Selasa, 17 April 2012

Mulutmu Harimaumu


Mulutmu harimaumu. (Pepatah)

Kata-kata itu menghipnosis

Konon katanya, awal perkembangan NLP di Amerika. Terdengar kabar burung menyahut dari satu mulut ke mulut yang lain—bahwa sang kreator NLP—Richard Bandler ditakuti oleh orang-orang yang mau berkenalan dengannya. 

Takut bukan karena akan dibunuh. Tetapi, takut atas dasar, bila sempat berjabat tangan dengan RB. Maka, secara tidak sadar, orang tersebut mau mengikuti dan bersedia melakukan beberapa intruksi darinya.

Setelah saya mempelajari dan mendalami NLP. Ternyata, kabar itu bukan hanya omongan semata. Sebab, bagi orang-orang yang telah benar-benar mahir menguasai NLP, mampu berkomunikasi sangat meyakinkan sekali. Sehingga, siapa saja berkomunikasi, bisa terlena. 

Beberapa bisa merasakan sensasi bahagia dan senang. Karena, tadinya beban kerja dan rumah tangga menumpuk berat atas dirinya. Tetapi, setelah berbicara dengan praktisi NLP, seakan masalah itu mengecil dan ringan, seringan kapas.

Padahal, sang praktisi tidak melakukan apapun. Kecuali komunikasi dua arah saja. Bahkan juga berbagai arah. (Masa lalu, sekarang dan masa depan). Seperti sering saya alami setiap bertemu dengan orang-orang yang tadinya mempunyai masalah. Sampai tidak menyadari dan bertanya “Jadi Mas Rahmad, kapan kita sesi terapinya?

Dengan wajah tersenyum saya katakan “Memangnya ada hal yang butuh diterapi?”. Sang klien menjawab “Tidak sih”. “Kalau begitu tidak usah saja ya. Dan ingat, nanti begitu keluar, administrasi dengan resepsionist saja”. (He… he…).

Gara-gara Jamil Azzaini

Dan, efek luar biasa dari kata-kata adalah seperti cerita Made Teddy Atriana. Seorang fotografer prosesional yang murtad dari divisi IT sebuah bank capek antri setiap ATMnya. Mas Teddy pernah bercerita. Gara-gara sms pak Jamil Azzaini masuk ke HPnya, sempat membuatnya bangun di tengah malam dan merenung akan kata-kata tersebut. Tidak hanya itu, bahkan gara-gara isi sms tersebut—menjerumuskannya menjadi seorang penulis—selain sebagai fotografer profesional.

Mas Teddy bercerita. Suatu ketika, berada dalam perjalanan pemotretan ke perusahaan klienya untuk serangkaian pemotretan company profile. Seseorang menghubunginya yang akhirnya menutup perbincangan itu dengan sms “Makanya Mas Made, jangan motret melulu, bakat menulisnya juga harus dilatih setiap hari, hehehe”. Pengirim sms ini adalah Jamil Azzaini, inspirator suksesmulia.

Sms tersebut tidak langsung dihapus. Dan mas Made juga tidak segera merespon berupa tindakan. Hingga suatu malam, tatkala mata kurang nyaman untuk meninggalkan dunia dalm kondisi tertutup lama. Dan mengantukpun enggan menyatu dengannya malam itu. 

Entah angin mana, sms dari Pak Jamil terngiang-ngian kembali dalam ingatannya. Dan anehnya, kata-kata itu, mengandung makna berbeda baginya, dibandingkan pertama sekali membaca di HP.

Bakat menulis

Hal yang membuat penasaran, pada sms itu, terukir kata “bakat” bukan skill atau ketrampilan. Sehingga, semakin menambah tanda tanya baginya “Apakah benar aku berbakat menulis?” Lalu Mas Made bangun dari tempat tidur dan menyalakan laptop untuk membuktikan diri. Apakah iya, dia memiliki bakat menulis?

Dari semenjak itu hingga sekarang. Menulis sudah menjadi bagian lain dari sisi hidupnya. Bahkan, mengikat kata-kata sudah terkumpulkan dalam ratusan halaman, mejadi sebuah buku.

Di akhir ceritanya. Mas Made menyatakan, ini semua gara-gara pak Jamil Azzaini. Karena 14 ukiran kata teramu dalam smsnya. Telah memperdayanya untuk menulis. Kata-kata dalam pesan pendek itu, membakar rasa ingin tau dan membuktikan diri. Bahwa dia bisa menulis.

Ust. Muzakkir—Inspiring teacher

Membaca cerita mas Made dalam buku Makelar Rezeki karangan Pak Jamil Azzaini. Mengingatkan saya dengan kata-kata hebat yang disampaikan oleh ustaz Muzakkir. Sosok guru penuh kharismatik. Seluruh santri menghormatinya. Bahkan sampai sekarang, menjadi inspirator bagi saya—tolak ukur inspiring teacher ialah seperti beliau. 

Ustaz Muzakkir adalah pemimbing dan pengajar di pondok pesantren Ruhul Islam Anak Bangsa. Tempat saya mondok selama tiga tahun, setingkat sekolah menengah atas. Tahun 2009 yang lalu. Saya pulang mudik ke Aceh pas Ramadhan. Sebagaimana lazimnya, setiap tahun, di pondok saya menyantri dulu. Ada budaya buka puasa bersama. Baik santri yang tidak pulang liburan, atau para alumni yang berada di Banda Aceh dan sekitarnya.

Gak tau malu

Antara iseng bercanda dan penuh harap. Saya meminta tolong sama beliau “Ustaz, tolong bantu cari pedamping (istri untuk saya dong)”. Waktu itu saya belum menikah. Lalu beliau menjawab  Gak tau malu, laki-laki minta dicariin. Kalau akhwat masih wajar. Masa ikhwan dicariin. Gak jantan tau”. Beliau mengakhiri katanya dengan raut wajah tersenyum. Namun secara tersirat meminta saya menelaah jawaban beliau.

Sungguh, mendengar jawaban beliau seperti itu. Seperti ada sesuatu menohok dalam diri saya. Dan semenjak itu, saya tidak pernah menyampaikan maksud kepada sang ustaz baik di Aceh atau Jakarta. Supaya mencarikan jodoh untuk saya. Bahkan, saya bertekad. Saya harus mencari sendiri. Namun, bantuan dan pertimbangan para ustaz, tetap saya pertimbangakan. Seperti tentang karakter calon istri, apakah cocok dan sesuai untuk saya atau tidak?

Dan alhamdulillah. Kini saya telah menikah dengan seorang istri pilihan saya. Berkah dari provokasi orang tua dan guru, bapak Asep Haerul Gani dan Noeryanto A Dhipuro. Sekarang, Allah telah memberi amanah kepada kami seorang putri yang cantik dan menyenangkan hati melihatnya.

Jaga ucapan dan kata-kata

Akhirnya, sebagaimana ungkapan bijak “Mulutmu harimaumu”. Sepatutnya selalu kita menyadari kata-kata kita dalam keseharian. Karena, hakekatnya kata-kata itu bila baik maka bermanfaat. Namun juga bisa sebaliknya. Saya lebih senang mengajak diri saya mengikuti nasehat Pak Teddi Prasetya, penulis buku NLP Manual Book The Art of Enjoying life. “Mari kita bertaubat dari dosa berkata-kata”.

Cingajur, Jumaat 23 Maret 2012
Bagikan