Minggu, 28 Oktober 2012

Inilah Dia Terapi Menulis



Hari ini, Rabu 6 Juni 2012. Pukul 07.30 wib. Saya sudah menyalakan laptop. Saya tunggu sejenak proses kesiapannya. Kemudian, saya arahkan kursor menuju tombol warna hijau pojok kiri. Dia berada tepat di sudut 90 derajat sisi kiri. Ada tulisan dari lima huruf. S.t.a.r dan t. Start. Kemudian muncul kotak berukuran 2 cm lengkap dengan beberapa list yang menghubung dengan program pc ini. 

Saya memencet link all program. Keluarlah semua program yang terinstal pada notebook berukuran 12 inci. Akhirnya saya memutuskan program Microsoft office, selanjutnya memilih Microsoft word. 5 detik kemudian, muncullah layar sisi kirinya seperti ada urutan huruf penggaris. Demikian juga pada sisi atas. Dan lengkap dengan item-item lain, yang mana saya tak mampu mendeskripsikannya.

Azospermi
Sebenarnya, pagi ini, saya mempunyai tugas yang mesti segera saya tuntaskan. Tugas tersebut menjadi agenda saya hari ini. Bahkan, tujuan saya menghidupkan notebook saya, sebenarnya untuk mengerjakan tugas tersebut. Akan tetapi, entah mengapa, naluri melaksanakan pekerjaan itu, hasratnya belum membara dalam diriku. 

Sebenarnya, saya bukanlah orang yang harus menuruti mood baru bisa bekerja. Namun, khusus pekerjaan yang berhubungan dengan kreatifitas—bila naluri kreatifitas itu belum ingin saya lampiaskan—maka, saat saya mengerjakannya, terasa seperti terpaksa. Efeknya, sang kreatif jadi mandul. Ya. Idenya benar-benar hampa. Orang biologi menyebutnya azospermi.

Terapi menulis
Dari pada tidak mengerjakan apa pun. Akhirnya, saya memutuskan mengamalkan lagi gagasan yang saya posting di blog kemarin “Inilah Cara Mengatasi Galau”. Pada catatan tersebut saya bercerita tentang manfaat menulis untuk mengusir galau. Dan saat menulis ini, saya tidak menetapkan tujuan apa-apa. Sehingga, saya tidak tau, seperti apa wujud akhir dari catatan ini. Karena, saya menulis mengikuti emosi yang bergejolak di dalam diriku.

Itu pula alasan, mengapa saya memberi judul catatan ini—Tanpa Judul. Tapi, kalau Anda simak seksama, mungkin Anda setuju dengan bagian dalam diri saya. Tulisan ini lebih cocok dijuduli—Curhat. 

Nah, sampai pada paragraph ini, saya mulai miskin kata. Sebab, emosi yang ingin keluar, mulai tidak jelas bentuknya. Bukan karena ragam warna, akan tetapi, lantaran pergejolakan dalam diri tadi, sudah mulai memudar. Secara visual tergambarkan seperti acak-acak. Lebih parah lagi, abstrak. Acak-acakannya tidak jelas.

Mungkin, sudah waktunya bagi saya mengakhiri masa hidup tulisan ini. Alasannya, dada saya serasa sudah plong. Tidak ada yang tertahan. Oh ya, satu hal lagi. Saya anggap ini wajib saya beritakan kepada Anda. Ketika mau menamatkan karya ini, ada bisikan terdengar dalam kepalaku. Suaranya tidak terlalu keras, juga tidak kecil. Tetapi sangat jelas bunyinya terbesit, “Sepertinya, judul tulisan ini lebih cocok dinamai—writing therapy”.

Ciganjur, Rabu, 6 Juni 2012
Bagikan