Jika sudah melekat pada satu pikiran, maka, pikiran yang lain terabaikan.
#Kesadaran
Ulang
Tahunku 2012 Memang Berbeda
Seperti telah saya ceritakan
kepada Anda, di My Anniversary; Hari ini terasa berbeda.
Ya. Rasanya lumayan agak aneh perilaku saya hari ini. Karena, saya mengerjakan
hal yang tidak pernah saya buat tahun-tahun sebelumnya. Terutama, semenjak
memiliki akun facebook. Apalagi sekarang, akun saya ini, sudah masuk waiting
list bagi teman-teman yang add saya. Sehingga, saya membuat akun kedua.
“Hal apa sebenarnya yang Anda kerjakan, sehingga Anda menfatwa, bahwa
Anda melakukan hal yang belum pernah Anda laksanakan sebelumnya?” Mungkin
Anda bertanya demikian. Ya. Pada pengulangan hari kelahiranku tahun 2012 ini.
Saya mengharapkan ucapan selamat ulang tahun dari teman-temanku. Di mana,
harapan ini tidak pernah terbesit olehku sedikit pun, tahun-tahun sebelumnya.
Terkecuali dari istri, dan keluargaku di Aceh.
Ego
untuk disanjung
Saya menyadari—alasan ini terjadi
akibat—saya lengah dari pikiran yang timbul tenggelam dalam diri. Terutama
hasrat agar mendapat ucapan selamat. Cuma itu saja. Dan kalau dipikir-pikir
sepele. Iyakan? Namun, tidak bagi saya. Karena, ada pengalaman menarik yang
terjadi. Ikuti saja sampai tuntas hikayat ini.
Selain karena lengah, mungkin
juga karena, tahun-tahun sebelumnya—2007 sampai dengan 2011 yang lalu—saya
banyak sekali mendapat ucapan selamat ulang tahun. Ragam corak doa terukir di
wall saya. Ada yang langsung mengomentari di wall, ada juga mengirim ke inbox.
Jumlahnya, tidak pernah saya duga. Ratusan. Bahkan, teman yang tidak terlalu
saya kenal, tetapi hanya pertemanan di facebook, juga mendoakan saya. Sungguh, it’s make me surprise.
Saya menerka, bisa jadi yang
mendasari keinginan agar mendapat ucapan selamat pada tahun 2012 ini, lantaran pengalaman
tahun-tahun sebelumnya. Sehingga, muncul ide, menulis catatan ungkapan syukur
dan bahagia atas anugerah usia dari Tuhan. Kemudian mempostingnya di blog.
Jadi, siapa pun mau mengucapin, bisa mengomentari langsung di sana.
Langsung saja, saya menuruti
ego dengan menuliskan sebuah catatan tentang rasa syukurku. Setelah saya
menulis kata-kata yang berseliweran di kepala, pagi itu juga saya meposting di
blogini. Setelah selesai, seharian penuh aktifitas saya hanya menanti komentar.
Bukan hanya itu, akan tetapi, saya juga menyiapkan kata-kata balasan atas
ungkapan yang memberi selamat.
Terpenjara
Ego
Ini dia, janji saya pada
paragraf ketiga di atas. Ada pun yang terjadi, komentar itu tidak ada yang datang.
Sehingga, siang hari, saya meninggalkan laptop, dan memutuskan jaringan
internet. Egoku berbisik “Tunggu saja
sampai nanti malam, bisa jadi belum ada yang baca”. Sehingga, rasa kecewa
tidak jadi saya pilih sebagai sikap atas realita yang ada.
Setelah menyelesaikan aktifitas
saya yang lain. Malam itu, jam 22.00 saya sengaja menghubungkan kembali
jaringan internet. Setelah koneksinya tersambung, tab pertama di mesin pencari,
saya membuka halaman facebook. Yang kedua, halaman blog ini. Dan apakah Anda tau,
berapa ucapan selamat yang masuk. Hanya 3 komentar, + 3 like. Di akun facebook
pun juga demikian. Sementara di akun kedua ada 5 orang mengucapkan happy birthday lewat chat.
Berarti, jika saya jumlahkan
keseluruhan ucapan selamat yang masuk pada hari itu, ada sekitar 11 ucapan.
Termasuk dari istri, dan keluarga di Aceh. Bisa Anda bayangkan, seperti apa
wajah saya malam itu. Rupa orang diselimuti kekecewaan. untungnya, saya malam
itu masih bisa tidur. Akan tetapi, tidak terlalu nyenyak. Karena, terngiang-ngiang,
“Kok tidak ada yang kasih ucapan selamat”.
Efek
kemelekatan
Kemudian, ada suara-suara sahut
menyahut mengingatkan, menyindir, dan menghibur. Saya tidak tau mengkelompokkan
pikiran itu sebagai negatif atau positif. Namun, isinya sangat jelas terekam di
memori. “Itu pertanda, kamu tidak ada
yang peduli”. Satu suara muncul. Lalu, ada suara lain berbunyi dengan nada
lebih tinggi, “Makanya, jangan merasa sok
terkenal. Buang jauh-jauh pikiran, kalau kamu hebat. Kamu bukan siapa-siapa
tau?”. Agak sedikit marah-marah nasehatnya.
Lebih parahnya lagi, sang ego
masih saja ngotot. “Tunggu saja sampai
besok. Biasakan, sampai sehari setelah ultah, masih ada yang mengirim ucapan
selamat”. Ego saya berdalih. Ternyata memang, jika sudah melekat pada satu pikiran, maka, pikiran yang lain
terabaikan. Meskipun, ide-ide lain lebih tepat dan bijaksana.
Sehingga, keesokan harinya,
saya menanti hal yang tak pasti lagi. Dua jam sekali, saya mengecek di
facebook, inbox dan komentar di blog. Ternyata gak ada sepatah kata pun,
tertancap seperti saya inginkan. Sang kecewa kembali memakaikan baju
kebesarannya kepadaku. Jadi, derita kecewa, sekali lagi saya alami.
Berpeluk
dengan hikmah
Akhirnya, pada malam hari, saya
duduk diam, sambil bersila seperti biasanya. Saya mengajukan pertanyaan, “ya Tuhan, apa maksud dari kejadian ini?”.
Saya menambahkan pertanyaan, “Apakah
salah saya mengharapkan ucapan selamat ulang tahun kepada manusia?”. Saya
masih tetap dalam keadaan duduk. Diam. Hening.
Setelah itu, saya mencoba
menganalisa. Padahal, kalau saya pikir-pikir, efek dari ucapan selamat ini
tidak akan menghebatkan saya. Toh itu setiap orang mengalaminya. Namun, mengapa
hal ini tidak terjadi pada tahun ini. Sementara sebelumnya, tidak pernah saya
harapkan, malah saya kewalahan membalas satu persatu. Sangking banyaknya.
Kemudian, sang bijak hadir
bercengkrama denganku. “Mad, kamu harus
bersyukur, Allah tidak mengabulkan harapanmu. Karena itu lebih baik bagimu.”
Sang bijak berkata. “Maksudnya?” saya
berdialog dengan sang bijak tadi. “Kamu
harus bersyukur, Allah tidak mengizinkanmu menjadi orang sombong hari ini dan
kemarin?”. Dia mengurai ungkapannya. “Kok
bisa?” Saya masih belum faham.
Ujub
dan Sombong
Penjelasan lanjutan sang
bijaklah yang membuat saya geleng-geleng kepala. Ada rasa haru dan malu kepada
Allah. Bahkan benar-benar membuat saya merasa sangat bersyukur. “Mad, ini bukan persoalan ucapan selamat
ulang tahun bagimu. Akan tetapi, ini persoalan egomu. Mungkin kamu tidak
menyadari, tapi aku tahu. Yang melatar belakangi niatmu melakukan hal ini,
karena, kamu merasa dirimu orang hebat. Kamu sudah terkenal. Dan jika ini
terjadi, semakin membuat dirimu lebih angkuh dan sombong”. Sang Bijak
melengkapi pejelasannya.
Air mata memang tidak menetes
di pipi. Akan tetapi, saya merasa sangat disayang oleh Allah. Saya sangat
bersyukur, karena Allah masih tidak mengizinkan kesombongan semakin bertambah
dalam diriku.
Dalam kesyukuran ini, pikiranku
membawa ke cerita Nabi Musa. Kisah yang sering saya dengarkan dalam khutbah
jumaat dan pengajian. Para pendai, biasa menggunakan Sirah Nabi Musa ini, untuk
mengungkapkan kesombongan manusia, dan hanya berharap serta pasrah kepada
Allah.
Kisah
Nabi Musa
Suatu ketika, Nabi Musa
menghadap kepada Allah. Beliau mengadu langsung kepada Yang Maha Menghidupkan,
akan sakit yang beliau alami. “Ya Ilahi
rabi, hamba menderita ini dan itu”. Nabi Musa curhat kepada Allah. Kakak
Nabi Harun as ini, memiliki kelebihan dari yang lain, bisa berkomunikasi
langsung dengan Allah. Lalu Allah memerintahkan Nabi Musa as. “Naiklah enkau ke bukit ini, kemudian petik
daun ini dan itu. Lalu gunakan ia sebagai obat penyakitmu”. Perintah Allah
kepada Nabi Musa.
Setelah itu, Nabi Musa as
mencari daun yang Allah wahyukan. Meramu dedaunan tersebut, kemudian
menggunakannya sebagai penawar sakitnya. Atas izin Allah, sakit Nabi Musa
hilang. Beliau sembuh. Akan tetapi, setelah beberapa waktu kemudian. Sakit itu
datang kembali. Sakit sejenis. Tanpa menghadap Allah, nabi Musa memetik daun
serupa. Kemudian meracik dan menggunakan untuk penyembuhannya. Adapun yang
terjadi, sakitnya tetap membadan padanya.
Akhirnya Nabi Musa mengadu
kembali kepada Allah. “Ya Tuhan Kami,
mengapa sakit ini masih mebadan pada hamba”. Lalu Allah mengajarkan Musa “Wahai Musa, sesungguhnya, saat pertama
sekali engkau memakan dedaunan itu, sakitmu hilang. Itu semata-mata karena kamu
yakin, Akulah yang menyebuhkan, lewat perantaraan daun itu. Namun, saat kedua
kali kamu memetiknya. Kamu sudah menganggap, bahwa daun itulah menyembuhkanmu.
Bukan Aku”. Kata Allah.
Saya tidak tau persis. Apa
sebenarnya hubungan antara pengalaman yang saya lalui dengan cerita Nabi Musa
ini. Akan tetapi, setiap detik peristiwa yang berlalu, saya merasa, seakan
Allah langsung mengajariku. Bahwa, cukuplah
Allah bagiku.
Ciganjur, Rabu, 6 Juni 2012 |
270FE9B7 | 0815.1144.8147
Bagikan
