Sering sekali saya membesar-besarkan masalah hanya
persoalan sepele dan remeh temeh. Seperti mencium bau ketut di keramaian.
Padahal cukup menutup hidung, selesai urusan.
#NasehatDiri
Bagi
yang hidungnya masih normal—kemampuan membaui dan mencium setiap orama—pasti
merasa bermasalah, jika ada bau tak sedap terhirup olehnya. Sebut saja, seperti
Anda yang pernah melewati area waduk airnya jarang di ganti. Atau got yang
tidak pernah tersentuh oleh tangan manusia.
Dan
bagaimana jika bau yang kurang enak tercium itu adalah bau badan. Tentu
bermasalah juga bukan? Mungkin, tidak akan terlalu bermasalah, jika bau badan
tersebut merupakan bau badan kita sendiri. Tapi bagaimana kalau bau itu datang
dari tubuh orang lain? Mungkin juga sama—it’s
no problem—asal, orang itu keluarga sendiri.
Lalu,
apakah akan terjadi respon serupa? jika bau badan itu datang dari orang yang
belum anda kenal. bahkan, bau badan itu Anda menciumnya di tempat umum.
Katakalah seperti saya alami tadi pagi. Saat perjalanan menggunakan busway
menuju BPPT dekat Sarinah. Saya sudah berada dalam bis posisi duduknya
menyamping itu, berawal dari halte Ragunan.
Penumpang
bermode rambut Charlie ST12
Ceritanya,
ketika busway merapat di halte warung jati. Ada seorang pemuda, usianya sekitar
23 tahun. Dia menggunakan baju kaos berlengan panjang berkain katun tebal. Di
belakang punggungnya ada tas ranser memeluk erat tubuhnya. Laki-laki ini
mempunyai rambut bermode seperti Charlie mantan vokalis ST12.
Saya
duduk di kursi sebelah kiri paling belakang. 4 kursi di samping kanan saya,
sudah terisi oleh 3 orang. Sehingga, pas antara saya dan 3 orang kosong. Di
kursi kosong inilah, landasan pendaratan pantat lelaki beramput seperti
Charlie.
Waktu
itu, saya sedang asyik membaca memoar Stephen
King On Writing. Namun, begitu bis melanjutkan perjalanan ke halte
selanjutnya, hingga ke tujuan terakhir Dukuh Atas. Hidung saya mencium bau yang
tak asing. Aromanya seperti saya habis berlari berkeringat, namun saya
mengenakan baju yang bisa menyerap keringat. Nah, bisa Anda cium sekarang
seperti apa bau yang saya cium? Ya. Bau baju berkeringat yang telah mengering.
Merekayasa
pikiran
Sungguh,
kosentrasi saya tergoda. Antara memfokuskan ocehan King dalam memoarnya atau
mengelola bau yang saya hirup. Saya berusaha menggunakan ilmu rekayasa pikiran
yang saya pelajari. Saya mencoba mengakses bau durian yang terekam dalam memori
saya. Namun sayang. Rekayasa saya kalah dengan kenyataan bau berterbangan dari
orang samping kanan saya.
Akhirnya
saya mengalah. Ketika bis berhenti di halte Gor sumantri. Banyak kursi kosong.
Termasuk enam kursi belakang saya duduki. Sehingga, hanya tinggal saya, samping
kanan, dan penumpang samping kanan dari lelaki berambut Charlie. Saya
memperhatikan dengan mode periveral. Penumpang samping kanan Charlie, sudah
menggeserkan pantatnya, paling kanan bis. Sementara orang samping kirinya,
masih mencoba-coba menahan. Meski akhirnya pindah juga.
Tidak
tau diri atau?
Meski
seperti itu. Pikiran saya mencoba merangkai bingkai indah dari peristiwa
tersebut. Bingkainya berupa pembelajaran. Yakni, betapa saya merasa terganggu
oleh bau tak sedap itu. Padahal, bau itu juga sangat mungkin bagi tubuh saya
memproduksinya. Siapa pun orangnya, selama keringat masih bisa berkucuran dari
badannya. Maka, dia termasuk golongan penghasil cairan tubuh keluar dari
pori-pori.
Efek
samping persoalannya adalah, bukan hanya tidak suka terhadap bau itu.
Terkadang, pikiran ini lebih dahulu tampil dengan kesombongannya. Berlagak
seperti orang paling benar dan sok suci. Akibatnya, penghakiman “dasar orang tidak tau diri” lahir dari
rahim mesin produksi ide.
Hanya
karena terpaksa
Sehingga,
kalau saya pikir-pikir. Sekarang bukan lagi perkara bau badan. Tapi bergerak
menuju bau penghakiman tau diri dan tidak. Padahal, secara akal sadar. Jarang
bahkan hampir tidak ada. Saat keluar dari rumah, berangkat menuju tujuan. Ada
orang yang dengan sengaja, menaburkan aroma kurang sedap pada tubuhnya. Kecuali
terpaksa.
Maksudnya?
Barangkali Anda bertanya seperti itu. Ya. Hanya karena kondisi mendesak
seseorang akan tetap berada dalam lautan bau keringat. Mengapa? Karena orang
tersebut tidak punya uang untuk beli farfum. Dan mungkin, dia tidak punya
tempat tinggal untuk membasuh tubuhnya. Bisa tidur di atas kursi taman saja,
sudah menguntungkan baginya.
Bukan
berarti saya mengatakan seperti itu nasib orang yang duduk samping kanan saya
tadi. Akan tetapi, dari keseluruhan penampilannya. Saya menduga, dia adalah
pekerja bangunan yang hijrah dari satu proyek ke proyek yang lain. Sehingga,
jika saya berada di posisinya. Mungkin akan mempertimbangkan seribu kali
membeli farfum meski harga Rp.10.000,-. Sebab uang 10ribu setara sekali makan.
Itu lebih penting.
Apalagi
menjadi tukang bangunan. Tidak berangkat setiap hari ke kantor. Seperti saya
yang menaiki busway ketika berjumpa dengan teman. Kadang berangkat ke toko buku
tempat saya berekreasi. Dan jika ditinjau dari sisi lain. Berkat bau badan ini.
Telah menghidupi ratusan rumah tangga. Hanya karena bau badan, ada orang
menjadi kaya karenanya. Lantaran bau badan, banyak orang bisa bekerja pada
perusahaan deodorant.
Bau badan
cukup menutup hidung
Akhirnya
saya menyadari. Terkadang persoalan remeh temeh seperti bau badan yang bisa
diselesaikan dengan menutup hidung atau pindah tempat. Malah saya sendiri
memribetkannya. Sehingga, dampak emosi bergejolak adalah dampak yang wajib saya
tanggung. Padahal, jika saya mau menggunakan logika saya lebih luwes.
Hakekatnya, tidak ada manusia mau badannya bau. Kecuali keadaan terpaksa.
Ciganjur,
Sabtu 2 Juni 2012
Bagikan