Mulutmu
harimaumu. (Pepatah)
Kata-kata
itu menghipnosis
Konon
katanya, awal perkembangan NLP di Amerika. Terdengar kabar burung menyahut dari
satu mulut ke mulut yang lain—bahwa sang kreator NLP—Richard Bandler ditakuti
oleh orang-orang yang mau berkenalan dengannya.
Takut bukan karena akan
dibunuh. Tetapi, takut atas dasar, bila sempat berjabat tangan dengan RB. Maka,
secara tidak sadar, orang tersebut mau mengikuti dan bersedia melakukan
beberapa intruksi darinya.
Setelah saya
mempelajari dan mendalami NLP. Ternyata, kabar itu bukan hanya omongan semata.
Sebab, bagi orang-orang yang telah benar-benar mahir menguasai NLP, mampu
berkomunikasi sangat meyakinkan sekali. Sehingga, siapa saja berkomunikasi, bisa terlena.
Beberapa
bisa merasakan sensasi bahagia dan senang. Karena, tadinya beban kerja dan
rumah tangga menumpuk berat atas dirinya. Tetapi, setelah berbicara dengan
praktisi NLP, seakan masalah itu mengecil dan ringan, seringan kapas.
Padahal, sang praktisi
tidak melakukan apapun. Kecuali komunikasi dua arah saja. Bahkan juga berbagai
arah. (Masa lalu, sekarang dan masa depan). Seperti sering saya alami setiap
bertemu dengan orang-orang yang tadinya mempunyai masalah. Sampai tidak
menyadari dan bertanya “Jadi Mas Rahmad,
kapan kita sesi terapinya?”
Dengan wajah tersenyum saya katakan “Memangnya ada hal yang butuh diterapi?”.
Sang klien menjawab “Tidak sih”. “Kalau begitu tidak usah saja ya. Dan ingat,
nanti begitu keluar, administrasi dengan resepsionist saja”. (He… he…).
Gara-gara
Jamil Azzaini
Dan, efek
luar biasa dari kata-kata adalah seperti cerita Made Teddy Atriana. Seorang
fotografer prosesional yang murtad dari divisi IT sebuah bank capek antri
setiap ATMnya. Mas Teddy pernah bercerita. Gara-gara sms pak Jamil Azzaini
masuk ke HPnya, sempat membuatnya bangun di tengah malam dan merenung akan
kata-kata tersebut. Tidak hanya itu, bahkan gara-gara isi sms tersebut—menjerumuskannya
menjadi seorang penulis—selain sebagai fotografer profesional.
Mas Teddy
bercerita. Suatu ketika, berada dalam perjalanan pemotretan ke perusahaan klienya
untuk serangkaian pemotretan company
profile. Seseorang menghubunginya yang akhirnya menutup perbincangan itu
dengan sms “Makanya Mas Made, jangan
motret melulu, bakat menulisnya juga harus dilatih setiap hari, hehehe”.
Pengirim sms ini adalah Jamil Azzaini, inspirator suksesmulia.
Sms tersebut
tidak langsung dihapus. Dan mas Made juga tidak segera merespon berupa
tindakan. Hingga suatu malam, tatkala mata kurang nyaman untuk meninggalkan
dunia dalm kondisi tertutup lama. Dan mengantukpun enggan menyatu dengannya
malam itu.
Entah angin
mana, sms dari Pak Jamil terngiang-ngian kembali dalam ingatannya. Dan anehnya,
kata-kata itu, mengandung makna berbeda baginya, dibandingkan pertama sekali
membaca di HP.
Bakat
menulis
Hal yang
membuat penasaran, pada sms itu, terukir kata “bakat” bukan skill atau
ketrampilan. Sehingga, semakin menambah tanda tanya baginya “Apakah benar aku berbakat menulis?” Lalu
Mas Made bangun dari tempat tidur dan menyalakan laptop untuk membuktikan diri.
Apakah iya, dia memiliki bakat menulis?
Dari
semenjak itu hingga sekarang. Menulis sudah menjadi bagian lain dari sisi
hidupnya. Bahkan, mengikat kata-kata sudah terkumpulkan dalam ratusan halaman,
mejadi sebuah buku.
Di akhir
ceritanya. Mas Made menyatakan, ini semua gara-gara pak Jamil Azzaini. Karena 14
ukiran kata teramu dalam smsnya. Telah memperdayanya untuk menulis. Kata-kata
dalam pesan pendek itu, membakar rasa ingin tau dan membuktikan diri. Bahwa dia
bisa menulis.
Ust.
Muzakkir—Inspiring teacher
Membaca
cerita mas Made dalam buku Makelar Rezeki karangan Pak Jamil Azzaini.
Mengingatkan saya dengan kata-kata hebat yang disampaikan oleh ustaz Muzakkir.
Sosok guru penuh kharismatik. Seluruh santri menghormatinya. Bahkan sampai
sekarang, menjadi inspirator bagi saya—tolak ukur inspiring teacher ialah seperti beliau.
Ustaz
Muzakkir adalah pemimbing dan pengajar di pondok pesantren Ruhul Islam Anak
Bangsa. Tempat saya mondok selama tiga tahun, setingkat sekolah menengah atas.
Tahun 2009 yang lalu. Saya pulang mudik ke Aceh pas Ramadhan. Sebagaimana
lazimnya, setiap tahun, di pondok saya menyantri dulu. Ada budaya buka puasa
bersama. Baik santri yang tidak pulang liburan, atau para alumni yang berada di
Banda Aceh dan sekitarnya.
Gak tau malu
Antara iseng
bercanda dan penuh harap. Saya meminta tolong sama beliau “Ustaz, tolong bantu cari pedamping (istri untuk saya dong)”. Waktu
itu saya belum menikah. Lalu beliau menjawab
“Gak tau malu, laki-laki minta
dicariin. Kalau akhwat masih wajar. Masa ikhwan dicariin. Gak jantan tau”.
Beliau mengakhiri katanya dengan raut wajah tersenyum. Namun secara tersirat
meminta saya menelaah jawaban beliau.
Sungguh,
mendengar jawaban beliau seperti itu. Seperti ada sesuatu menohok dalam diri saya.
Dan semenjak itu, saya tidak pernah menyampaikan maksud kepada sang ustaz baik
di Aceh atau Jakarta. Supaya mencarikan jodoh untuk saya. Bahkan, saya
bertekad. Saya harus mencari sendiri. Namun, bantuan dan pertimbangan para
ustaz, tetap saya pertimbangakan. Seperti tentang karakter calon istri, apakah
cocok dan sesuai untuk saya atau tidak?
Dan
alhamdulillah. Kini saya telah menikah dengan seorang istri pilihan saya.
Berkah dari provokasi orang tua dan guru, bapak Asep Haerul Gani dan Noeryanto
A Dhipuro. Sekarang, Allah telah memberi amanah kepada kami seorang putri
yang cantik dan menyenangkan hati melihatnya.
Jaga
ucapan dan kata-kata
Akhirnya,
sebagaimana ungkapan bijak “Mulutmu
harimaumu”. Sepatutnya selalu kita menyadari kata-kata kita dalam
keseharian. Karena, hakekatnya kata-kata itu bila baik maka bermanfaat. Namun
juga bisa sebaliknya. Saya lebih senang mengajak diri saya mengikuti nasehat
Pak Teddi Prasetya, penulis buku NLP
Manual Book The Art of Enjoying life. “Mari
kita bertaubat dari dosa berkata-kata”.
Cingajur,
Jumaat 23 Maret 2012
Bagikan
