Catatan ini merupakan lanjutan dari Budaya Partisipasi 1 sebelumnya.
Berdasarkan
pengalaman yang telah menjadi pengamalan pribadi. Ada 5 model partisipator
pasti muncul setiap adegan spektakuler kerja sosial ini.
Partisipator waktu
Pertama, model
partisipator waktu. Maksudnya, partisipator ini dalam setiap kegiatan murni sosial.
Tanpa ada embel-embel komersial di dalamnya. Dia pasti memenuhi setiap menerima
ajakan untuk mengikuti acara tersebut. Alasannya, secara waktu memang orang ini
memiliki waktu luang lebih. Akan tetapi, kehadirannya jelas sebagai namanya
partisipator. Dia hanya berpartisipasi tanpa melakukan apapun.
Bila di
acara tersebut suasannya berdiri. Maka dia berada di garis paling belakang.
Seandainya duduk lesehan. Maka tempatnya bersadar di dinding atau tiang
penyangga. Dia hadir tapi tak bermakna apa-apa. Aneka respon acap kali dia
berikan “InsyAllah saya hadir”.
Partisipator Ide
Kedua, model
partisipator ide. Partisipator semacam ini. Tatkala menerima undangan untuk
berpartisipasi, langsung menjawab iya. Dan dia menawarkan kontribusinya berupa
ide-ide semata. Jawaban sering terucap olehnya “InsyAllah saya siap bantu pemikiran”. Hal ini terjadi, karena dia
merasa dirinya berkompeten di bidang tersebut. Barangkali juga, lantaran
profesinya tukang memberi saran. Maka, amal bernilai ibadahpun dia kerjakan
seperti kerapnya.
Partisipator Uang
Ketiga, model
partisipator uang. Tipe seperti ini sudah jelas. Dari rumah yang dia tempati
saja, atapnya lebih tinggi dari perumahan sekitarnya. Bahkan, menara mushola
saja kalah jangkung. Tembok pagarnya, sejajar atap rumah tetangga. Kendaran dia
gunakan ke tempat kerja, mengantar anak ke sekolah, dan menemani istri belanja
ke Mall. Setera dengan nilai 3 rumah tetangganya.
Jumlah
nominal partisipasinyapun, bila dikonversikan dengan pendapatan rata-rata
pegawai biasa. Orang-orang sering mengistilahkan dengan “Sedekahnya saja 3
tahun aku bekerja”. Kenyataannya, memang dia memiliki uang melebihi dari cukup.
Akan tetapi,
terkadang, mereka menempati gubug. Alat transportasinya motor bebek biasa,
malahan menggunakan kayuhan kakinya. Bahkan berjenis tafak (tapak kaki
maskudnya). Dan, setiap menperoleh ajakan ikut ambil bagian, dia sering
merespon “Dana atau biayanya butuh
berapa?”.
Partisipator Tenaga
Keempat, model
partisipator tenaga. Tenaga yang saya maksud di sini, langsung melibatkan diri
secara utuh. Fisiknya ada dalam setiap pementasan. Ciri orang ini, biasanya
sering disebut-sebut sebagai pribadi-pribadi yang talk less do more. Sedikit bicara banyak kerjanya. Bukan NATO. No Action Talk Only.
Cendrung
juga, tidak memilih-milih kerjaan. Selama dia mampu, maka dia akan
mengerjakannya. Bila mengetahui, dia bertanya kepada yang makfum di situ.
Seandainya peran tersebut sangat riskan, memang harus ahlinya yang melakukan.
Baru dia diam, menyimak, memperhatikan, agar bisa melakukannya. Sikapnya
terhadap kegiatan bakti ini, berpola pertanyaan “Bagaimana kalau pagar ini saya yang merapikan? Selain inipun, insyAllah
saya siap”.
Partisipator Doa
Kelima, model
partisipator doa. Model yang terakhir ini, terlihat agak religius. Terkadang
terdengar lumayan spiritualis. Kontribusinya sudah sangat jelas Anda fahami. Dan
tanpa perlu ceramah panjang lebar, saya yakin Anda sudah mengerti.
Doa adalah
munajat kepada sang khalik, berupa permohonan atau bentuk syukur. Biasanya,
kalimat terucap dari mulutnya setelah mendengar kabar himbauan partisipasi “InsyAllah saya bantu dengan doa”. Bahkan
kadang kala kontan merespon “Semoga
lancar, mudahan-mudahan berhasil”.
Bersambung ke Budaya Partisipasi 3
Ciganjur, Selasa 4 April 2012
Bagikan
