Rabu, 10 Oktober 2012

Follow Your Heart



Sungguh, rasanya patut aku sampaikan kepadamu terlebih dahulu. Bahwa, saat aku menulis catatan ini, tiada satu pun ide—tujuan yang aku maksud ikat—aku ingin menulisnya.

Seperti kata Stephen On Writing, ”Saat aku menulis, aku berusaha semaksimal mungkin, saat aku membaca tulisan tersebut nantinya, akulah orang pertama yang terkejut, menikmati, dan penasaran akhir ceritanya”.

Demikian juga yang aku alami saat ini. Aku berharap kamu tidak heran, mengapa pada catatan ini aku menulis orang pertama dan kedua menggunakan ”aku” dan ’kamu”. Sementara biasanya, kamu sering menemukan kata ”Saya” dan ”Anda” setiap aku mengemukankan tentang aku dan kamu.

Kali ini, aku hanya mengikuti. Ya, aku hanya mengikuti kemampuan jiwaku. Aku tidak tau menamakan apa persisnya? Namun, yang terbesit pertama sekali saat menulis tulisan ini, ada pun ide yang hadir dalam pikiranku berupa, ”jiwa”. Jadi, jangan sesekali kamu mencoba bertanya ”Apa maksud jiwa di sini?”.

Aku sendiri tidak tau. Saya tidak dapat mendefinisikan secara pasti. Seperti apakah jiwa ini? Biarkanlah. Aku tidak mau menghentikan pasukan jari-jariku melakukan misi mereka—menulis dan menulis—hanya gara-gara aku meimikirkan ”Apa yang terjadi padaku”.

Menulis adalah suatu kenikmatan jiwa. Menulis merupakan wadah bagiku mengeluarkan pikiran dalam kepalaku. Dengan cara ini pula, aku bisa mengetahui bentuk-bentuk perasaanku. Telepas terkadang aku tidak terlalu mengenali pemberitahuan bawah sadarku. 

Mengapa aku mengatakan pemberitahuan bawah sadar? Karena, bagiku. Perasaan sesunguhnya gambaran dari isi bawah sadarku. Itu saja. 

Sebentar, sebelum aku melanjutkan, dan kamu terus membaca. Apakah kamu bertanya-tanya, ”Apa hubungan antara paragraf 1-5 dengan 6?”. Apakah kamu bertanya demikian? Izinkan aku memberi jawabannya. Tahukah engkau? Aku sendiri tidak tau. 

Aku harap kamu menikmati saja tulisan ini. Seperti sudah aku katakan. Aku sendiri tidak meniatkan, seperti apa akhir dari rangkaian kata ini? Apa makna yang mau aku bagikan untukmu? Padahal, aku sendiri sungguh penasaran. Bagaimanakah akhirnya nanti?

Bisakah kamu membayangkan keberadaanku saat ini? Sambil menulis, aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Sementara di sisi lain, aku tetap fokus dengan ”jiwaku” menuangkan ide-idenya.

Meski seperti itu. Si ”Editor” dalam diriku, tetap berusaha mengodaku. Dia merayuku menggunakan pedang penyesuaian kata miliknya. Seperti pada kata ”meniatkan” di dua paragraf di atas. Awalnya aku memakai kata ”memframekan”. Lalu, tiba-tiba saja aku menuruti kemauannya. Tapi, sebenarnya, aku juga lebih menyukai meniatkan, daripada memframekan.

Hemmm, sepertinya, aku mau mengakhiri cerita ini. Ya, aku mau mengakhiri saja. Dan, biar terbaca lebih elegan. Maka, aku mau mengatakan. Inilah caraku melepaskan pikiranku. Dan sekarang, kamu sangat mengetahui bagaimana menulis bebas itu kan? Dan bukankah cara ini benar-benar membuat menulis semudah bernafas?

Ciganjur, Sabtu, 23 Juni 2012
Bagikan