Sungguh,
rasanya patut aku sampaikan kepadamu terlebih dahulu. Bahwa, saat aku menulis catatan ini, tiada satu pun
ide—tujuan yang aku maksud ikat—aku ingin menulisnya.
Seperti kata
Stephen On Writing, ”Saat aku menulis, aku berusaha semaksimal mungkin,
saat aku membaca tulisan tersebut nantinya, akulah orang pertama yang terkejut, menikmati, dan
penasaran akhir ceritanya”.
Demikian juga yang aku alami saat ini. Aku berharap kamu
tidak heran, mengapa pada catatan ini aku menulis orang pertama dan kedua
menggunakan ”aku” dan ’kamu”. Sementara biasanya, kamu sering menemukan kata
”Saya” dan ”Anda” setiap aku mengemukankan tentang aku dan kamu.
Kali ini, aku hanya mengikuti. Ya, aku hanya mengikuti
kemampuan jiwaku. Aku tidak tau menamakan apa persisnya? Namun, yang terbesit
pertama sekali saat menulis tulisan ini, ada pun ide yang hadir dalam pikiranku
berupa, ”jiwa”. Jadi, jangan sesekali kamu mencoba bertanya ”Apa maksud jiwa di sini?”.
Aku sendiri tidak tau. Saya tidak dapat mendefinisikan
secara pasti. Seperti apakah jiwa ini? Biarkanlah. Aku tidak mau menghentikan
pasukan jari-jariku melakukan misi mereka—menulis dan menulis—hanya gara-gara
aku meimikirkan ”Apa yang terjadi padaku”.
Menulis adalah suatu kenikmatan jiwa. Menulis merupakan
wadah bagiku mengeluarkan pikiran dalam kepalaku. Dengan cara ini pula, aku
bisa mengetahui bentuk-bentuk perasaanku. Telepas terkadang aku tidak terlalu
mengenali pemberitahuan bawah sadarku.
Mengapa aku mengatakan pemberitahuan bawah sadar? Karena,
bagiku. Perasaan sesunguhnya gambaran dari isi bawah sadarku. Itu saja.
Sebentar, sebelum aku melanjutkan, dan kamu terus
membaca. Apakah kamu bertanya-tanya, ”Apa
hubungan antara paragraf 1-5 dengan 6?”. Apakah kamu bertanya demikian?
Izinkan aku memberi jawabannya. Tahukah engkau? Aku sendiri tidak tau.
Aku harap kamu menikmati saja tulisan ini. Seperti sudah
aku katakan. Aku sendiri tidak meniatkan, seperti apa akhir dari rangkaian kata
ini? Apa makna yang mau aku bagikan untukmu? Padahal, aku sendiri sungguh
penasaran. Bagaimanakah akhirnya nanti?
Bisakah kamu membayangkan keberadaanku saat ini? Sambil
menulis, aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Sementara di sisi lain, aku
tetap fokus dengan ”jiwaku” menuangkan ide-idenya.
Meski seperti itu. Si
”Editor” dalam diriku, tetap berusaha mengodaku. Dia merayuku menggunakan pedang penyesuaian kata
miliknya. Seperti pada kata ”meniatkan” di dua paragraf di atas. Awalnya aku
memakai kata ”memframekan”. Lalu, tiba-tiba saja aku menuruti kemauannya. Tapi,
sebenarnya, aku juga lebih menyukai meniatkan, daripada memframekan.
Hemmm, sepertinya, aku mau mengakhiri cerita ini. Ya, aku
mau mengakhiri saja. Dan, biar terbaca lebih
elegan. Maka, aku mau mengatakan. Inilah caraku melepaskan pikiranku. Dan
sekarang, kamu sangat mengetahui bagaimana menulis bebas itu kan? Dan bukankah
cara ini benar-benar membuat menulis semudah bernafas?
Ciganjur, Sabtu, 23 Juni 2012
Bagikan
