Senin, 02 April 2012

Pengalaman Menjadi Ayah 1


Pengalaman pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda.
#Axe

Bagaimana jika?

Jumaat, 10 februari 2012. Setelah menunaikan shalat jumaat berjamaah di Mesjid Syarfa. Saya bersiap-siap berangkat menuju ke kantor di Wolter monginsidi. Seperti biasa, setiap mau berangkat pergi, saya pasti bersalaman, memeluk dan mencium kening istri. Dan semenjak istri mengandung. Tak lupa juga saya kecupkan cium pada janin dalam rahim istri saya. Kemudian saya sapa “Nak, ayah dan bunda sayang kamu, ayah berangkat kerja dulu nak ya”. 

Hari itu, saya melakukan ritual tersebut. Istri sedang duduk di kursi ruang tamu. Sementara saya jongkok agar seposisi dengan rahimnya. Lalu istri saya menggunakan bahasa as if “bagaimana jika”, hari ini dede (anak dalam rahimnya) lahir. Saya menjawab sambil tersenyum, “Ya segera berangkat ke rumah sakit Andhika”. 

Sms dari istri

Setelah itu, saya mengeluarkan motor di belakang, menyalakannya sebentar (memanaskan motor). Dan berangkat langsung ke kantor. Perjalanan seperti biasanya. Mesti jam 13.30 wib—tetap saja, jalan yang saya lewati dari mulai cilandak, mangga besar, pejaten, duren tiga, mampang, hingga tandean. Masih saja padat. Bagi saya, itu bukan sesuatu yang istemewa. Karena sudah lumrah setiap waktu seperti itu.

Jam 14.45 saya tiba di kantor. Saya mengeluarkan laptop, dan charger dari tas saya. Juga, charger HP dan Blackbery (270fe9b7) saya. Sebab penanda batery kedua alat komunikasi saya tersebut, menunjukkan sudah rendah (low battery). Tak lama kemudian, saya meeting bersama dengan team yang telah hadir. 

Hari itu saya dan team akan membicarakan persiapan dan strategi untuk pelatihan pada hari sabtu & minggu ketiga di bulan februari. Suasana saat itu, langit menghitam. Sehingga, sinar cahaya mentari meredup bagaikan lampu kekurangan voltasenya. Dan HP pun tidak saya cek lagi selama saya charge dan meeting.

Setelah selesai shalat dan ngobrol sama teman-teman. Baru pada saat jam 16.30 saya mengecek HP dan BB. Rupanya di sana sudah ada 2 sms masuk. Pertama jam 15.00 berisi “Ayah…” panggilan istri kepada saya semenjak positif hamil. Dan sms kedua jam 16.00 “Ayah, tadi pas kamar mandi ada bercak darah, suasana masih rintik-rintik setelah hujan. Setelah shalat mau cek ke bidan sama ibu, diantar sama Aris (sepupu) dan kak Iqbal (Adik ipar)”.

Pentingnya kontrol emosi

Selesai membaca sms, saya langsung menghubungi istri. “Bagaimana kabarmu Bunda?” istri saya mengabari ”Belum tau juga yah. Ini mau cek dulu, nanti dikabarin setelah sampai di Rumah sakit”. Sebenarnya, jam 19.00 malam itu, saya ada meeting dengan pemilik modal. Jadi tidak bisa langsung pulang. Tetapi, entah kenapa, saya mendapat firasat di dalam—supaya segera pulang. 

Lalu, saya rapikan Laptop, Charger, dan HP. Kemudian minta izin pulang duluan. Teman-teman saya juga faham kondisi saya saat itu. Langit mendung dan menghitam malahan sudah menumpahkan air ke bumi. Meski seperti itu, saya tetap ngotot pulang. 

Saat memutuskan untuk pulang. Saya dapat pengalaman berharga. Yaitu tentang pentingnya mengontrol diri dalam kondisi apapun. Bisa Anda bayangkan dan rasakan. Seperti apa emosi Anda saat mendengar kabar istri Anda yang hamil tua, dia mengabari Anda mau ngecek ke bidan. Padahal, baru hari rabu sebelumnya, Anda bersamanya selesai cek rutin mingguan. Dan dokter mengabari sehat-sehat saja.  

Sebelum saya mengendarai motor pulang menuju rumah. Saya menyadari, emosi saya sempat panik sejenak. Lalu saya mengontrol diri saya dengan kesadaran yang saya fahami selama ini. “Apapun yang akan terjadi, kalau Allah sudah mentakdirkan, tiada siapapun mampu mencegahnya”. 

Seketika itu, saya memasrahkan kondisi istri kepada Allah. Karena, saya mengira, kalau saya panik akan membahayakan diri, selama mengendarai motor. Seandainya saya kebut-kebutan, bisa terjadi hal yang tak ada siapapun mengharapkan kecelakaan. Kemudian, selama perjalanan, saya nikmati seperti biasanya.

Bagikan