Kamis, 04 Oktober 2012

Dasar "Biadab Kamu"...

Apa yang Anda lihat?


“Peta bukanlah gambaran kenyataan sesungguhnya”.

Pikiran dan Perasaan
Beberapa bulan yang lalu, ada seorang teman mengirim pesan ke BB saya. “Kang, saya mau tanya dong. Bagaimana kita menyadari, apakah kita merespon secara pikiran atau perasaan terhadap suatu peristiwa?”. Saya membaca pesan itu kemudian sambil mengambil jeda sejenak. 

Saya pause bukan karena tidak tau jawabannya. Akan tetapi, saya sedang memikirkan, bagaimana cara saya menjawab, agar dia langsung faham.

Lalu saya membalas “Apakah Anda benar-benar mau tau cara menyadarinya?”. Saya melihat tulisan “…is writing…” di bawah nama profil BB saya. Itu tandanya, dia sedang memainkan jari-jemarinya. Kemudian terdengar suara “Teungg”. “Ya saya mau tau” dia berkata. 

Setelah itu, saya langsung memencet tombol “r” membalas pesan. Saya menulis dua kata. “Anjing kamu”. Tanpa ada penjelasan apa pun. Saya menunggu respon balasan. Namun, tidak ada status sedang menulis dari dia. Baru setelah dua menit kemudian, saya dapat feedback darinya “Kang Rahmad aja yang gelo. Saya kan manusia bukan anjing”.

Lalu saya memberi penjelasan. “Mohon maaf bila kurang menyenangkan ya. Tadi Anda bertanya bagaimana membedakan pikiran dan perasaan. Nah, mohon menjawab jujur. Pertama sekali membaca chat saya. Anda menglogikakan atau langsung merespon dengan perasaan?

Dia jawab “Iya sih kang. Tadi saya merasa kurang enak balasan dari Kang Rahmad. Tapi setelah itu saya pikir-pikir, saya kan bukan anjing. Saya manusia”. “Berarti sudah tau sekarang kan? Antara merespon menggunakan pikiran dengan perasaan?”. Saya lanjut mengetik sambil tersenyum sendiri. “Iya, kang, terima kasih ya”. Chat terakhir dari dia.

Aplikasi reframing
Sementara itu, hari ini, Rabu, 30 Mei 2012. Pukul 09.40 saya duduk di sebuah restoran depan Senayan City. Sambil menunggu teman yang mau janjian untuk meeting dengan pemberi projek pelatihan motivasi. Saya menyalakan laptop mungil ukuran 12 inci dan meletakkan di atas meja makan di depan saya. Di restoran ini, internetnya gratis. Jadi, saya bisa berselancar ke dunia ada tapi tiada (maya) sebebasnya.

Tab pertama saya entri pada ruang url mozila. www.facebook.com/rahmadsyah. saya lihat di pojok kiri atas, ada 40 notifikasi. Saya cek pemberitahuan dari fb ini. Di sana ada seorang teman fb menyebutkan nama saya pada komentarnya. Sehingga, terhubung dengan timeline pembicaraan.

Dia menulis, “Oh ya....? bang, tolong jawab pertanyaan saya soal reframing”. Lalu saya menelusuri statusnya di group NLP—di mana saya menjadi admin di sana. Saya membaca dengan seksama status yang dia tulis.
Saya membaca materi tentang reframing.... Frame adalah perspektif, cara seseorang memandang dan menafsirkan dunia sekitarnya. Sebuah cara pandang inilah yang kemudian membentuk ide, pikiran, ideologi, dan filosofi hidup. Sedangkan reframing adalah mengubah dan memperbarui perspektif/penafsiran terhadap situasi itu sendiri. pertanyaannya bagaimana aplikasi dari reframing itu sendiri?
Dasar biadab kamu
Lalu saya jawab, “Kamu mau tau aplikasinya ya? Dasar biadab kamu”. Selang dua menit kemudian, dia merespon “Shut up….” Selanjutnya dia menambahkan, “Situ yang biadab…jahanam…muka setan…”. Sungguh, membaca komentar balasan dari dia, saya tertawa sendiri. Dan saya berharap, dia segera memahami, serta, mengetahui cara mengaplikasikan reframing.

Sebagai bentuk tanggung jawab atas jawaban yang saya berikan. Maka, saya membantu menjelaskan pada komentar selanjutnya. (mirip seperti penjelasan chat di atas). Sampai saya mendapat pernyataan dari dia “Mmm… I see… Trims penjelasannya”. Saya menganggap, penjelasan saya selanjutnya itu sudah cukup baginya.

Belajar dari dua pengalaman ini. Pikiran saya menyelaraskan dengan obat penawar sakit dari dokter. Ada obat rasanya manis enak di lidah. Namun, ada beberapa rasanya pahit minta ampun. Kedua-duanya untuk menyembuhkan. Dan mungkin seperti itu juga setiap peristiwa yang saya alami. 

Bisa jadi peristiwa yang menyapa hari ini kurang mengenakkan awalnya bagi saya. Namun, justru setelahnya menjadi hal yang sangat saya syukuri. Contohnya saja tsunami yang sudah berlalu. Dan kebijaksanaan diri adalah, menempatkan sesuatu pada tempatnya. 

Jika demikian, masihkah saya menganggap derita sebagai musibah, dan bahagia adalah keberkahan? 

STC Senayan, Rabu, 30 Mei 2012

Mau mempelajari EFT secara GRATIS? Kunjungi www.trainingeft.com 
Bagikan