Senin, 30 April 2012

Bercengkrama Dengan Alam


Suatu perisitwa, maknanya sangat tergantung pada suatu konteks.
#Kesadaran Makna

Terkadang saya bertanya kepada diri sendiri, “apa sebenarnya yang sedang aku lakukan?” saat mengkonsistenkan diri dalam aktifitas mengikat makna. Suatu ritual menulis pengalaman hidup, yang saya yakini bermakna bagi saya. 

Pertanyaan ini menyapa saya, bukan saja saat jari jemari menunjukkan keindahan goyangannya. Seperti tarian indah Agnes Monica. Akan tetapi juga setelah saya menulis ulang (baca mengedit) kata-kata yang telah terangkum pada ukuran kertas A4—dua sampai tiga halaman. Tulisan ini biasanya saya ambil dalam folder “Note Ruang Private” di driver :D.

Saya membaca perlahan-lahan, terkadang cerita sehari-hari itu tidak terlalu bermakna. Karena itu peristiwa kejadian rutin saya alami. Akan tetapi saya tidak memperdulikan hal itu. Saya terus mengikat makna. Entah itu berbobot, bagus, pantas, entah embel-embel lainnya. Saya berkomitmen tetap menuliskan pengalaman sehari-hari—meskipun cuma sebesar zarrah kebermaknaannya bagi saya.

Dalam Angkot 02 Pondok Labu-Lenteng

Saya sangat menyadari, bukan terkadang, tapi pantas saya sebut sering. Pengalaman yang saya abadikan, sangat remeh temeh. Sebut saja cerita—detik-detik saya pulang—dari memberikan pelatihan “Psychology of Money” untuk teman-teman karyawan dan therapist di Natura Clinic Depok. 

Hikayatnya, hari kamis yang lalu, 12 April 2012. Saya berkomitmen silaturahim dengan bang Aris Permana, pemilik Natura Clinic. Bentuk silaturahimnya, selain bertatap sapa, saya juga mengajukan diri membagikan sedikit pemahaman ilmu yang saya kuasai kepada team beliau. Harapan, menjadi manfaat dan keberkahan.

Alhamdulillah, silaturahim saya ke sana berlangsung dari mulai jam 11.00 hingga 13.00. Kemudian, selesai acara, kami makan bersama sambil ngobrol-ngbrol memperat hubungan pershahabatan di restoran depan Natura Clinic. 

Tidak lama setelah selesai menyantap aneka sambal dan ikan bawal di restoran tepat depan Natura Clinic, saya bergegas mohon pamitan pulang. Karena, sorenya, jam 18.00 saya akan mengajar kelas Ease Your Nervouse sesi kedua. Program reguler Public Speaking I Thantowi Yahya Public Speaking School di Mayapada Tower Sudirman.

Sebagaimana sering saya riawayatkan kepada Anda. Sekarang ini, saya masih menggunakan jasa angkutan umum untuk perjalanan menuju tempat pelatihan. Dan pulang dari Depok, saya naik Angkot 02 berwarna merah, Lenteng-Pondok Labu.

Nak Jangan Nakal

Nah, dalam angkot, saya mendapat pengalaman bermakna—tentang pola bahasa—dalam rahim pengasuhan anak. Begitu mobil saya tumpangi melewati pasar lenteng, ada ibu muda, suami dan anaknya baru berusia sekitar 4 tahun—menyetop mobil yang saya domplengi dan naik ke dalam. 

Bibir sang anak berwarna merah seperti luka terkoyak. Kemudian, ada seorang ibu-ibu dalam angkot berusia 50’an bertanya “Bibirnya kenapa?”. Sang ibu muda menjawab “Jatuh tadi pas lari-lari di pasar”. Kemudian ibu-ibu (50’an) menganjurkan supaya segera menabur gula pasir agar bibirnya cepat rapat kembali. Selang 400 meter kemudian, ibu muda bersama suami dan anaknya turun.

Lalu, si ibu-ibu (50’an) ngomong kepada anak kecil di sampingnya (dugaan saya cucu beliau). “Makanya Nanda jangan nakal—tidak lari-lari, bisa seperti itu”. Mendengar pola kalimat nasehat kepada anak seperti itu, telinga saya langsung terdengar bunyi sirene “wiew…wiew…wiew…” Tanda ada kurang beres. Maksud saya, ada sesuatu yang saya dengar—di mana menurut saya, kalimat tersebut kurang memberdayakan kepada pendengarnya. Terutama sang anak. 

Mari kita amati strukturnya “Makanya Nanda jangan nakal” (pikiran kreatif pendengar pasti menganalisa—jangan nakal terus apa dong?). Berarti, pola bahasa ini belum jelas intruksinya. Dan lebih parahnya lagi, sang ibu mengasosiasikan nakal dengan lari-lari. Sementara si anak juga melihat efek dari kondisi itu. Saya hanya mengira-ngira, bila nasehat ini berulang-ulang masuk kepada sang anak. Seperti apa reaksinya dalam hal “Lari”? 

Peringatan

Selama dalam angkot hingga sampai ke tempat tujuan. Saya mensyukuri sejarah ini. Karena, saya menyikapi peristiwa ini, tak ubahnya peringatan dari Allah. Agar saya mengkomunikasikan sesuatu kepada anak saya, dengan pola bahasa yang memberdayakan bagi perkembangan pikiran, emosi, dan perilakunya.

Ciganjur, 13 April 2012
Mari silaturahim, follow @mind_therapist I 270fe9b7 
Bagikan

Minggu, 29 April 2012

Budaya Partisipasi; Model Yang Manakah Anda?


Tulisan ini merupakan lanjutan dari Budaya partisipasi; 5 Tipe Partisipator sebelumnya.
Model yang manakah Anda?

Dari kelima model partisipator yang saya tuturkan di atas. Kira-kira, peran apakah yang rutin Anda lakoni? Kalau saya pribadi, sudah sangat ahli dan menjadi pakarnya model kelima—pendoa—terkadang saya lengkapi dengan model kedua, suka memberi ide. Sementara keempat, ketiga dan pertama. Sesekali saya lakukan.

Sementara itu, penjabaran kelima model di atas bukanlah sesuatu yang despotis (absolut). Akan tetapi, pecirian di atas, semata-mata berdasarkan pengalaman saya sahaja dalam melakoninya. Selain itu, penuturan setiap modelnya, merujuk kenyataan di lapangan. 

Dan saya ingin menegaskan. Kelima model partisipator di atas, dalam setiap panggung, selalu hadir kelimanya. Dan setiap pemeran—Anda juga saya—mempunyai kesempatan yang sama untuk memutuskan, apa lakon yang mau kita persembahkan? 

Oleh karena itu, ini berarti, pemutusan model partisipator pertama, kedua, ketiga, keempat atau kelima. Termasuk dalam ranah pilihan. Sehingga, bukan berarti seseorang itu hanya menjadi model partisipator pertama atau kedua. Tetapi, setiap orang sebenarnya mampu dan bisa membintangi sebagai keseluruhan model partisipator ini. Hal yang membedakan satu dan lain, karena faktor keputusan saja. 

Tersadarkan

Kesadaran ini baru saya ketahui, setelah saya memegat untuk berpartisipasi sebagai relawan, pada kegiatan milist pengusaha yang saya ikuti. Dalam undangan bersifat ajakan kontribusi itu tertulis catatan di bawah. 

Bagi Anda yang berniat berpartisipasi ide spektakuler sekedar sanggahan tanpa solusi, kami ucapkan terima kasih. Dan kami sangat menghargainya. Juga, untuk Anda yang menyatakan bersedia menjadi relawan, namun hanya membantu doa. Ribuan terima kasih untuk Anda. Sekarang ini, yang kami butuhkan relawan yang siap secara waktu, tenaga, fisik dan uang. Karena penyanggah dan pendoa, sudah waiting list”.

Pengalaman ini sungguh membuka mata kesadaran saya. Dan membangunkan saya dari tidur. Saya terbangun dari tidur panjang kekeliruan berpikir kepantasan berpartisipasi. Sebab, mana ada hari ini orang yang tidak pernah mempunyai waktu? Sesibuk apapun orangnya, hakekatnya dia memiliki waktu luang. Kecuali ingin menyandangi diri sebagai orang sok sibuk.

Apakah benar?

Selanjutnya, ide juga demikian. Apakah ada orang yang bisa berpikir tidak mempunyai ide? Memang benar, ide itu ada yang berbobot dan kurang cocok. Namun, bagi saya, kepantasan pemikiran, merupakan ranah berbeda dengan berkontribusi. Uang dan tenagapun juga demikian. 

Masa iya tidak mempunyai uang Rp.1000,- pun? Dan sangat lucu juga, bila tidak mempunyai tenaga. Terkecuali sedang sakit. Apalagi berdoa, ini sudah jadi ahli tanpa harus ikut kursus sampai ke luar negeri. Cukup mengawali dengan kata “semoga” dan “mudah-mudahan”, kata pengikat selanjutnya, menjadi penggalan doa.

Hal yang patut saya pertanyakan kepada diri saya sebenarnya, apakah saya mau? Itu saja fokusnya. Dan asbab manusiawi menjadi variable terikat dengan kamauan, sehingga pengaruhnya sangat erat—karena faktor perbandingan. Apa untungnya bagi saya? Virus anti sosialnya masih membadan dalam diri. Selayaknya, anti virus yang tepat dalam ruang ini adalah “apa kontribusi yang bisa saya persembahkan?”.

Siapa partisipator terbaik?

Kemudian, di antara kelima model parsipator tadi. Model partisipator manakah yang terbaik? Bagi saya, ini bukanlah adegan yang tepat menghargai terbaik dan menghukum terjelek. Apalagi mengalamatkan salah dan benar. Karena, sesuatu yang benar-salah, baik-buruk, terjadi bila berada pada tempatnya. Wajah lainnya—sesuai konteksnya masing-masing.

Demikianpula dalam hal berpartisipasi. Sungguh menjadi baik—bila kita memutuskan menjadi partisipator sesuai kewajaran. Namun, kalau memang mempunyai waktu, tenaga, ide, uang dan doa. Alangkah sempurna sekaligus kita perankan. 

Begitupula sebaliknya. Seandainya bersamaan fragmen itu, waktu kita sangat padat, dan tenaga belum bisa kita berikan karena belum mungkin hadir. Pemikiranpun, terporsir seluruhnya untuk pekerjaan. Maka, usahakan uang dengan jumlah wajar patut kita berikan. Dan jangan sampai, berdoapun tidak bisa kita panjatkan. Sungguh, amat memprihatinkan bila ini terjadi.

Dan paling memprihatinkan, orang yang merasa—lebih dari cukup—dengan kontribusi ide dan doanya. Padahal memiliki waktu, sehat fisiknya, uangnya siap untuk didermakan. Inilah wujud saya yang dahulu. Oleh karena itu, menentukan prioritas hidup, merupakan syarat utama memudahkan kita memutuskan, model partisipator seperti apa yang akan kita perankan?

Ciganjur, Selasa 4 April 2012
Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist I 270fe9b7
Bagikan

Sabtu, 28 April 2012

Budaya Partisipasi; 5 Tipe Partisipator


Catatan ini merupakan lanjutan dari Budaya Partisipasi 1 sebelumnya.
 
Berdasarkan pengalaman yang telah menjadi pengamalan pribadi. Ada 5 model partisipator pasti muncul setiap adegan spektakuler kerja sosial ini.  

Partisipator waktu

Pertama, model partisipator waktu. Maksudnya, partisipator ini dalam setiap kegiatan murni sosial. Tanpa ada embel-embel komersial di dalamnya. Dia pasti memenuhi setiap menerima ajakan untuk mengikuti acara tersebut. Alasannya, secara waktu memang orang ini memiliki waktu luang lebih. Akan tetapi, kehadirannya jelas sebagai namanya partisipator. Dia hanya berpartisipasi tanpa melakukan apapun. 

Bila di acara tersebut suasannya berdiri. Maka dia berada di garis paling belakang. Seandainya duduk lesehan. Maka tempatnya bersadar di dinding atau tiang penyangga. Dia hadir tapi tak bermakna apa-apa. Aneka respon acap kali dia berikan “InsyAllah saya hadir”.

Partisipator Ide

Kedua, model partisipator ide. Partisipator semacam ini. Tatkala menerima undangan untuk berpartisipasi, langsung menjawab iya. Dan dia menawarkan kontribusinya berupa ide-ide semata. Jawaban sering terucap olehnya “InsyAllah saya siap bantu pemikiran”. Hal ini terjadi, karena dia merasa dirinya berkompeten di bidang tersebut. Barangkali juga, lantaran profesinya tukang memberi saran. Maka, amal bernilai ibadahpun dia kerjakan seperti kerapnya. 

Partisipator Uang

Ketiga, model partisipator uang. Tipe seperti ini sudah jelas. Dari rumah yang dia tempati saja, atapnya lebih tinggi dari perumahan sekitarnya. Bahkan, menara mushola saja kalah jangkung. Tembok pagarnya, sejajar atap rumah tetangga. Kendaran dia gunakan ke tempat kerja, mengantar anak ke sekolah, dan menemani istri belanja ke Mall. Setera dengan nilai 3 rumah tetangganya.

Jumlah nominal partisipasinyapun, bila dikonversikan dengan pendapatan rata-rata pegawai biasa. Orang-orang sering mengistilahkan dengan “Sedekahnya saja 3 tahun aku bekerja”. Kenyataannya, memang dia memiliki uang melebihi dari cukup. 

Akan tetapi, terkadang, mereka menempati gubug. Alat transportasinya motor bebek biasa, malahan menggunakan kayuhan kakinya. Bahkan berjenis tafak (tapak kaki maskudnya). Dan, setiap menperoleh ajakan ikut ambil bagian, dia sering merespon “Dana atau biayanya butuh berapa?”.

Partisipator Tenaga

Keempat, model partisipator tenaga. Tenaga yang saya maksud di sini, langsung melibatkan diri secara utuh. Fisiknya ada dalam setiap pementasan. Ciri orang ini, biasanya sering disebut-sebut sebagai pribadi-pribadi yang talk less do more. Sedikit bicara banyak kerjanya. Bukan NATO. No Action Talk Only

Cendrung juga, tidak memilih-milih kerjaan. Selama dia mampu, maka dia akan mengerjakannya. Bila mengetahui, dia bertanya kepada yang makfum di situ. Seandainya peran tersebut sangat riskan, memang harus ahlinya yang melakukan. Baru dia diam, menyimak, memperhatikan, agar bisa melakukannya. Sikapnya terhadap kegiatan bakti ini, berpola pertanyaan “Bagaimana kalau pagar ini saya yang merapikan? Selain inipun, insyAllah saya siap”.

Partisipator Doa

Kelima, model partisipator doa. Model yang terakhir ini, terlihat agak religius. Terkadang terdengar lumayan spiritualis. Kontribusinya sudah sangat jelas Anda fahami. Dan tanpa perlu ceramah panjang lebar, saya yakin Anda sudah mengerti. 

Doa adalah munajat kepada sang khalik, berupa permohonan atau bentuk syukur. Biasanya, kalimat terucap dari mulutnya setelah mendengar kabar himbauan partisipasi “InsyAllah saya bantu dengan doa”. Bahkan kadang kala kontan merespon “Semoga lancar, mudahan-mudahan berhasil”.

Bersambung ke Budaya Partisipasi 3

Ciganjur, Selasa 4 April 2012
Bagikan

Jumat, 27 April 2012

Budaya Partisipasi


Sebaik-baiknya manusia, yang bisa bermanfaat bagi sesamanya (untuk semesta, hewan, tumbuhan dan manusia).
#Mahfudhot

Gotong royong

Mungkin Anda masih ingat. Pada jaman orde baru. Atau era pemerintahan kepemimpinan almarhum Soeharto. Sangat sering terdengar himbauan di masyarakat tempat kita tinggal, agar bergotong royong. Hampir sebulan sekali, pasti ada hari khusus, warga berkumpul bersama. Entah di mushola (menasah), kantor kepala desa, atau tempat biasa digunakan untuk bersatu bagi warga. Kemudian melakukan aktifitas membersihkan, merapikan, serta memperbaiki—agar terlihat cantik, rapi, dan menawan—di tempatnya masing-masing. 

Saya tidak tau, apakah sekarang masih sering terjadi? Seingat saya, sebelum saya hijrah ke Jakarta dan harus berganti kartu idenditas. Tepatnya semenjak referendum 1998 di Aceh. Budaya gotong royong ini mulai berkurang intensitasnya. Hal ini bisa terjadi karena, kondisi keamanan yang tak jelas terangnya. Dan belum pasti kejernihannya.

Berbicara mengenai gotong royong. Ada fenomena menarik terlihat oleh panca indera saya. Performance ini sangking seringnya, saya bisa mengingat meski memejamkan mata. Yaitu, laku setiap pelakon dalam pangung gotong royong.
Sehingga, setiap adegan pemantasan. Saya mencari-cari peran yang sering muncul. Terkadang dibintangi oleh pemain yang sama. Kadangkala diganti oleh pemeran yang lain. Mata saya rutin merekam sketsa ini. Semenjak saya masih SD hingga SMP.

Ketika saya mulai beranjak dewasa. Di mana beban gotong royong tadinya hanya sebagai penonton hukumnya sunnah. Sekarang beringsut status menjadi wajib. Lakon-lakon yang tidak jarang saya saksikan semenjak kecil, mulai saya perankan. Kalau dulu saya menjadi penonton, sekarang saya yang menjadi aktornya. 

Semakin bertambah usia, tambah sering saya membintangi peran-peran dalam skenario drama ini. Dari menjadi pemain figur, hingga menjadi tokoh utamanya. Akan tetapi, istilah gotong royong. Begitu jaman orde baru bubar. Tepatnya diminta turun secara paksa. Maka, atribut-atributnya juga ikut lengser. Termasuk di dalamnya, budaya gotong royong.

Berubah nama

Akan tetapi, meski budaya kerjasama masyarakat dilabel dengan gotong royong itu runtuh. Tetap saja, pada hakekatnya kegiatan menyamakan pekerjaan itu selalu ada. Cuman bajunya saja yang berganti. Tak ubahnya satria baja hitam. Bisa menjadi Rx Bio dan Robo. Kalau dulu gotong royong bajunya, sekarang kerja bakti. Sehingga, dalam intruksinya pun, ajakan perintah “wajib” bermetamorfosis menjadi “mohon kesediaan” partisipasinya.

Luar biasanya. Partisipasinyapun semakin meluas konteksnya. Karena, selain untuk kerja bakti. Embel-embel kerja sosialpun mulai berdatangan. Dan saya menginsafi, fenomena kerjasama menuntut partisipasi ini menjadi hal natural terdengar. Jauh sebelumnya, juga sudah ada. Cuma barangkali, baru sekarang saya berinteraksi dengan kegiatan tesebut.

Bahkan mengharu biru. Kerja sosial kini menjadi profesi menjanjikan. Dulunya hanya sebagai bentuk kontribusi seseorang—tanpa harapan pemasukan uang di sana. Namun sekarang, kegiatan tersebut telah terorganisir dengan baik. Sampai, logo ISO pun tertampang dalam setiap brosur, famflet dan biografi organisasinya. Segmen ini patut kita syukuri, karena bila kita meninjau dari asas kemanfaatan. Faedahnya sungguh besar.

5 tipe partisipator

Terlepas dari itu semua. Lakon-lakon yang sering saya saksikan dari semenjak saya SD hingga saya menjadi pemerannya. Tetaplah sama. Terkadang bedanya, perannya saja sedang berganti. Kini, aktor-aktor itu lebih tepat saya namai dengan partisipator.  


Ciganjur, Selasa 4 April 2012
Bagikan

Kamis, 26 April 2012

Sukses Pada Waktunya


Ketokohan tak lebih dari kesetiaan terhadap amanat hidup. Dan para tokoh adalah orang-orang yang lebih suka sibuk menuruti kata hati, ketimbang sibuk berstrategi dengan media supaya dianggap sebagai tokoh.
Prie Gs

Bisa jadi dalam keriwehan pikiran Anda, setelah membaca judul catatan ini—sukses setelah mati. Lahir pertanyaan “apa sebenarnya yang Anda maksud sukses pada waktunya?”. Namun, bisa jadi juga, Anda membiarkan begitu saja tatkala mata melihat goresan ini. Karena sudah lumrah pernyataan ini bagi Anda. Meskipun seperti itu, mari sejenak kita menikmati pemikiran ini.

Uforia

Sukses. Sebuah kata ajaib yang menjadi buah bibir setiap manusia. Apapun dia kalangannya. Dimanapun dia berada. Kata ini pasti terucap lewat dua katup mulutnya. Dari orang tua yang telah mempersiapkan tempat peristirahatan terakhir. Hingga anak-anak yang baru bertumbuh. Dia dipaksa oleh kejamnya arus kehidupan orang tua. “Nak, belajar sungguh-sungguh, biar nanti kalau sudah besar menjadi orang sukses”.

Kata sukses ini tidak pernah lengkang dari nasehat pembicara publik. Kata Sukses tidak pernah terlupakan oleh penulis self help. Para editorpun belum pernah luput menghias kata ini dengan kata penunjang setelahnya. Bahkan para ahli bermimpi, sampai mabuk kepayang, gara-gara dia. Seperti saya ini contoh nyatanya. Setiap berkaca di depan cermin, mulut komat kamit. Tangan mengepal, “Ya, saya bisa. Sukses. Sukses. Sukses”.

Tetap misteri 

Namun anehnya. Betapa sering kata ini terngiang oleh telinga. Betapa rajinnya mata membaca dalam susunan buku pengembangan diri. Tapi, tetap saja hingga saat ini, sukses ini menjadi misteri. Kemisteriannya bagaikan bang Thoib tak pulang-pulang. Tetapi istrinya menanti bersama anak bang Thoib.

Mengapa saya menyatakan sukses sesuatu masih misteri hingga detik ini? Alasannya, setiap kata ini terbahas, maka pertanyaan “apa dan bagaimana sukses?” tidak pernah luput teralamatkan ke pembahas. Saya menduga, mungkin ada pertanyaan dalam diri Anda sedang menunggu saatnya tiba, seperti merapi menanti masa yang tepat memuntahkan lahar panas. Bisa jadi Anda berhasrat mengutarakannya kepada saya sekarang—tatkala membaca catatan ini. 

Sukses itu apa sih? Atau Bagaimana sukses yang Anda maksud?”.

Sukses menjadi tokoh

Pada catatan ini, saya kurang berselera mengajak Anda untuk berdiskusi tentang makna sukses. Terlepas, Anda mau mengartikan sukses itu berwajah seperti apa? Cuman, kata sukses di sini—saya sandangkan dengan, mereka yang berhasil hidup menjadi tokoh. Oleh sebab itu, saya lebih menarik merenung akan sejarah tentang para tokoh yang tak mau menokohkan diri, pada masa hidupnya. Sehingga pada saat ini, mereka dikenang sebagai tokoh penuh inspirasi.

Sebut saja manusia asal Berlin berdarah Yahudi. Konon katanya, dia manusia satu-satunya hingga saat ini mengoptimalkan sampai 10% fungsi otaknya. Dia termasuk lelaki jarang mengurus rambut dan bajunya. Sampai suatu ketika, bapak Gubernur mau bersilaturahim ke rumahnya. Lalu istrinya mengingatkan “Sebentar lagi bapak Gubernur tiba di sini mau bertemu denganmu. Ayo cepat ganti bajumu”. 

Kemudian dia membalas kepada istrinya “Kalau bapak gubernur mau bertemu dan melihat bajuku. Kau ajak saja beliau naik ke atas masuk ke kamar kita. Setelah itu kamu buka lemari kita, dan sampaikan kepadanya, ini baju-bajuku”. Dialah Albert Einstein perancang rumus E=M.C2

Tokoh lainnya adalah yang pasti dihafal oleh setiap anak SD bersekolah di sekolah islam. Dari semenjak kecil terlafazd dengan jelas oleh mereka. 4 tokoh lelaki mendampingi perjuangan Rasulullah. Mereka adalah, Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Ketokohan mereka dalam sejarah penyebaran islam. Tidak satupun ahli sejarah lupa akan mereka. 

Sukses setelah mati

Dan saya belum tau. Apakah pada masa hidupnya, mereka memang sudah meniatkan, supaya segenap ummat setelah mereka, mengharumkan nama mereka dengan kata sakral tokoh? Apakah Abu Bakar berjuang lantaran berharap orang-orang menobat beliau tokoh penyebaran islam? Apakah Albert einstein berkarya, karena menghasratkan diri menjadi tokoh intelektual? 

Saya menduga, barangkali pada masa hidupnya, tidak demikian. Lantas seperti apa? Itupun saya tidak mengetahui. Tetapi, jejak kehidupan mereka menjadi memoar dalam sajak-sajak sejarah. Bahkan, beberapa penulis, secara khusyuk menghayati setiap inci kehidupan mereka, kemudian penulis menuangkannya dalam biografi mereka. Inilah yang saya maksud dengan, sukses pada waktunya.

Apakah Anda berminat?

Ciganjur, Minggu 1 April 2012 
Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist I 270fe9b7
Bagikan

Senin, 23 April 2012

Masih Perlukah Sopan Santun?


The map is not Territory, but Territory is the map.
(NLP Presupposition) 

Sharing Tsunami Survivor

Senin, 26 Maret 2012. Saya berangkat menuju Cilegon dari Bandung. Saya berangkat, tepat setelah selesai berbagi pengalaman tsunami, dampak tsunami secara fisik dan mental—kepada peserta pelatihan siap siaga bencana. Para peserta yang hadir rata-rata kepala desa (lurah) dan RT daerah lembang. Sebab, topik pembahasan siaga bencana, berhubungan erat dengan kondisi patahan lembang dinyatakan aktif oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). 

Awalnya, saya berniat berangkat dari Bandung menggunakan travel menuju Cilegon. Ternyata, travel yang langsung dari Bandung-Cilegon tidak ada. Namun, harus transit dulu Jakarta, dan menunggu waktu berangkat sesuai jadwal Jakarta-Cilegon. Akhirnya, saya memutuskan menggunakan bis dari terminal Lewipanjang.

Jam 13.30 saya berangkat dari Lewipanjang menumpangi Armada Excecutive. Tiba di terminal bayangan PCI jam 17.30wib. Perjalanan 4 jam, lebih cepat dari perkiraan saya. Tadinya saya menduga, bisa sampai di Cilegon jam 18.00  atau 19.00 maksimal. Lalu, saya menunggu jemputan—teman saya Pak Arif—kepala cabang LP3I Cilegon.

Gigih menawarkan

Selama menunggu jemputan. Saya mendapat pengalaman berharga dari abang-abang ojek di sana. Ada seorang ojeker, langsung merapat menuju bis saya tumpangi, sembari menawarkan jasanya “Ojek Pak” Katanya. Saya melangkah sambil mengangkat tas bawaan baju untuk 3 hari di Cilegon dan menjawab “Saya dijemput”.

Hal bermakna bagi saya—kegigihan dia dalam menawarkan jasanya. Meskipun sebenarnya saya kurang nyaman dengan cara tersebut. Padahal dia sudah tau jawaban saya—bahwa saya sedang menunggu jemputan. Akan tetapi, dia tetap ngotot menawarkan “Pakai ojek aja biar lebih cepat”. Saya hanya diam dan kekeh seperti jawaban sebelumnya “Saya sedang menunggu jemputan”. 

Lima menit saya di situ, tetapi teman saya belum juga tiba. Ojeknya menawarkan lagi “Pakai ojek aja, biar cepat. Sama saja kok dijemput dan naik ojek”. Dia menggunakan nada sedikit memaksa. Saya tetap sopan menjawab “Terima kasih saya dijemput”. Kemudian, saya meninggalkan tempat itu, berjalan kaki ke tempat lain, menunggu teman saya. Karena sangat tidak mungkin saya naik ojek tersebut. Lantaran saya tidak memiliki alamat rumah Pak Arif. 

Selang beberapa menit kemudian, mobil pak Arif menghampiri saya. Lalu kami menuju ke Kampus LP3I terlebih dahulu, karena beliau ada sesi bimbingan dengan mahasiswa tingkat akhir. Dan jam 20.00 kami pulang ke rumah beliau.

Roadshow Training Motivasi UN

Oh ya, tujuan saya ke Cilegon kali ini dalam rangka Roadshow training motivasi UN untuk siswa kelas 3—di empat sekolah kota Serang dan Pandeglang. Program ini merupakan persembahan LP3I ke sekolah-sekolah yang sudah bekerjasama dengan LP3I. Biasanya LP3I menawarkan ke sekolah-sekolah binaannya. Dan yang merespon, maka menentukan hari dan waktu serta tempatnya. 

Keesokan harinya, selasa 27 maret. Sekolah pertama kami kunjungi berada di Kota Serang. SMKN 1 Serang. Para peserta yang mengikuti, hampir seluruh siswa kelas 3 yang akan menghadapi ujian. Training berlangsung mulai jam 08.10 – 09.45 wib. Selesai dari sini kami bergegas melanjutkan ke SMK & SMA Prisma kota Serang. Pesertanya sekitar 280 siswa. Dan durasinya hampir sama seperti sebelumnya, jam 11.30 – 11.50.

Dan hari kedua, rabu 28 maret. Roadshow berlanjut ke SMA N1 Pandeglang. Sekolah ini mendapatkan penghargaan sekolah terbersih oleh pemerintah daerah Banten. Dan memang, sekolah ini sangat-sangat bersih menurut saya. Karena, sebelum training mulai, saya sempat ke kamar mandi. WC milik siswa, bersih sekali. Dibandingkan dengan sekolah lain pernah saya kunjungi.
Training mulai jam 09.00 – 10.30 wib. Dengan jumlah peserta 240 siswa. Setelah, kami menuju ke sekolah SMK PGRI Pandeglang. 

Sangat berkesan

Setibanya di SMK PGRI Pandeglang, kami disambut oleh guru-guru di sana. Kemudian kami langsung menuju ke ruang aula yang telah disiapkan spanduk, sound system dan infokus. Taklama setelah itu, siswa kelas 3 satu persatu memasuki ruang pelatihan. 

Tadinya saya mengira, akan mendapatkan tantangan luar biasa di sini. Karena, jadwal training mulai jam 11.00 dan selesai 13.00. Secara waktu—training akan melewati jam makan siang. Apalagi ada kredo sekolah swasta, siswanya kreatif. Sehingga, butuh usaha ekstra trainer untuk mengkondisikan mereka.

Tetapi, sungguh itu di luar dugaan saya. Siswanya santun dan sopan. Apalagi cara gurunya melayani kami. Team marketing yang ikut roadshow, mereka mendapat sungguhan makanan ringan dan minuman. Itu tidak kami dapatkan di 3 sekolah sebelumnya. 

Dan, selama saya bekerja sama dengan LP3I melakukan program pelatihan motivasi UN di sekolah-sekolah. Baru sekolah ini mendapat pelayanan hangat dari pihak guru. Malahan, ada sekolah di Jakarta, setelah kami mentraning siswanya. Ada guru yang mengharapkan uang dari LP3I. Alasannya sudah memberi izin untuk sosialisasi. 

Anak desa vs kota

Dari pengalaman ini, saya mencoba melakukan penghakiman berdasarkan realita yang saya alami. Mungkin, secara kemajuan tehnologi dan pergaulan. Anak-anak yang besar di kota lebih unggul dibandingkan desa. Tetapi, dalam hal tatakrama. Sopan santun kepada yang lebih tua. Saya merasakan, kehangatan penghormatan dari teman-teman di sekolah pelosok, sangat tinggi mereka apreasiasikan kepada tamu yang datang ke sekolah mereka.

Namun, saya menyadari, tidak semuanya seperti itu. Akan tetapi, berdasarkan pengalaman saya pribadi—berinteraksi langsung dengan mereka—seperti itulah realitanya. Sekali lagi saya nyatakan. Ini bukan generalisasi. Tetapi, hanya perbandingan kecil dari pengalaman interaksi yang pernah saya alami.

Ciganjur, 30 Maret 2012
Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist I 270fe9b7 
Bagikan