Senin, 16 April 2012

Kejujuran Itu Menjual


Kejujuran bagaikan tanah. Semakin hari semakin meninggi harganya.
#PepatahAsal

Jujur itu seperti tanah

Saya yakin dan percaya—Anda pasti setuju dengan saya—bahwa, kejujuran itu bagaikan tanah. Semakin hari semakin meninggi harganya, iyakan? 

Sampai saat ini, saya masih terus mengingat kalimat yang terucap dari dosen akuntansi 2. Beliau menyampaikan kepada saya dan teman-teman mahasiswa lainnya—Bahwa tanah merupakan aset yang terus berkembang (tinggi) nilainya. Oleh karena itulah, seminar-seminar menjadi pengusaha, tatkala membahas mengenai aset—pasti ada saran pembicara di sana “Hindari menjual aset tanah”.

Layanan tulus atau rakus?

Sementara itu, saya baru saja membaca buku karangan Joe Vitale, entah bukunya yang keberapa? Saya tidak mengetahuinya—karena, tidak ada penjelasan mengenai hal tersebut. Yaitu buku “The Seven Lost Secret of Success”. Dalam karyanya itu, Joe vitale bercerita tentang legenda periklanan Amerika. Bruce barton. Seorang penulis proposal penggalangan dana, secara 100% proposal tersebut disetujui oleh penerima proposal.

Pada bab, “Satu Unsur Terlupakan”. Joe vitale membahas betapa pentingnya ketulusan dan kejujuran dalam menyampaikan informasi. Terutama penjelasan mengenai produk yang kita pasarkan. Kemudian, raja internet marketing ini, mengisahkan pengalaman seorang klien yang datang menemuinya. Sang klien datang dengan maksud—supaya Joe mau membantunya—menulis buku tentang pelayanan. 

Kemudian, sebagaimana lazimnya. Joe selalu bertanya alasan dibalik keinginan menulis buku tersebut. Sang klien menjawab, buku tentang pelayanan sedang “tren” saat itu. Padahal, si klien tidak mempunyai banyak pengalam di bidang tersebut. Bahkan, tidak terlalu mengerti arti pelayanan sesungguhnya. Tetapi, sang klien yakin. Buku yang mau ditulis bisa melambungkan karirnya.

Namun, menurut Joe, hal tersebut tidak akan begitu meningkatkan karir si calon penulis. Karena, tanpa ketulusan, sebenarnya seseorang hanya akan menjual angin. Ibarat “Tong kosong nyaring bunyinya”. Begitu istilah sering terdengar.

Buku parenting hayalan

Nah, setelah membaca bab tersebut. Pikiran saya melayang jauh ke tahun 2010. Sekitar bulan juli. Saya kedatangan dua orang tamu dari penerbit buku anak-anak, pengembangan diri, dan buku-buku lainnya. Kedua tamu tersebut, mengetahui tentang saya lewat postingan catatan harian saya di milist dan facebook. Karena keseringan mengirim artikel, mereka menganggap, saya berkompeten menulis buku.

Perlu Anda mengingat kembali. Pertengahan 2010, di kancah persilatan bahasa dan kata-kata lewat mulut (panggung public speaking), sedang rame-ramenya membahas mengenai hypnosis. Buku berjudul hypnotherapy (hypnosis). Berjejeran tertata di rak-rak buku terbaru (toko buku).

Mumpung lagi masanya—tamu saya tersebut yakin—jika saya menulis buku tentang hypnosis, pasti laku. Terutama, penggunaan hypnosis untuk pengasuhan anak (Hypnoparenting). Padahal saat itu, saya belum mempunyai anak. Jangankan momongan, istri saja belum jelas rimbanya.

Efek aji mumpung

Setelah berbicara mengenai proses, judul, bab serta contoh awal supaya diapprove redaksi. Saya merespon ajakan mereka dengan mengiyakannya. Syaratnya, saya memperoleh izin mencari co-writer. Terutama yang memang sudah menjadi ibu atau ayah.

Akan tetapi, entah kenapa. Tidak ada sreg atau keinginan sedikitpun dalam diri saya, untuk melanjutkan penawaran tersebut. Padahal, bila saya mengiyakannya, buku tersebut pasti langsung naik cetak, setelah saya menyerahkan naskahnya. 

Namun, saya menyadari. Bila saya melaksanakan projek tersebut. Maka, akan ada dampak lebih kurang bermanfaat bagi saya. Karena, pembaca (masyarakat) mengetahui. Mana tulisan penuh ketulusan, atau hanya karena aji mumpung.

Pertimbangan lain. Saya sangat menyadari diri. Bahwa, topik tersebut tidak terlalu mengairahkan bagi saya untuk menuliskannya. Apalagi, jika seandainya buku tersebut, saya menuliskannya dengan hal-hal hayalan saya semata (menulis bukan berdasarkan ekperiens). Lalu masyarakat mengetahui—maka, tatkala saya menerbitkan buku berdasarkan pengalaman, pemahaman, keahlian, dan passion saya. Pasti yang terjadi, dewan pembaca akan melabel saya sebagai penulis omong kosong (bohong). 

Akhirnya, projek tersebut tidak jadi saya lanjutkan. Oleh karena itu, mari kita ekspresikan diri kita apa adanya. Pak Hermawan Kartajaya mengatakan “Self authentic” di Just Alvin dalam tema “The Motivitors”. Entah itu dalam berkeluarga, kantor, bisnis, dan apapun. Termasuk berbicara dan menulis.

Ciganjur, 28 Maret 2012
Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist I 270fe9b7
Bagikan