, 22 maret 2012
Bagikan

Rabu, 21 Maret 2012

Semakin Menderita Semakin Bahagia


Bila kamu ingin tahu bagaimana nikmatnya seteguk air dan sepotong roti. Tanyakanlah kepada mereka yang pernah haus dan lapar.
#NasehatDiri

Ngantar istri ke Bidan Endang

Hari ini. Pagi sekitar jam 09.00wib. Saya mengantar istri dan buah hati kesayangan kami Nur Avelyna ke bidan Endang. Klinik persalinan bidan Endang tidak jauh dari tempat saya tinggal. Bila menggunakan motor bisa saya tempuh dalam waktu di bawah 10 menit. Kami ke sini bukan karena putri sedang sakit. Tetapi ingin menindik telinga dan memasang anting-anting di telinganya. Sekaligus melaksanakan khitan bagi putri kami tercinta.

Awalnya saya berharap, proses khitanan bisa dilakukan langsung oleh pihak rumah sakit. Akan tetapi, karena peraturan baru dari pemerintah, rumah sakit tempat istri saya melahirkan putri kami, tidak bisa melakukannya. Sementara tindik telinga, ada jadwalnya saat saya mengontrol si bayi dua minggu setelah persalinan. Namun, istri lebih memutuskan tindik telinga, sekaligus saat khitan saja.

Menanti tangisan bayi

Kemudian, pas sampai di klinik. Suasana masih sepi. Belum ada pasien lain yang hadir. Kecuali saya, istri dan Bu Le Saniah (Adik mertua). Depan klinik hanya terparkir sebuah mobil masih terselimuti oleh penutupnya. Terbungkus rapi. Tanpa menunggu lama, istri saya membaringkan putri kami ke atas tempat tidur. Supaya bidan Endang mudah menindik telinga putri kami. Entah suatu keuntungan atau patut kami syukuri. Saat itu, Nur Avelyna dalam kondisi tertidur lelap. 

Selama proses khitan dan menindik telingan, saya hanya duduk di luar. Sambil mempersiapkan diri mendengar suara tangisan bayi. Bisa Anda rasakan, bagaimana rasanya bila kulit telinga Anda dilubangi? Saya belum pernah merasakannya. Bagi Anda kaum hawa, pasti sudah melewati masa itu, iyakan?

Tidak seperti saya duga
 
Setelah bidan Endang selesai menindik kedua telinga. Kemudian beliau mempersiapkan alat lain untuk proses khitan. Anehnya, anak saya menangis bukan seperti dugaan saya. Tadinya saya mengira, putri kami akan menangis sekeras-kerasnya. Bahkan bisa menjerit lama. Akan tetapi, tangisan hanya sebentar pada proses melubangi telinga. Dan, saat khitanpun juga demikian. Bahkan, saat suntik BCGpun, bayi saya hanya menangis sebentar saja. Setelah itu, dia tidur lagi.

Sakit hanya memori

Peristiwa ini, mengingatkan kembali pada pembicaraan tentang  rasa sakit semasa masih di Bogor. Saat itu kami sedang berdiskusi tentang khitan juga. Dan, cakupan debat kusir itu berkisar antara kapan proses khitan yang tepat untuk anak lekaki? Apakah setelah kelas 6 SD atau masih kecil (bayi di bawah 1 tahun)? Lalu, dosen saya menyampaikan, rasa sakit yang kita rasa, itu hanya persoalan memori. Sakit atau tidak, tergantung bagaimana perbandingan emosi (rasa sakit) yang pernah terekam di memori. 

Selain itu, saya juga teringat cerita istri saya tentang keponakan kami (Anak dari saudara sepupu). Sang keponakan baru merasakan bagaimana rasanya sakit, setelah dia berusia 2 tahun. Itupun karena, saat dia sedang bermain dengan sepupunya. Saat itu, entah bagaimana kejadian persisnya. Kepala kebentur dengan mainan mereka. Sentak saja, tangisan luar biasa keluar dari suaranya. Kalau Anda ahli di bidang tarik suara, mungkin mengetahui berapa oktaf tinggi tangisannya saat itu.

Rupanya, sang anak berada dalam pengasuhan serba protektif dari orang tuanya. Saya menyadari, begitulah cinta dan sayangnya ibu kepada anaknya. Akan tetapi, dampaknya, sang anak terlambat mengalami dan menyadari rasa sakit. Sehingga, benturan sedikit langsung menangis. Mungkin sangat berbeda kejadiannya. Seandainya, dulu dia sempat merasakan benturan. Sehingga, memori hanya melakukan perbandingan, antara rasa dulu, dengan rasa yang sekarang dialami.

Semakin menderita semakin bahagia

Barangkali, ini juga merupakan contoh dari penjelasan teori rasa sakit yang pernah saya baca. Sang penulis buku menyampaikan, karena otak bekerja dengan cara membandingkan, maka, seseorang yang pernah mengalami penderitaan (emosi) mendalam, dengan sendirinya dia akan mengalami perasaan bahagia serupa. 

Dan itu sebabnya juga, saya memperhatikan orang-orang mempunyai sejarah hidup (ujian paling mendalam). Biasanya, setelah dia terus menjalani dan merenovasi emosinya, maka dia akan mengalami emosi sebaliknya (kebahagiaan). Pak Gede prama mengukir perumpaan itu dengan kata-kata indah menawan. 

Ujian hidup adalah vitamin bagi jiwa yang sedang bertumbuh.

Ciganjur, Senin, 27 februari 2012
Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist BB 270fe9b7
Bagikan

Selasa, 20 Maret 2012

Ketika Ilmu Ini Mulai Ditinggalkan


Semua yang hidup, hak baginya untuk mati. Lantas apa yang kurisaukan dalam hidup ini?
#NasehatDiri

Suatu pagi yang cerah, Nasruddin mengunjungi rumah gurunya. Seperti biasa yang dia lakukan. Setiap bulan, hampir 4 kali dia mengunjungi tempat gurunya untuk mengasah, mengulangi dan mendapatkan persepektif baru tentang pengalaman hidup yang dia hadapi. Biasanya Nasrudin selalu bercerita kepada gurunya.

Tetapi, pagi itu, wajah Nasruddin terlihat berbalut rona kegelisahan. Bagai bunga putri malu yang tersentuh daunnya. Rupanya, Nasrudin khawatir akan masa depan. Terutama aktivitas yang dia lakukan.

Nasruddin merisaukan masa depannya

Sang Guru memperhatikan wajah nasrudin yang murung seperti itu. Menyapa murid kesayangannya dengan canda “Din, menurutku pagi ini matahari sangat cerah menyinari semesta, jangan kau rusak keindahannya dengan raut kusam wajahmu itu. Apa yang terjadi dengan mu?”.

Kemudian, Nasruddin menceritakan perihal kegelisahannya kepada sang Guru. ”Begini guru, kemarin hari minggu. Aku baru saja selesai bertemu dengan teman-teman yang berprofesi denganku. Kami sharing satu sama lain, kondisi bisnis kami. Ternyata kami mengalami hal serupa. Produk yang kami tawarkan mulai berkurang peminatnya.

Bahkan, ada di antara kami yang mengungkapkan, dia tidak mau memakai embel-embel ilmu yang kami pelajari yang menjadi pintu rezekinya selama ini, pada setiap penawaran produknya. Ke depan, saya harus membuat program baru, dan sepertinya memang harus belajar ilmu baru”.

Ini tentang keyakinan kepada diri

Karena sang guru penuh arif dan bijaksana, kemudian beliau berusaha menghargai dan menghibur perasaan Nasrudin dengan menjawab ”Din, menurutmu siapa yang akan menggunakan program yang kamu tawarkan, sementara kamu sendiri, tidak yakin dengan nya?” Mendengar jawaban itu nasrudin mulai berfikir. Ini bukan persoalan program, tetapi keyakinan dalam diri.

Sang guru memperhatikan perubahan rona wajah dan tatapan mata pada diri Nasrudin, akibat pertanyaan kontemplatif dari gurunya. Beberapa saat berlanjut, sang guru meneruskan.

Din, kamu ingat ini ya. Bisnis yang kamu jalani adalah bisnis ketidakpastian. Sehingga, kelumrahan dan kealamiahan dengan fenomena yang kamu alami, seperti yang terjadi sekarang. Dan harus kamu sadari, dunia tidak selamanya siang, dan juga tidak selalu diselimuti oleh malam. Kalau semua keinginan dan harapanmu harus terjadi, maka dunia lebih parah dari sekarang.”

Ketika Al-Quran mulai ditinggalkan

Tambahan jawaban sang guru, semakin membangkitkan kesadaran dalam diri Nasrudin. Sampai Nasrudin bertanya kepada dirinya. ”Bila demikian pasalnya, apa sebenarnya yang aku risaukan?

Pikiran Nasrudin belum sempat menjawab, sang guru menambahkan lagi ”Din, Rasulullah pernah bersabda, yang maknanya, Akan datang suatu masa, di mana umat akan meninggalkan (melupakan) Al-Quran. Bila Al-quran saja akan ditinggalkan, apalagi ilmu dan program-program yang kamu buat dan teman-temanmu kerjakan itu Din?” Mendengar hal tersebut, Nasruddin hanya diam.

Ciganjur, 18 Oktober 2011
Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist I 270fe9b7
Bagikan