Rabu, 17 Oktober 2012

Cukuplah Allah Bagiku



Jika sudah melekat pada satu pikiran, maka, pikiran yang lain terabaikan.
#Kesadaran

Ulang Tahunku 2012 Memang Berbeda
Seperti telah saya ceritakan kepada Anda, di My Anniversary; Hari ini terasa berbeda. Ya. Rasanya lumayan agak aneh perilaku saya hari ini. Karena, saya mengerjakan hal yang tidak pernah saya buat tahun-tahun sebelumnya. Terutama, semenjak memiliki akun facebook. Apalagi sekarang, akun saya ini, sudah masuk waiting list bagi teman-teman yang add saya. Sehingga, saya membuat akun kedua.

Hal apa sebenarnya yang Anda kerjakan, sehingga Anda menfatwa, bahwa Anda melakukan hal yang belum pernah Anda laksanakan sebelumnya?” Mungkin Anda bertanya demikian. Ya. Pada pengulangan hari kelahiranku tahun 2012 ini. Saya mengharapkan ucapan selamat ulang tahun dari teman-temanku. Di mana, harapan ini tidak pernah terbesit olehku sedikit pun, tahun-tahun sebelumnya. Terkecuali dari istri, dan keluargaku di Aceh.

Ego untuk disanjung
Saya menyadari—alasan ini terjadi akibat—saya lengah dari pikiran yang timbul tenggelam dalam diri. Terutama hasrat agar mendapat ucapan selamat. Cuma itu saja. Dan kalau dipikir-pikir sepele. Iyakan? Namun, tidak bagi saya. Karena, ada pengalaman menarik yang terjadi. Ikuti saja sampai tuntas hikayat ini.

Selain karena lengah, mungkin juga karena, tahun-tahun sebelumnya—2007 sampai dengan 2011 yang lalu—saya banyak sekali mendapat ucapan selamat ulang tahun. Ragam corak doa terukir di wall saya. Ada yang langsung mengomentari di wall, ada juga mengirim ke inbox. Jumlahnya, tidak pernah saya duga. Ratusan. Bahkan, teman yang tidak terlalu saya kenal, tetapi hanya pertemanan di facebook, juga mendoakan saya. Sungguh, it’s make me surprise

Saya menerka, bisa jadi yang mendasari keinginan agar mendapat ucapan selamat pada tahun 2012 ini, lantaran pengalaman tahun-tahun sebelumnya. Sehingga, muncul ide, menulis catatan ungkapan syukur dan bahagia atas anugerah usia dari Tuhan. Kemudian mempostingnya di blog. Jadi, siapa pun mau mengucapin, bisa mengomentari langsung di sana. 

Langsung saja, saya menuruti ego dengan menuliskan sebuah catatan tentang rasa syukurku. Setelah saya menulis kata-kata yang berseliweran di kepala, pagi itu juga saya meposting di blogini. Setelah selesai, seharian penuh aktifitas saya hanya menanti komentar. Bukan hanya itu, akan tetapi, saya juga menyiapkan kata-kata balasan atas ungkapan yang memberi selamat.

Terpenjara Ego
Ini dia, janji saya pada paragraf ketiga di atas. Ada pun yang terjadi, komentar itu tidak ada yang datang. Sehingga, siang hari, saya meninggalkan laptop, dan memutuskan jaringan internet. Egoku berbisik “Tunggu saja sampai nanti malam, bisa jadi belum ada yang baca”. Sehingga, rasa kecewa tidak jadi saya pilih sebagai sikap atas realita yang ada.

Setelah menyelesaikan aktifitas saya yang lain. Malam itu, jam 22.00 saya sengaja menghubungkan kembali jaringan internet. Setelah koneksinya tersambung, tab pertama di mesin pencari, saya membuka halaman facebook. Yang kedua, halaman blog ini. Dan apakah Anda tau, berapa ucapan selamat yang masuk. Hanya 3 komentar, + 3 like. Di akun facebook pun juga demikian. Sementara di akun kedua ada 5 orang mengucapkan happy birthday lewat chat.

Berarti, jika saya jumlahkan keseluruhan ucapan selamat yang masuk pada hari itu, ada sekitar 11 ucapan. Termasuk dari istri, dan keluarga di Aceh. Bisa Anda bayangkan, seperti apa wajah saya malam itu. Rupa orang diselimuti kekecewaan. untungnya, saya malam itu masih bisa tidur. Akan tetapi, tidak terlalu nyenyak. Karena, terngiang-ngiang, “Kok tidak ada yang kasih ucapan selamat”.

Efek kemelekatan
Kemudian, ada suara-suara sahut menyahut mengingatkan, menyindir, dan menghibur. Saya tidak tau mengkelompokkan pikiran itu sebagai negatif atau positif. Namun, isinya sangat jelas terekam di memori. “Itu pertanda, kamu tidak ada yang peduli”. Satu suara muncul. Lalu, ada suara lain berbunyi dengan nada lebih tinggi, “Makanya, jangan merasa sok terkenal. Buang jauh-jauh pikiran, kalau kamu hebat. Kamu bukan siapa-siapa tau?”. Agak sedikit marah-marah nasehatnya.

Lebih parahnya lagi, sang ego masih saja ngotot. “Tunggu saja sampai besok. Biasakan, sampai sehari setelah ultah, masih ada yang mengirim ucapan selamat”. Ego saya berdalih. Ternyata memang, jika sudah melekat pada satu pikiran, maka, pikiran yang lain terabaikan. Meskipun, ide-ide lain lebih tepat dan bijaksana.

Sehingga, keesokan harinya, saya menanti hal yang tak pasti lagi. Dua jam sekali, saya mengecek di facebook, inbox dan komentar di blog. Ternyata gak ada sepatah kata pun, tertancap seperti saya inginkan. Sang kecewa kembali memakaikan baju kebesarannya kepadaku. Jadi, derita kecewa, sekali lagi saya alami. 

Berpeluk dengan hikmah
Akhirnya, pada malam hari, saya duduk diam, sambil bersila seperti biasanya. Saya mengajukan pertanyaan, “ya Tuhan, apa maksud dari kejadian ini?”. Saya menambahkan pertanyaan, “Apakah salah saya mengharapkan ucapan selamat ulang tahun kepada manusia?”. Saya masih tetap dalam keadaan duduk. Diam. Hening. 

Setelah itu, saya mencoba menganalisa. Padahal, kalau saya pikir-pikir, efek dari ucapan selamat ini tidak akan menghebatkan saya. Toh itu setiap orang mengalaminya. Namun, mengapa hal ini tidak terjadi pada tahun ini. Sementara sebelumnya, tidak pernah saya harapkan, malah saya kewalahan membalas satu persatu. Sangking banyaknya.

Kemudian, sang bijak hadir bercengkrama denganku. “Mad, kamu harus bersyukur, Allah tidak mengabulkan harapanmu. Karena itu lebih baik bagimu.” Sang bijak berkata. “Maksudnya?” saya berdialog dengan sang bijak tadi. “Kamu harus bersyukur, Allah tidak mengizinkanmu menjadi orang sombong hari ini dan kemarin?”. Dia mengurai ungkapannya. “Kok bisa?” Saya masih belum faham.

Ujub dan Sombong
Penjelasan lanjutan sang bijaklah yang membuat saya geleng-geleng kepala. Ada rasa haru dan malu kepada Allah. Bahkan benar-benar membuat saya merasa sangat bersyukur. “Mad, ini bukan persoalan ucapan selamat ulang tahun bagimu. Akan tetapi, ini persoalan egomu. Mungkin kamu tidak menyadari, tapi aku tahu. Yang melatar belakangi niatmu melakukan hal ini, karena, kamu merasa dirimu orang hebat. Kamu sudah terkenal. Dan jika ini terjadi, semakin membuat dirimu lebih angkuh dan sombong”. Sang Bijak melengkapi pejelasannya.

Air mata memang tidak menetes di pipi. Akan tetapi, saya merasa sangat disayang oleh Allah. Saya sangat bersyukur, karena Allah masih tidak mengizinkan kesombongan semakin bertambah dalam diriku. 

Dalam kesyukuran ini, pikiranku membawa ke cerita Nabi Musa. Kisah yang sering saya dengarkan dalam khutbah jumaat dan pengajian. Para pendai, biasa menggunakan Sirah Nabi Musa ini, untuk mengungkapkan kesombongan manusia, dan hanya berharap serta pasrah kepada Allah.

Kisah Nabi Musa
Suatu ketika, Nabi Musa menghadap kepada Allah. Beliau mengadu langsung kepada Yang Maha Menghidupkan, akan sakit yang beliau alami. “Ya Ilahi rabi, hamba menderita ini dan itu”. Nabi Musa curhat kepada Allah. Kakak Nabi Harun as ini, memiliki kelebihan dari yang lain, bisa berkomunikasi langsung dengan Allah. Lalu Allah memerintahkan Nabi Musa as. “Naiklah enkau ke bukit ini, kemudian petik daun ini dan itu. Lalu gunakan ia sebagai obat penyakitmu”. Perintah Allah kepada Nabi Musa.

Setelah itu, Nabi Musa as mencari daun yang Allah wahyukan. Meramu dedaunan tersebut, kemudian menggunakannya sebagai penawar sakitnya. Atas izin Allah, sakit Nabi Musa hilang. Beliau sembuh. Akan tetapi, setelah beberapa waktu kemudian. Sakit itu datang kembali. Sakit sejenis. Tanpa menghadap Allah, nabi Musa memetik daun serupa. Kemudian meracik dan menggunakan untuk penyembuhannya. Adapun yang terjadi, sakitnya tetap membadan padanya.

Akhirnya Nabi Musa mengadu kembali kepada Allah. “Ya Tuhan Kami, mengapa sakit ini masih mebadan pada hamba”. Lalu Allah mengajarkan Musa “Wahai Musa, sesungguhnya, saat pertama sekali engkau memakan dedaunan itu, sakitmu hilang. Itu semata-mata karena kamu yakin, Akulah yang menyebuhkan, lewat perantaraan daun itu. Namun, saat kedua kali kamu memetiknya. Kamu sudah menganggap, bahwa daun itulah menyembuhkanmu. Bukan Aku”. Kata Allah.

Saya tidak tau persis. Apa sebenarnya hubungan antara pengalaman yang saya lalui dengan cerita Nabi Musa ini. Akan tetapi, setiap detik peristiwa yang berlalu, saya merasa, seakan Allah langsung mengajariku. Bahwa, cukuplah Allah bagiku.

Ciganjur, Rabu, 6 Juni 2012 | 270FE9B7 | 0815.1144.8147
Bagikan