Sebaik-baiknya manusia, yang bisa bermanfaat bagi
sesamanya (untuk semesta, hewan, tumbuhan dan manusia).
#Mahfudhot
Gotong
royong
Mungkin Anda
masih ingat. Pada jaman orde baru. Atau era pemerintahan kepemimpinan almarhum
Soeharto. Sangat sering terdengar himbauan di masyarakat tempat kita tinggal,
agar bergotong royong. Hampir sebulan sekali, pasti ada hari khusus, warga
berkumpul bersama. Entah di mushola (menasah), kantor kepala desa, atau tempat
biasa digunakan untuk bersatu bagi warga. Kemudian melakukan aktifitas membersihkan,
merapikan, serta memperbaiki—agar terlihat cantik, rapi, dan menawan—di tempatnya
masing-masing.
Saya tidak
tau, apakah sekarang masih sering terjadi? Seingat saya, sebelum saya hijrah ke
Jakarta dan harus berganti kartu idenditas. Tepatnya semenjak referendum 1998
di Aceh. Budaya gotong royong ini mulai berkurang intensitasnya. Hal ini bisa
terjadi karena, kondisi keamanan yang tak jelas terangnya. Dan belum pasti kejernihannya.
Berbicara
mengenai gotong royong. Ada fenomena menarik terlihat oleh panca indera saya. Performance
ini sangking seringnya, saya bisa mengingat meski memejamkan mata. Yaitu, laku setiap
pelakon dalam pangung gotong royong.
Sehingga,
setiap adegan pemantasan. Saya mencari-cari peran yang sering muncul. Terkadang
dibintangi oleh pemain yang sama. Kadangkala diganti oleh pemeran yang lain. Mata
saya rutin merekam sketsa ini. Semenjak saya masih SD hingga SMP.
Ketika saya
mulai beranjak dewasa. Di mana beban gotong royong tadinya hanya sebagai
penonton hukumnya sunnah. Sekarang beringsut status menjadi wajib. Lakon-lakon
yang tidak jarang saya saksikan semenjak kecil, mulai saya perankan. Kalau dulu
saya menjadi penonton, sekarang saya yang menjadi aktornya.
Semakin bertambah
usia, tambah sering saya membintangi peran-peran dalam skenario drama ini. Dari
menjadi pemain figur, hingga menjadi tokoh utamanya. Akan tetapi, istilah
gotong royong. Begitu jaman orde baru bubar. Tepatnya diminta turun secara
paksa. Maka, atribut-atributnya juga ikut lengser. Termasuk di dalamnya, budaya
gotong royong.
Berubah
nama
Akan tetapi,
meski budaya kerjasama masyarakat dilabel dengan gotong royong itu runtuh.
Tetap saja, pada hakekatnya kegiatan menyamakan pekerjaan itu selalu ada. Cuman
bajunya saja yang berganti. Tak ubahnya satria baja hitam. Bisa menjadi Rx Bio
dan Robo. Kalau dulu gotong royong bajunya, sekarang kerja bakti. Sehingga,
dalam intruksinya pun, ajakan perintah “wajib” bermetamorfosis menjadi “mohon
kesediaan” partisipasinya.
Luar
biasanya. Partisipasinyapun semakin meluas konteksnya. Karena, selain untuk
kerja bakti. Embel-embel kerja sosialpun mulai berdatangan. Dan saya menginsafi,
fenomena kerjasama menuntut partisipasi ini menjadi hal natural terdengar. Jauh
sebelumnya, juga sudah ada. Cuma barangkali, baru sekarang saya berinteraksi
dengan kegiatan tesebut.
Bahkan
mengharu biru. Kerja sosial kini menjadi profesi menjanjikan. Dulunya hanya
sebagai bentuk kontribusi seseorang—tanpa harapan pemasukan uang di sana. Namun
sekarang, kegiatan tersebut telah terorganisir dengan baik. Sampai, logo ISO
pun tertampang dalam setiap brosur, famflet dan biografi organisasinya. Segmen
ini patut kita syukuri, karena bila kita meninjau dari asas kemanfaatan. Faedahnya
sungguh besar.
5
tipe partisipator
Terlepas
dari itu semua. Lakon-lakon yang sering saya saksikan dari semenjak saya SD
hingga saya menjadi pemerannya. Tetaplah sama. Terkadang bedanya, perannya saja
sedang berganti. Kini, aktor-aktor itu lebih tepat saya namai dengan
partisipator.
Ciganjur, Selasa 4 April 2012
Bagikan