Ketokohan tak lebih dari kesetiaan terhadap amanat
hidup. Dan para tokoh adalah orang-orang yang lebih suka sibuk menuruti kata
hati, ketimbang sibuk berstrategi dengan media supaya dianggap sebagai tokoh.
Prie Gs
Bisa jadi
dalam keriwehan pikiran Anda, setelah membaca judul catatan ini—sukses setelah
mati. Lahir pertanyaan “apa sebenarnya
yang Anda maksud sukses pada waktunya?”. Namun, bisa jadi juga, Anda
membiarkan begitu saja tatkala mata melihat goresan ini. Karena sudah lumrah
pernyataan ini bagi Anda. Meskipun seperti itu, mari sejenak kita menikmati
pemikiran ini.
Uforia
Sukses.
Sebuah kata ajaib yang menjadi buah bibir setiap manusia. Apapun dia
kalangannya. Dimanapun dia berada. Kata ini pasti terucap lewat dua katup
mulutnya. Dari orang tua yang telah mempersiapkan tempat peristirahatan
terakhir. Hingga anak-anak yang baru bertumbuh. Dia dipaksa oleh kejamnya arus kehidupan
orang tua. “Nak, belajar sungguh-sungguh,
biar nanti kalau sudah besar menjadi orang sukses”.
Kata sukses
ini tidak pernah lengkang dari nasehat pembicara publik. Kata Sukses tidak
pernah terlupakan oleh penulis self help.
Para editorpun belum pernah luput menghias kata ini dengan kata penunjang
setelahnya. Bahkan para ahli bermimpi, sampai mabuk kepayang, gara-gara dia.
Seperti saya ini contoh nyatanya. Setiap berkaca di depan cermin, mulut komat
kamit. Tangan mengepal, “Ya, saya bisa.
Sukses. Sukses. Sukses”.
Tetap
misteri
Namun
anehnya. Betapa sering kata ini terngiang oleh telinga. Betapa rajinnya mata
membaca dalam susunan buku pengembangan diri. Tapi, tetap saja hingga saat ini,
sukses ini menjadi misteri. Kemisteriannya bagaikan bang Thoib tak
pulang-pulang. Tetapi istrinya menanti bersama anak bang Thoib.
Mengapa saya
menyatakan sukses sesuatu masih misteri hingga detik ini? Alasannya, setiap
kata ini terbahas, maka pertanyaan “apa
dan bagaimana sukses?” tidak pernah luput teralamatkan ke pembahas. Saya
menduga, mungkin ada pertanyaan dalam diri Anda sedang menunggu saatnya tiba,
seperti merapi menanti masa yang tepat memuntahkan lahar panas. Bisa jadi Anda
berhasrat mengutarakannya kepada saya sekarang—tatkala membaca catatan ini.
“Sukses itu apa sih? Atau Bagaimana sukses yang Anda maksud?”.
Sukses
menjadi tokoh
Pada catatan
ini, saya kurang berselera mengajak Anda untuk berdiskusi tentang makna sukses.
Terlepas, Anda mau mengartikan sukses itu berwajah seperti apa? Cuman, kata
sukses di sini—saya sandangkan dengan, mereka yang berhasil hidup menjadi
tokoh. Oleh sebab itu, saya lebih menarik merenung akan sejarah tentang para
tokoh yang tak mau menokohkan diri, pada masa hidupnya. Sehingga pada saat ini,
mereka dikenang sebagai tokoh penuh inspirasi.
Sebut saja
manusia asal Berlin berdarah Yahudi. Konon katanya, dia manusia satu-satunya
hingga saat ini mengoptimalkan sampai 10% fungsi otaknya. Dia termasuk lelaki
jarang mengurus rambut dan bajunya. Sampai suatu ketika, bapak Gubernur mau
bersilaturahim ke rumahnya. Lalu istrinya mengingatkan “Sebentar lagi bapak Gubernur tiba di sini mau bertemu denganmu. Ayo
cepat ganti bajumu”.
Kemudian dia
membalas kepada istrinya “Kalau bapak
gubernur mau bertemu dan melihat bajuku. Kau ajak saja beliau naik ke atas
masuk ke kamar kita. Setelah itu kamu buka lemari kita, dan sampaikan
kepadanya, ini baju-bajuku”. Dialah Albert Einstein perancang rumus E=M.C2.
Tokoh
lainnya adalah yang pasti dihafal oleh setiap anak SD bersekolah di sekolah
islam. Dari semenjak kecil terlafazd dengan jelas oleh mereka. 4 tokoh lelaki
mendampingi perjuangan Rasulullah. Mereka adalah, Abu Bakar, Umar, Usman dan
Ali. Ketokohan mereka dalam sejarah penyebaran islam. Tidak satupun ahli
sejarah lupa akan mereka.
Sukses
setelah mati
Dan saya
belum tau. Apakah pada masa hidupnya, mereka memang sudah meniatkan, supaya
segenap ummat setelah mereka, mengharumkan nama mereka dengan kata sakral
tokoh? Apakah Abu Bakar berjuang lantaran berharap orang-orang menobat beliau
tokoh penyebaran islam? Apakah Albert einstein berkarya, karena menghasratkan
diri menjadi tokoh intelektual?
Saya
menduga, barangkali pada masa hidupnya, tidak demikian. Lantas seperti apa?
Itupun saya tidak mengetahui. Tetapi, jejak kehidupan mereka menjadi memoar
dalam sajak-sajak sejarah. Bahkan, beberapa penulis, secara khusyuk menghayati
setiap inci kehidupan mereka, kemudian penulis menuangkannya dalam biografi
mereka. Inilah yang saya maksud dengan, sukses pada waktunya.
Apakah Anda
berminat?
Ciganjur,
Minggu 1 April 2012
Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist I 270fe9b7
Bagikan
