Meski airnya
cuma setetes, tapi bila terus-menerus (istiqamah) menetesi batu, maka batunya
berlubang juga.
#NasehatDiri
Bubur
Ayam Cirebon
Selasa, 13 maret 2012. Jam 07.30 pagi saya sudah tiba
di Cilandak Mall. Lalu saya mencari sarapan pagi bubur ayam sekitar area
tersebut. Mata saya menyapu dari kiri hingga ke kanan. Mencari warung atau
gerobak yang menawarkan bubur ayam. Tepat di tengah pintu masuk, bila kita
menghadap keluar. Di sana ada gerobak bertuliskan Bubur Ayam Cirebon. Dan
sayapun menghampiri untuk mengisi perut saya yang mulai bergoyang-goyang
seperti ngebor Inul darasista.
Memang, bubur ini enak dan pas di mulut saya. Akan
tetapi, Anda jangan percaya opini cita rasa sarapan pagi ini. Karena, menurut
seorang teman, bila yang mengopinikan cita rasa makanan enak, itu butuh
dikajiulang. Sebab, terkadang bukan karena makanannya. Tetapi, karena lidah
saya yang mati rasa. Teman saya bilang “Apapun makanan yang masuk ke mulut mu Mad, pasti
selalu kamu anggap enak. Sepertinya kamu buta rasa Mad”.
Bertemu
trainer parenting
20 menit kemudian, saya menuju ke Mc Donalds. Seperti
janji yang telah saya sepakati dengan Bang Shahrial. Seorang trainer parenting. Beliau juga berdarah
Aceh seperti saya. Kami janjian di sana untuk ngopi bareng. Dan juga
membicarakan tentang aktifitas kami masing-masing.
Selama pembicaraan tersebut, ada hal yang sangat
berkesan bagi saya. Tatkala saya mengutarakan tentang dahsyatnya catatan harian
aktifitas sehari-hari, menjadi alat marketing bagi calon-calon pengguna jasa
saya. Dan saya menyarankan beliau untuk memulai menuliskan pengalamannya dalam
mendidik anak sendiri dan kejadian yang beliau hadapi di lapangan. Baik sesi
konseling atau pelatihan.
Rupanya, menulis ini menjadi tantangan baru bagi
beliau. Sebab itu belum pernah bang Shahrial lakukan selama ini. Beliau sendiri
sangat menyadari, itu penting bagi karirnya. Dan menulis itu pada dasarnya
sederhana dan mudah. Namun belum melakukan saja.
Mudahnya
menulis
Argumen mudah karena, dulu selama menjadi volunteer
pada NGO / LSM asing di Aceh. Bang Shahrial mempunyai seorang teman dari
redaksi sebuah koran lokal di sana. Setiap berkunjung ke barak pengungsian atau
posko penampungan para korban tsunami. Temannya dari redaksi ini selalu membawa
catatan kecil. Kemudian, mengeluarkan pena dari kantong bajunya dan menulis
aktifitas kejadian pada hari tersebut.
Bang Sharial memberi contoh;
“Kamis, jam
16.00 saya berkunjung ke Barak Siron Desa Siron Aceh Besar. Saya berangkat
bersama dengan Bang Shahrial, Imron, dan sopir GTZ. Di barak saya berjumpa
dengan kepala desa Pak Jumhuri. Beliau orangnya ramah. Kami disungguhi kopi
Aceh Ulee kareng”.
Kemudian bang Shahrial bilang “Apa yang dia tuliskan sangat sederhana. Mungkin bagi bebrapa orang
tidak bermakna. Tetapi, yang abang acungi jempol padanya adalah konsisten—kalau
bahasa agamanya—istiqamahnya dalam menulis, sangat luar biasa”.
Komitmen
Mengikat Makna
Cerita bang Shahrial sangat bermanfaat bagi saya.
Karena kisah tentang temannya yang terus menerus menulis setiap waktu, setiap
aktifitas yang dilakukan dan peristiwa terjadi. Membangkitkan gairah saya untuk
semakin mengistiqamah dalam agenda “mengikat
makna” (menulis dan membaca).
Setelah lama bercengkrama hingga jam 12.30. Akhir kami
berpisah dan melakukan aktifitas lain masing-masing.
Ciganjur, Kamis 15 Maret 2012
Mari bersialturahim, follow @mind_therapist I 270fe9b7
Bagikan