Rabu, 04 April 2012

Antara KursusNLP dan Mengasuh Anak

Nur Avelyna

Bayi adalah makhluk terjujur di dunia.
(Unknown)

Learning by doing

Bagi Anda yang pernah mengikuti pembelajaran workshop NLP secara intensive. Entah berdurasi dua hari, atau program sertifikasi selama 5-14 hari. Baik itu dalam negeri atau luar negeri. 

Beberapa di antara Anda tentu mendapat pengalaman praktek, di mana sang intruktur menganjurkan kepada Anda supaya segera berlatih. Abaikan mengenai teori. Atau mungkin ada yang belum jelas dengan tehnik baru saja dibahas. Paling penting Anda mempraktekkannya. Iyakan?

Mungkin, itulah konsep learning by doing. Belajar langsung dari pengalaman. Karena, sebaik-baiknya cara belajar, yakni segera memaplikasikan ilmu yang baru saja dipelajari. Sebab, setelah melakukanlah baru bisa mengevaluasi dan menganalisa. Inilah yang sedang saya alami sekarang ini. Yaitu, mempraktekkan sedikit ilmu tentang pengasuhan anak. Dan itu sungguh mengasyikkan.

KursusNLP dengan mengasuh anak

Di antara hal yang mengasyikkan itu, saya bisa mempelajari dengan seksama materi NLP sudah 3 tahun lalu saya pelajari. Pengamatan saya selama 3 minggu ini kepada putri saya. Ternyata, mengasuh anak adalah sarana yang sangat-sangat cepat dan tepat meningkatkan ketrampilan NLP. Kenapa?

Bukankah Anda masih ingat dengan sejarah Richard Bandler sampai ke titik penyimpulan NLP bersama Grinder? Ya, persis. NLP berawal dari penasaran. State (kondisi) curiosity (rasa ingin tahu sangat kuat) dalam sanubari guru kita Richard Bandler. Memang, saat itu penasarannya bukan mengasuh anak. Tetapi rasa ingin tau tentang, apa sebenarnya yang paling manusia inginkan? Jawabanya adalah perubahan.

Flexiblity: gunakan cara lain bila belum berhasil

Demikianpula yang terjadi kepada putra-putri kita. Tentu bagi Anda yang sudah mempunyai momongan, menyadarinya bukan? Saya mencermati perilaku putri saya tatkala ingin ayahnya (saya) supaya mengendongnya. Dia menangis dengan berbagai macam cara. Sampai wajahnya memerah dan suara tangisnya menghilang, kemudian keras lagi (kejer kata orang betawi).

Bukan hanya suara, mimik wajah juga berubah. Matanya berkaca-kaca. Kaki menendang-nedang. Dia berusaha menggerakan-gerakan kepalanya. Apalagi tangannya, selalu terangkat ke atas, sambil mengikutkan menaikkan bahunya. Dia memberi tahu, kalau dia menginginkan saya mengendongnya. Cara-cara yang dia lakukan itu, mengingatkan saya dengan pilar NLP, flexibilty. Dan salah satu presuposisi (asusmi) nya, “Bila cara yang telah dilakukan belum berhasil, maka ganti caranya, sampai tujuan tercapai”.

Komunikasi persuasi

Hal lainnya, saya belajar dari putri saya—konteks  komunikasi persuasif. Seperti sudah kita sadari bersama, bahwa bayi berinteraksi dengan orang sekitarnya melalui suara tangisan dan bahasa tubuhnya. Nah, kitapun juga mengetahui, bahwa saat kita berkomunikasi, orang mampu menangkap informasi dan mengingatnya dengan baik, apa yang kita sampaikan lewat kata-kata, cuma 7%. Lalu, intonasi, nada suara, volume, tempo, dan jeda dalam penyampaian 38%. Sementara bahasa tubuh (ekpresi, mimik,) sebesar 55%. 

Itu berarti, bahasa tubuhlah cara komunikasi yang akan sangat mudah membuat pasangan bicara, memahami dan mengingat apa yang kita sampaikan. Hal itulah yang saya perhatikan pada bayi. Ekspresi warna wajah, benar-benar berubah. Kondisi tenang, gak nyaman karena popoknya basah. Saat dia haus. Dan ketika mau digendong. Ekspresi ini sungguh beda sekali.

Kalibrasi

Perubahan wajah (ekpresi) pada putri saya Nur Avelyna—membuat saya teringat kembali dengan materi NLP—kalibrasi. Bukankah Anda masih ingat, saat latihan terapi di kelas? Intruktur menghimbau, supaya kita mengamati penuh, apapun yang terjadi pada klien? Micromotionnya tidak boleh kita abaikan sedikitpun. 

Bahkan, terkadang, saat pertama sekali  belajar kita penasaran, bagaimana mengetahui kalau teman kita sudah trance? Dan pengajar menyampaikan, tatkala seseorang masuk ke kondisi trance, maka ekpresi wajah pasti sangat kelihatan. Kadangkala bibirnya ada yang berubah warnanya. Dan, perubahan warna wajah itulah—saya perhatikan pada si bayi.

Oleh karena itu, saran saya kepada Anda yang penasaran akan ilmu NLP, namun belum sempat belajar secara khsusus. Mulai sekarang yang masih punya anak berusia 0 – 3 tahun. Sering-seringlah mengamati, ekspresi, nada suara, perilaku dan lainnya. Sehingga, saat Anda mendapat kesempatan belajar di kelas yang Anda inginkan. Tidak ada yang aneh dan heran lagi bagi Anda. Karena Anda sudah terbiasa melakukannya. 

Putriku Nur Avelyna. Apa lagi yang akan engkau ajarkan kepada ayahmu ini nak? (Curiosity mode on).

Ciganjur, Selasa, 6 februari 2012
Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist I 270FE9B7

Note: Catatan ini saya tulis saat anak saya berusia 26 hari.
Bagikan