Kejujuran bagaikan tanah. Semakin hari semakin
meninggi harganya.
#PepatahAsal
Jujur itu seperti tanah
Saya yakin
dan percaya—Anda pasti setuju dengan saya—bahwa, kejujuran itu bagaikan tanah.
Semakin hari semakin meninggi harganya, iyakan?
Sampai saat ini,
saya masih terus mengingat kalimat yang terucap dari dosen akuntansi 2. Beliau
menyampaikan kepada saya dan teman-teman mahasiswa lainnya—Bahwa tanah
merupakan aset yang terus berkembang (tinggi) nilainya. Oleh karena itulah,
seminar-seminar menjadi pengusaha, tatkala membahas mengenai aset—pasti ada
saran pembicara di sana “Hindari menjual
aset tanah”.
Layanan tulus atau rakus?
Sementara
itu, saya baru saja membaca buku karangan Joe Vitale, entah bukunya yang keberapa?
Saya tidak mengetahuinya—karena, tidak ada penjelasan mengenai hal tersebut. Yaitu
buku “The Seven Lost Secret of Success”.
Dalam karyanya itu, Joe vitale bercerita tentang legenda periklanan Amerika.
Bruce barton. Seorang penulis proposal penggalangan dana, secara 100% proposal
tersebut disetujui oleh penerima proposal.
Pada bab, “Satu Unsur Terlupakan”. Joe vitale
membahas betapa pentingnya ketulusan dan kejujuran dalam menyampaikan informasi.
Terutama penjelasan mengenai produk yang kita pasarkan. Kemudian, raja internet
marketing ini, mengisahkan pengalaman seorang klien yang datang menemuinya. Sang
klien datang dengan maksud—supaya Joe mau membantunya—menulis buku tentang
pelayanan.
Kemudian,
sebagaimana lazimnya. Joe selalu bertanya alasan dibalik keinginan menulis buku
tersebut. Sang klien menjawab, buku tentang pelayanan sedang “tren” saat itu.
Padahal, si klien tidak mempunyai banyak pengalam di bidang tersebut. Bahkan,
tidak terlalu mengerti arti pelayanan sesungguhnya. Tetapi, sang klien yakin.
Buku yang mau ditulis bisa melambungkan karirnya.
Namun,
menurut Joe, hal tersebut tidak akan begitu meningkatkan karir si calon
penulis. Karena, tanpa ketulusan, sebenarnya seseorang hanya akan menjual
angin. Ibarat “Tong kosong nyaring bunyinya”. Begitu istilah sering terdengar.
Buku parenting hayalan
Nah, setelah
membaca bab tersebut. Pikiran saya melayang jauh ke tahun 2010. Sekitar bulan
juli. Saya kedatangan dua orang tamu dari penerbit buku anak-anak, pengembangan
diri, dan buku-buku lainnya. Kedua tamu tersebut, mengetahui tentang saya lewat
postingan catatan harian saya di milist dan facebook. Karena keseringan
mengirim artikel, mereka menganggap, saya berkompeten menulis buku.
Perlu Anda
mengingat kembali. Pertengahan 2010, di kancah persilatan bahasa dan kata-kata
lewat mulut (panggung public speaking),
sedang rame-ramenya membahas mengenai hypnosis. Buku berjudul hypnotherapy
(hypnosis). Berjejeran tertata di rak-rak buku terbaru (toko buku).
Mumpung lagi
masanya—tamu saya tersebut yakin—jika saya menulis buku tentang hypnosis, pasti
laku. Terutama, penggunaan hypnosis untuk pengasuhan anak (Hypnoparenting). Padahal saat itu, saya belum mempunyai anak.
Jangankan momongan, istri saja belum jelas rimbanya.
Efek aji mumpung
Setelah
berbicara mengenai proses, judul, bab serta contoh awal supaya diapprove
redaksi. Saya merespon ajakan mereka dengan mengiyakannya. Syaratnya, saya
memperoleh izin mencari co-writer.
Terutama yang memang sudah menjadi ibu atau ayah.
Akan tetapi,
entah kenapa. Tidak ada sreg atau keinginan sedikitpun dalam diri saya, untuk
melanjutkan penawaran tersebut. Padahal, bila saya mengiyakannya, buku tersebut
pasti langsung naik cetak, setelah saya menyerahkan naskahnya.
Namun, saya
menyadari. Bila saya melaksanakan projek tersebut. Maka, akan ada dampak lebih
kurang bermanfaat bagi saya. Karena, pembaca (masyarakat) mengetahui. Mana
tulisan penuh ketulusan, atau hanya karena aji mumpung.
Pertimbangan
lain. Saya sangat menyadari diri. Bahwa, topik tersebut tidak terlalu
mengairahkan bagi saya untuk menuliskannya. Apalagi, jika seandainya buku tersebut,
saya menuliskannya dengan hal-hal hayalan saya semata (menulis bukan
berdasarkan ekperiens). Lalu masyarakat mengetahui—maka, tatkala saya
menerbitkan buku berdasarkan pengalaman, pemahaman, keahlian, dan passion saya.
Pasti yang terjadi, dewan pembaca akan melabel saya sebagai penulis omong
kosong (bohong).
Akhirnya,
projek tersebut tidak jadi saya lanjutkan. Oleh karena itu, mari kita
ekspresikan diri kita apa adanya. Pak Hermawan Kartajaya mengatakan “Self authentic” di Just Alvin dalam tema
“The Motivitors”. Entah itu dalam
berkeluarga, kantor, bisnis, dan apapun. Termasuk berbicara dan menulis.
Ciganjur, 28
Maret 2012
Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist I 270fe9b7
Bagikan
