Kamis, 26 April 2012

Sukses Pada Waktunya


Ketokohan tak lebih dari kesetiaan terhadap amanat hidup. Dan para tokoh adalah orang-orang yang lebih suka sibuk menuruti kata hati, ketimbang sibuk berstrategi dengan media supaya dianggap sebagai tokoh.
Prie Gs

Bisa jadi dalam keriwehan pikiran Anda, setelah membaca judul catatan ini—sukses setelah mati. Lahir pertanyaan “apa sebenarnya yang Anda maksud sukses pada waktunya?”. Namun, bisa jadi juga, Anda membiarkan begitu saja tatkala mata melihat goresan ini. Karena sudah lumrah pernyataan ini bagi Anda. Meskipun seperti itu, mari sejenak kita menikmati pemikiran ini.

Uforia

Sukses. Sebuah kata ajaib yang menjadi buah bibir setiap manusia. Apapun dia kalangannya. Dimanapun dia berada. Kata ini pasti terucap lewat dua katup mulutnya. Dari orang tua yang telah mempersiapkan tempat peristirahatan terakhir. Hingga anak-anak yang baru bertumbuh. Dia dipaksa oleh kejamnya arus kehidupan orang tua. “Nak, belajar sungguh-sungguh, biar nanti kalau sudah besar menjadi orang sukses”.

Kata sukses ini tidak pernah lengkang dari nasehat pembicara publik. Kata Sukses tidak pernah terlupakan oleh penulis self help. Para editorpun belum pernah luput menghias kata ini dengan kata penunjang setelahnya. Bahkan para ahli bermimpi, sampai mabuk kepayang, gara-gara dia. Seperti saya ini contoh nyatanya. Setiap berkaca di depan cermin, mulut komat kamit. Tangan mengepal, “Ya, saya bisa. Sukses. Sukses. Sukses”.

Tetap misteri 

Namun anehnya. Betapa sering kata ini terngiang oleh telinga. Betapa rajinnya mata membaca dalam susunan buku pengembangan diri. Tapi, tetap saja hingga saat ini, sukses ini menjadi misteri. Kemisteriannya bagaikan bang Thoib tak pulang-pulang. Tetapi istrinya menanti bersama anak bang Thoib.

Mengapa saya menyatakan sukses sesuatu masih misteri hingga detik ini? Alasannya, setiap kata ini terbahas, maka pertanyaan “apa dan bagaimana sukses?” tidak pernah luput teralamatkan ke pembahas. Saya menduga, mungkin ada pertanyaan dalam diri Anda sedang menunggu saatnya tiba, seperti merapi menanti masa yang tepat memuntahkan lahar panas. Bisa jadi Anda berhasrat mengutarakannya kepada saya sekarang—tatkala membaca catatan ini. 

Sukses itu apa sih? Atau Bagaimana sukses yang Anda maksud?”.

Sukses menjadi tokoh

Pada catatan ini, saya kurang berselera mengajak Anda untuk berdiskusi tentang makna sukses. Terlepas, Anda mau mengartikan sukses itu berwajah seperti apa? Cuman, kata sukses di sini—saya sandangkan dengan, mereka yang berhasil hidup menjadi tokoh. Oleh sebab itu, saya lebih menarik merenung akan sejarah tentang para tokoh yang tak mau menokohkan diri, pada masa hidupnya. Sehingga pada saat ini, mereka dikenang sebagai tokoh penuh inspirasi.

Sebut saja manusia asal Berlin berdarah Yahudi. Konon katanya, dia manusia satu-satunya hingga saat ini mengoptimalkan sampai 10% fungsi otaknya. Dia termasuk lelaki jarang mengurus rambut dan bajunya. Sampai suatu ketika, bapak Gubernur mau bersilaturahim ke rumahnya. Lalu istrinya mengingatkan “Sebentar lagi bapak Gubernur tiba di sini mau bertemu denganmu. Ayo cepat ganti bajumu”. 

Kemudian dia membalas kepada istrinya “Kalau bapak gubernur mau bertemu dan melihat bajuku. Kau ajak saja beliau naik ke atas masuk ke kamar kita. Setelah itu kamu buka lemari kita, dan sampaikan kepadanya, ini baju-bajuku”. Dialah Albert Einstein perancang rumus E=M.C2

Tokoh lainnya adalah yang pasti dihafal oleh setiap anak SD bersekolah di sekolah islam. Dari semenjak kecil terlafazd dengan jelas oleh mereka. 4 tokoh lelaki mendampingi perjuangan Rasulullah. Mereka adalah, Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Ketokohan mereka dalam sejarah penyebaran islam. Tidak satupun ahli sejarah lupa akan mereka. 

Sukses setelah mati

Dan saya belum tau. Apakah pada masa hidupnya, mereka memang sudah meniatkan, supaya segenap ummat setelah mereka, mengharumkan nama mereka dengan kata sakral tokoh? Apakah Abu Bakar berjuang lantaran berharap orang-orang menobat beliau tokoh penyebaran islam? Apakah Albert einstein berkarya, karena menghasratkan diri menjadi tokoh intelektual? 

Saya menduga, barangkali pada masa hidupnya, tidak demikian. Lantas seperti apa? Itupun saya tidak mengetahui. Tetapi, jejak kehidupan mereka menjadi memoar dalam sajak-sajak sejarah. Bahkan, beberapa penulis, secara khusyuk menghayati setiap inci kehidupan mereka, kemudian penulis menuangkannya dalam biografi mereka. Inilah yang saya maksud dengan, sukses pada waktunya.

Apakah Anda berminat?

Ciganjur, Minggu 1 April 2012 
Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist I 270fe9b7
Bagikan