Senin, 30 April 2012

Bercengkrama Dengan Alam


Suatu perisitwa, maknanya sangat tergantung pada suatu konteks.
#Kesadaran Makna

Terkadang saya bertanya kepada diri sendiri, “apa sebenarnya yang sedang aku lakukan?” saat mengkonsistenkan diri dalam aktifitas mengikat makna. Suatu ritual menulis pengalaman hidup, yang saya yakini bermakna bagi saya. 

Pertanyaan ini menyapa saya, bukan saja saat jari jemari menunjukkan keindahan goyangannya. Seperti tarian indah Agnes Monica. Akan tetapi juga setelah saya menulis ulang (baca mengedit) kata-kata yang telah terangkum pada ukuran kertas A4—dua sampai tiga halaman. Tulisan ini biasanya saya ambil dalam folder “Note Ruang Private” di driver :D.

Saya membaca perlahan-lahan, terkadang cerita sehari-hari itu tidak terlalu bermakna. Karena itu peristiwa kejadian rutin saya alami. Akan tetapi saya tidak memperdulikan hal itu. Saya terus mengikat makna. Entah itu berbobot, bagus, pantas, entah embel-embel lainnya. Saya berkomitmen tetap menuliskan pengalaman sehari-hari—meskipun cuma sebesar zarrah kebermaknaannya bagi saya.

Dalam Angkot 02 Pondok Labu-Lenteng

Saya sangat menyadari, bukan terkadang, tapi pantas saya sebut sering. Pengalaman yang saya abadikan, sangat remeh temeh. Sebut saja cerita—detik-detik saya pulang—dari memberikan pelatihan “Psychology of Money” untuk teman-teman karyawan dan therapist di Natura Clinic Depok. 

Hikayatnya, hari kamis yang lalu, 12 April 2012. Saya berkomitmen silaturahim dengan bang Aris Permana, pemilik Natura Clinic. Bentuk silaturahimnya, selain bertatap sapa, saya juga mengajukan diri membagikan sedikit pemahaman ilmu yang saya kuasai kepada team beliau. Harapan, menjadi manfaat dan keberkahan.

Alhamdulillah, silaturahim saya ke sana berlangsung dari mulai jam 11.00 hingga 13.00. Kemudian, selesai acara, kami makan bersama sambil ngobrol-ngbrol memperat hubungan pershahabatan di restoran depan Natura Clinic. 

Tidak lama setelah selesai menyantap aneka sambal dan ikan bawal di restoran tepat depan Natura Clinic, saya bergegas mohon pamitan pulang. Karena, sorenya, jam 18.00 saya akan mengajar kelas Ease Your Nervouse sesi kedua. Program reguler Public Speaking I Thantowi Yahya Public Speaking School di Mayapada Tower Sudirman.

Sebagaimana sering saya riawayatkan kepada Anda. Sekarang ini, saya masih menggunakan jasa angkutan umum untuk perjalanan menuju tempat pelatihan. Dan pulang dari Depok, saya naik Angkot 02 berwarna merah, Lenteng-Pondok Labu.

Nak Jangan Nakal

Nah, dalam angkot, saya mendapat pengalaman bermakna—tentang pola bahasa—dalam rahim pengasuhan anak. Begitu mobil saya tumpangi melewati pasar lenteng, ada ibu muda, suami dan anaknya baru berusia sekitar 4 tahun—menyetop mobil yang saya domplengi dan naik ke dalam. 

Bibir sang anak berwarna merah seperti luka terkoyak. Kemudian, ada seorang ibu-ibu dalam angkot berusia 50’an bertanya “Bibirnya kenapa?”. Sang ibu muda menjawab “Jatuh tadi pas lari-lari di pasar”. Kemudian ibu-ibu (50’an) menganjurkan supaya segera menabur gula pasir agar bibirnya cepat rapat kembali. Selang 400 meter kemudian, ibu muda bersama suami dan anaknya turun.

Lalu, si ibu-ibu (50’an) ngomong kepada anak kecil di sampingnya (dugaan saya cucu beliau). “Makanya Nanda jangan nakal—tidak lari-lari, bisa seperti itu”. Mendengar pola kalimat nasehat kepada anak seperti itu, telinga saya langsung terdengar bunyi sirene “wiew…wiew…wiew…” Tanda ada kurang beres. Maksud saya, ada sesuatu yang saya dengar—di mana menurut saya, kalimat tersebut kurang memberdayakan kepada pendengarnya. Terutama sang anak. 

Mari kita amati strukturnya “Makanya Nanda jangan nakal” (pikiran kreatif pendengar pasti menganalisa—jangan nakal terus apa dong?). Berarti, pola bahasa ini belum jelas intruksinya. Dan lebih parahnya lagi, sang ibu mengasosiasikan nakal dengan lari-lari. Sementara si anak juga melihat efek dari kondisi itu. Saya hanya mengira-ngira, bila nasehat ini berulang-ulang masuk kepada sang anak. Seperti apa reaksinya dalam hal “Lari”? 

Peringatan

Selama dalam angkot hingga sampai ke tempat tujuan. Saya mensyukuri sejarah ini. Karena, saya menyikapi peristiwa ini, tak ubahnya peringatan dari Allah. Agar saya mengkomunikasikan sesuatu kepada anak saya, dengan pola bahasa yang memberdayakan bagi perkembangan pikiran, emosi, dan perilakunya.

Ciganjur, 13 April 2012
Mari silaturahim, follow @mind_therapist I 270fe9b7 
Bagikan