Rabu, 31 Oktober 2012

Cara Mendapat IDE Menulis


Mungkin Anda pernah mengalami seperti saya alami dulu dan seperti beberapa para penulis ternama saat pertama sekali mengawali karirnya sebagai penulis. Biasa, ada kendala mendasar saat memulai menulis. Sering sekali pertanyaan yang muncul "Apa yang mau saya tulis? dan Bagaimana mengawali sebuah tulisan?"

Nah, kali ini saya mau berbagi tips yang saya dapat dari seorang Coach Krishnamurti Mindset Motivator. Beliau pernah memberi tips kepada saya;

"Rahmadsyah, setiap kamu memposting kata-kata di wallmu, pastikan kamu mengyimpan atau menyalinnya di tempat lain. Kumpulkan saja secara rutin. Lalu, setelah seminggu, kamu baca kembali. Pecayalah, pikiranmu sangat cerdas untuk menggabungnya menjadi sebuah tulisan (tinggal menambah dan mengurangi)".

Tips yang beliau sampaikan, saya praktekkan sampai sekarang. Ternyata, memang, cukup mengumpulkan status, lalu menggabungkan, jadilah sebuah tulisan baru (New IDEA)--dengan menarik benang merahnya.

Jangan percaya tips ini sebelum melakukannya sekarang.

#Berbagi | www.rahmadsyah.com | 270Fe9B7

Bagikan

Selasa, 30 Oktober 2012

Cara Mengubah Takut Menjadi Berani



"Ketakutan itu lebih berat di kepala dari pada dipundak".
Ikhwan Sopa
 
Saya pernah mendengar beberapa orang memberi nasehat kepada temannya yang takut hal tertentu, sebut saja contohnya takut kecoa;

"Tidak perlu takut, itu kan binatang kecil, tidak mematikan. Kamu lebih besar dari dia lho. Kecoa itu tidak menggigit. Masa itu saja takut. Setelah kamu melawan ketakutan itu, pasti besoknya kamu tidak akan takut lagi". Demikian beberapa penggalan nasehat mereka.

Mungkin Anda pun pernah menasehati seperti kalimat-kalimat di atas. Dan pertanyaannya, apakah teman Anda itu berubah dari takut menjadi berani? Berdasarkan pengamatan saya kepada orang-orang yang mendapat nasehat di atas, malah memberi jawaban, "Iya, aku tau. Tapi aku gak berani".
 
Dan hasilnya, mereka tetap dalam pendiriannya. Tidak berani memegang, melihat atau mendengar binatang berwarna agak kecokelatan dan mempunyai dua antena bergerak-gerak di wajahya itu.

Mengapa bisa seperti itu?
Jawabanya mudah dan sederhana. Biar semakin mudah Anda fahami, saya mau mengajak Anda untuk bermain dengan saya sebentar. Anda mau kan?

Bayangkanlah, Anda sedang memakai kacamata ajaib. Bingkainya terbuat dari plastik berwarna hitam. Dan ukuran lensanya bulat besar menutupi seluruh mata Anda. Kemudian, yang menarik dari kacamata ini, lensanya berwarna biru. Sehingga, apa pun yang Anda lihat sekarang menjadi....???

Biar Anda sendiri yang menjawabnya. Sudah pasti biru semuakan? Nah, selanjutnya, Anda tetap sedang mengenakan kacamata ajaib ini. Sekarang, lihatlah kuku jempol kanan Anda? Apa warna kuku Anda?

Saya pasti bisa menebak. Warna BIRU yang Anda lihat. Meski sebenarnya Anda sangat mengetahui, bahwa kuku Anda berwarna putih transparan. Terkecuali
Anda mengecatnya. Akan tetapi, selama Anda masih mengenakan kacamata ajaib berlensa biru ini, maka, apa pun yang Anda perhatikan, menjadi bewarna biru.

Demikian pula dengan teman kita yang takut kecoa tadi. Dalam kepalanya, gambar yang tercitra tidaklah seperti kita yang berani memegang kecoa. Oleh sebab itulah, nasehat di atas tidak mengubah rasa takut dalam dirinya.

Cara mengubah kondisi takut
Lantas, bagaimana cara mengubah kondisi teman kita yang takut tadi menjadi berani? Berikut ini merupakan tehnik sederhana yang pernah teruji menyelaraskan kondisi takut menjadi berani.


  1. Kenali terlebih dahulu, bagaimana dia membayangkan atau pendapat dia mengenai kecoa? Dan cara mengetahuinya?
  2. Bertanyalah; 
  • Menurutmu kecoa adalah...? 
  • Saat mendengar atau melihat kecoa, apa yang terbayangkan dalam kepalamu?
  • Suara seperti apa yang kamu dengar? 
  • Dan bagaimana perasaan yang kamu alami?


Nah, jika kita kembali dengan kacamata ajaib di atas. Kalau kacamatanya Anda copot, apakah Anda masih melihat warna biru? atau seandainya Anda mengganti lensanya dengan lensa hitam. Warna apa yang Akan Anda lihat di sekitar Anda?

Demikian juga untuk membuat teman kita agar berani. Ubahlah bayangan, suara dan rasa yang dia alami saat mendengar, melihat atau memegang kecoa. Caranya, gunakan imajinasi saja.

Inilah cara yang biasanya saya lakukan untuk menyelaraskan ketakutan dalam diri saya dan klien-klien yang konsultasi kepada saya.
 
Note: Sebelum Anda mencoba mempraktekkan kepada teman Anda, pastikan teman Anda itu mau mengubah kondisi takutnya menjadi berani.

Ciganjur, Selasa 30 Oktober 2012
Bagikan

Minggu, 28 Oktober 2012

Inilah Dia Terapi Menulis



Hari ini, Rabu 6 Juni 2012. Pukul 07.30 wib. Saya sudah menyalakan laptop. Saya tunggu sejenak proses kesiapannya. Kemudian, saya arahkan kursor menuju tombol warna hijau pojok kiri. Dia berada tepat di sudut 90 derajat sisi kiri. Ada tulisan dari lima huruf. S.t.a.r dan t. Start. Kemudian muncul kotak berukuran 2 cm lengkap dengan beberapa list yang menghubung dengan program pc ini. 

Saya memencet link all program. Keluarlah semua program yang terinstal pada notebook berukuran 12 inci. Akhirnya saya memutuskan program Microsoft office, selanjutnya memilih Microsoft word. 5 detik kemudian, muncullah layar sisi kirinya seperti ada urutan huruf penggaris. Demikian juga pada sisi atas. Dan lengkap dengan item-item lain, yang mana saya tak mampu mendeskripsikannya.

Azospermi
Sebenarnya, pagi ini, saya mempunyai tugas yang mesti segera saya tuntaskan. Tugas tersebut menjadi agenda saya hari ini. Bahkan, tujuan saya menghidupkan notebook saya, sebenarnya untuk mengerjakan tugas tersebut. Akan tetapi, entah mengapa, naluri melaksanakan pekerjaan itu, hasratnya belum membara dalam diriku. 

Sebenarnya, saya bukanlah orang yang harus menuruti mood baru bisa bekerja. Namun, khusus pekerjaan yang berhubungan dengan kreatifitas—bila naluri kreatifitas itu belum ingin saya lampiaskan—maka, saat saya mengerjakannya, terasa seperti terpaksa. Efeknya, sang kreatif jadi mandul. Ya. Idenya benar-benar hampa. Orang biologi menyebutnya azospermi.

Terapi menulis
Dari pada tidak mengerjakan apa pun. Akhirnya, saya memutuskan mengamalkan lagi gagasan yang saya posting di blog kemarin “Inilah Cara Mengatasi Galau”. Pada catatan tersebut saya bercerita tentang manfaat menulis untuk mengusir galau. Dan saat menulis ini, saya tidak menetapkan tujuan apa-apa. Sehingga, saya tidak tau, seperti apa wujud akhir dari catatan ini. Karena, saya menulis mengikuti emosi yang bergejolak di dalam diriku.

Itu pula alasan, mengapa saya memberi judul catatan ini—Tanpa Judul. Tapi, kalau Anda simak seksama, mungkin Anda setuju dengan bagian dalam diri saya. Tulisan ini lebih cocok dijuduli—Curhat. 

Nah, sampai pada paragraph ini, saya mulai miskin kata. Sebab, emosi yang ingin keluar, mulai tidak jelas bentuknya. Bukan karena ragam warna, akan tetapi, lantaran pergejolakan dalam diri tadi, sudah mulai memudar. Secara visual tergambarkan seperti acak-acak. Lebih parah lagi, abstrak. Acak-acakannya tidak jelas.

Mungkin, sudah waktunya bagi saya mengakhiri masa hidup tulisan ini. Alasannya, dada saya serasa sudah plong. Tidak ada yang tertahan. Oh ya, satu hal lagi. Saya anggap ini wajib saya beritakan kepada Anda. Ketika mau menamatkan karya ini, ada bisikan terdengar dalam kepalaku. Suaranya tidak terlalu keras, juga tidak kecil. Tetapi sangat jelas bunyinya terbesit, “Sepertinya, judul tulisan ini lebih cocok dinamai—writing therapy”.

Ciganjur, Rabu, 6 Juni 2012
Bagikan

Selasa, 23 Oktober 2012

Gara-Gara Bau Badan



Sering sekali saya membesar-besarkan masalah hanya persoalan sepele dan remeh temeh. Seperti mencium bau ketut di keramaian. Padahal cukup menutup hidung, selesai urusan.
#NasehatDiri

Bagi yang hidungnya masih normal—kemampuan membaui dan mencium setiap orama—pasti merasa bermasalah, jika ada bau tak sedap terhirup olehnya. Sebut saja, seperti Anda yang pernah melewati area waduk airnya jarang di ganti. Atau got yang tidak pernah tersentuh oleh tangan manusia. 

Dan bagaimana jika bau yang kurang enak tercium itu adalah bau badan. Tentu bermasalah juga bukan? Mungkin, tidak akan terlalu bermasalah, jika bau badan tersebut merupakan bau badan kita sendiri. Tapi bagaimana kalau bau itu datang dari tubuh orang lain? Mungkin juga sama—it’s no problem—asal, orang itu keluarga sendiri. 

Lalu, apakah akan terjadi respon serupa? jika bau badan itu datang dari orang yang belum anda kenal. bahkan, bau badan itu Anda menciumnya di tempat umum. Katakalah seperti saya alami tadi pagi. Saat perjalanan menggunakan busway menuju BPPT dekat Sarinah. Saya sudah berada dalam bis posisi duduknya menyamping itu, berawal dari halte Ragunan.

Penumpang bermode rambut Charlie ST12
Ceritanya, ketika busway merapat di halte warung jati. Ada seorang pemuda, usianya sekitar 23 tahun. Dia menggunakan baju kaos berlengan panjang berkain katun tebal. Di belakang punggungnya ada tas ranser memeluk erat tubuhnya. Laki-laki ini mempunyai rambut bermode seperti Charlie mantan vokalis ST12.

Saya duduk di kursi sebelah kiri paling belakang. 4 kursi di samping kanan saya, sudah terisi oleh 3 orang. Sehingga, pas antara saya dan 3 orang kosong. Di kursi kosong inilah, landasan pendaratan pantat lelaki beramput seperti Charlie. 

Waktu itu, saya sedang asyik membaca memoar Stephen King On Writing. Namun, begitu bis melanjutkan perjalanan ke halte selanjutnya, hingga ke tujuan terakhir Dukuh Atas. Hidung saya mencium bau yang tak asing. Aromanya seperti saya habis berlari berkeringat, namun saya mengenakan baju yang bisa menyerap keringat. Nah, bisa Anda cium sekarang seperti apa bau yang saya cium? Ya. Bau baju berkeringat yang telah mengering.

Merekayasa pikiran
Sungguh, kosentrasi saya tergoda. Antara memfokuskan ocehan King dalam memoarnya atau mengelola bau yang saya hirup. Saya berusaha menggunakan ilmu rekayasa pikiran yang saya pelajari. Saya mencoba mengakses bau durian yang terekam dalam memori saya. Namun sayang. Rekayasa saya kalah dengan kenyataan bau berterbangan dari orang samping kanan saya.

Akhirnya saya mengalah. Ketika bis berhenti di halte Gor sumantri. Banyak kursi kosong. Termasuk enam kursi belakang saya duduki. Sehingga, hanya tinggal saya, samping kanan, dan penumpang samping kanan dari lelaki berambut Charlie. Saya memperhatikan dengan mode periveral. Penumpang samping kanan Charlie, sudah menggeserkan pantatnya, paling kanan bis. Sementara orang samping kirinya, masih mencoba-coba menahan. Meski akhirnya pindah juga.

Tidak tau diri atau?
Meski seperti itu. Pikiran saya mencoba merangkai bingkai indah dari peristiwa tersebut. Bingkainya berupa pembelajaran. Yakni, betapa saya merasa terganggu oleh bau tak sedap itu. Padahal, bau itu juga sangat mungkin bagi tubuh saya memproduksinya. Siapa pun orangnya, selama keringat masih bisa berkucuran dari badannya. Maka, dia termasuk golongan penghasil cairan tubuh keluar dari pori-pori.

Efek samping persoalannya adalah, bukan hanya tidak suka terhadap bau itu. Terkadang, pikiran ini lebih dahulu tampil dengan kesombongannya. Berlagak seperti orang paling benar dan sok suci. Akibatnya, penghakiman “dasar orang tidak tau diri” lahir dari rahim mesin produksi ide. 

Hanya karena terpaksa
Sehingga, kalau saya pikir-pikir. Sekarang bukan lagi perkara bau badan. Tapi bergerak menuju bau penghakiman tau diri dan tidak. Padahal, secara akal sadar. Jarang bahkan hampir tidak ada. Saat keluar dari rumah, berangkat menuju tujuan. Ada orang yang dengan sengaja, menaburkan aroma kurang sedap pada tubuhnya. Kecuali terpaksa.

Maksudnya? Barangkali Anda bertanya seperti itu. Ya. Hanya karena kondisi mendesak seseorang akan tetap berada dalam lautan bau keringat. Mengapa? Karena orang tersebut tidak punya uang untuk beli farfum. Dan mungkin, dia tidak punya tempat tinggal untuk membasuh tubuhnya. Bisa tidur di atas kursi taman saja, sudah menguntungkan baginya.

Bukan berarti saya mengatakan seperti itu nasib orang yang duduk samping kanan saya tadi. Akan tetapi, dari keseluruhan penampilannya. Saya menduga, dia adalah pekerja bangunan yang hijrah dari satu proyek ke proyek yang lain. Sehingga, jika saya berada di posisinya. Mungkin akan mempertimbangkan seribu kali membeli farfum meski harga Rp.10.000,-. Sebab uang 10ribu setara sekali makan. Itu lebih penting.

Apalagi menjadi tukang bangunan. Tidak berangkat setiap hari ke kantor. Seperti saya yang menaiki busway ketika berjumpa dengan teman. Kadang berangkat ke toko buku tempat saya berekreasi. Dan jika ditinjau dari sisi lain. Berkat bau badan ini. Telah menghidupi ratusan rumah tangga. Hanya karena bau badan, ada orang menjadi kaya karenanya. Lantaran bau badan, banyak orang bisa bekerja pada perusahaan deodorant.

Bau badan cukup menutup hidung
Akhirnya saya menyadari. Terkadang persoalan remeh temeh seperti bau badan yang bisa diselesaikan dengan menutup hidung atau pindah tempat. Malah saya sendiri memribetkannya. Sehingga, dampak emosi bergejolak adalah dampak yang wajib saya tanggung. Padahal, jika saya mau menggunakan logika saya lebih luwes. Hakekatnya, tidak ada manusia mau badannya bau. Kecuali keadaan terpaksa.

Ciganjur, Sabtu 2 Juni 2012 


Bagikan