Jumat, 27 April 2012

Budaya Partisipasi


Sebaik-baiknya manusia, yang bisa bermanfaat bagi sesamanya (untuk semesta, hewan, tumbuhan dan manusia).
#Mahfudhot

Gotong royong

Mungkin Anda masih ingat. Pada jaman orde baru. Atau era pemerintahan kepemimpinan almarhum Soeharto. Sangat sering terdengar himbauan di masyarakat tempat kita tinggal, agar bergotong royong. Hampir sebulan sekali, pasti ada hari khusus, warga berkumpul bersama. Entah di mushola (menasah), kantor kepala desa, atau tempat biasa digunakan untuk bersatu bagi warga. Kemudian melakukan aktifitas membersihkan, merapikan, serta memperbaiki—agar terlihat cantik, rapi, dan menawan—di tempatnya masing-masing. 

Saya tidak tau, apakah sekarang masih sering terjadi? Seingat saya, sebelum saya hijrah ke Jakarta dan harus berganti kartu idenditas. Tepatnya semenjak referendum 1998 di Aceh. Budaya gotong royong ini mulai berkurang intensitasnya. Hal ini bisa terjadi karena, kondisi keamanan yang tak jelas terangnya. Dan belum pasti kejernihannya.

Berbicara mengenai gotong royong. Ada fenomena menarik terlihat oleh panca indera saya. Performance ini sangking seringnya, saya bisa mengingat meski memejamkan mata. Yaitu, laku setiap pelakon dalam pangung gotong royong.
Sehingga, setiap adegan pemantasan. Saya mencari-cari peran yang sering muncul. Terkadang dibintangi oleh pemain yang sama. Kadangkala diganti oleh pemeran yang lain. Mata saya rutin merekam sketsa ini. Semenjak saya masih SD hingga SMP.

Ketika saya mulai beranjak dewasa. Di mana beban gotong royong tadinya hanya sebagai penonton hukumnya sunnah. Sekarang beringsut status menjadi wajib. Lakon-lakon yang tidak jarang saya saksikan semenjak kecil, mulai saya perankan. Kalau dulu saya menjadi penonton, sekarang saya yang menjadi aktornya. 

Semakin bertambah usia, tambah sering saya membintangi peran-peran dalam skenario drama ini. Dari menjadi pemain figur, hingga menjadi tokoh utamanya. Akan tetapi, istilah gotong royong. Begitu jaman orde baru bubar. Tepatnya diminta turun secara paksa. Maka, atribut-atributnya juga ikut lengser. Termasuk di dalamnya, budaya gotong royong.

Berubah nama

Akan tetapi, meski budaya kerjasama masyarakat dilabel dengan gotong royong itu runtuh. Tetap saja, pada hakekatnya kegiatan menyamakan pekerjaan itu selalu ada. Cuman bajunya saja yang berganti. Tak ubahnya satria baja hitam. Bisa menjadi Rx Bio dan Robo. Kalau dulu gotong royong bajunya, sekarang kerja bakti. Sehingga, dalam intruksinya pun, ajakan perintah “wajib” bermetamorfosis menjadi “mohon kesediaan” partisipasinya.

Luar biasanya. Partisipasinyapun semakin meluas konteksnya. Karena, selain untuk kerja bakti. Embel-embel kerja sosialpun mulai berdatangan. Dan saya menginsafi, fenomena kerjasama menuntut partisipasi ini menjadi hal natural terdengar. Jauh sebelumnya, juga sudah ada. Cuma barangkali, baru sekarang saya berinteraksi dengan kegiatan tesebut.

Bahkan mengharu biru. Kerja sosial kini menjadi profesi menjanjikan. Dulunya hanya sebagai bentuk kontribusi seseorang—tanpa harapan pemasukan uang di sana. Namun sekarang, kegiatan tersebut telah terorganisir dengan baik. Sampai, logo ISO pun tertampang dalam setiap brosur, famflet dan biografi organisasinya. Segmen ini patut kita syukuri, karena bila kita meninjau dari asas kemanfaatan. Faedahnya sungguh besar.

5 tipe partisipator

Terlepas dari itu semua. Lakon-lakon yang sering saya saksikan dari semenjak saya SD hingga saya menjadi pemerannya. Tetaplah sama. Terkadang bedanya, perannya saja sedang berganti. Kini, aktor-aktor itu lebih tepat saya namai dengan partisipator.  


Ciganjur, Selasa 4 April 2012
Bagikan