Selasa, 23 Oktober 2012

Gara-Gara Bau Badan



Sering sekali saya membesar-besarkan masalah hanya persoalan sepele dan remeh temeh. Seperti mencium bau ketut di keramaian. Padahal cukup menutup hidung, selesai urusan.
#NasehatDiri

Bagi yang hidungnya masih normal—kemampuan membaui dan mencium setiap orama—pasti merasa bermasalah, jika ada bau tak sedap terhirup olehnya. Sebut saja, seperti Anda yang pernah melewati area waduk airnya jarang di ganti. Atau got yang tidak pernah tersentuh oleh tangan manusia. 

Dan bagaimana jika bau yang kurang enak tercium itu adalah bau badan. Tentu bermasalah juga bukan? Mungkin, tidak akan terlalu bermasalah, jika bau badan tersebut merupakan bau badan kita sendiri. Tapi bagaimana kalau bau itu datang dari tubuh orang lain? Mungkin juga sama—it’s no problem—asal, orang itu keluarga sendiri. 

Lalu, apakah akan terjadi respon serupa? jika bau badan itu datang dari orang yang belum anda kenal. bahkan, bau badan itu Anda menciumnya di tempat umum. Katakalah seperti saya alami tadi pagi. Saat perjalanan menggunakan busway menuju BPPT dekat Sarinah. Saya sudah berada dalam bis posisi duduknya menyamping itu, berawal dari halte Ragunan.

Penumpang bermode rambut Charlie ST12
Ceritanya, ketika busway merapat di halte warung jati. Ada seorang pemuda, usianya sekitar 23 tahun. Dia menggunakan baju kaos berlengan panjang berkain katun tebal. Di belakang punggungnya ada tas ranser memeluk erat tubuhnya. Laki-laki ini mempunyai rambut bermode seperti Charlie mantan vokalis ST12.

Saya duduk di kursi sebelah kiri paling belakang. 4 kursi di samping kanan saya, sudah terisi oleh 3 orang. Sehingga, pas antara saya dan 3 orang kosong. Di kursi kosong inilah, landasan pendaratan pantat lelaki beramput seperti Charlie. 

Waktu itu, saya sedang asyik membaca memoar Stephen King On Writing. Namun, begitu bis melanjutkan perjalanan ke halte selanjutnya, hingga ke tujuan terakhir Dukuh Atas. Hidung saya mencium bau yang tak asing. Aromanya seperti saya habis berlari berkeringat, namun saya mengenakan baju yang bisa menyerap keringat. Nah, bisa Anda cium sekarang seperti apa bau yang saya cium? Ya. Bau baju berkeringat yang telah mengering.

Merekayasa pikiran
Sungguh, kosentrasi saya tergoda. Antara memfokuskan ocehan King dalam memoarnya atau mengelola bau yang saya hirup. Saya berusaha menggunakan ilmu rekayasa pikiran yang saya pelajari. Saya mencoba mengakses bau durian yang terekam dalam memori saya. Namun sayang. Rekayasa saya kalah dengan kenyataan bau berterbangan dari orang samping kanan saya.

Akhirnya saya mengalah. Ketika bis berhenti di halte Gor sumantri. Banyak kursi kosong. Termasuk enam kursi belakang saya duduki. Sehingga, hanya tinggal saya, samping kanan, dan penumpang samping kanan dari lelaki berambut Charlie. Saya memperhatikan dengan mode periveral. Penumpang samping kanan Charlie, sudah menggeserkan pantatnya, paling kanan bis. Sementara orang samping kirinya, masih mencoba-coba menahan. Meski akhirnya pindah juga.

Tidak tau diri atau?
Meski seperti itu. Pikiran saya mencoba merangkai bingkai indah dari peristiwa tersebut. Bingkainya berupa pembelajaran. Yakni, betapa saya merasa terganggu oleh bau tak sedap itu. Padahal, bau itu juga sangat mungkin bagi tubuh saya memproduksinya. Siapa pun orangnya, selama keringat masih bisa berkucuran dari badannya. Maka, dia termasuk golongan penghasil cairan tubuh keluar dari pori-pori.

Efek samping persoalannya adalah, bukan hanya tidak suka terhadap bau itu. Terkadang, pikiran ini lebih dahulu tampil dengan kesombongannya. Berlagak seperti orang paling benar dan sok suci. Akibatnya, penghakiman “dasar orang tidak tau diri” lahir dari rahim mesin produksi ide. 

Hanya karena terpaksa
Sehingga, kalau saya pikir-pikir. Sekarang bukan lagi perkara bau badan. Tapi bergerak menuju bau penghakiman tau diri dan tidak. Padahal, secara akal sadar. Jarang bahkan hampir tidak ada. Saat keluar dari rumah, berangkat menuju tujuan. Ada orang yang dengan sengaja, menaburkan aroma kurang sedap pada tubuhnya. Kecuali terpaksa.

Maksudnya? Barangkali Anda bertanya seperti itu. Ya. Hanya karena kondisi mendesak seseorang akan tetap berada dalam lautan bau keringat. Mengapa? Karena orang tersebut tidak punya uang untuk beli farfum. Dan mungkin, dia tidak punya tempat tinggal untuk membasuh tubuhnya. Bisa tidur di atas kursi taman saja, sudah menguntungkan baginya.

Bukan berarti saya mengatakan seperti itu nasib orang yang duduk samping kanan saya tadi. Akan tetapi, dari keseluruhan penampilannya. Saya menduga, dia adalah pekerja bangunan yang hijrah dari satu proyek ke proyek yang lain. Sehingga, jika saya berada di posisinya. Mungkin akan mempertimbangkan seribu kali membeli farfum meski harga Rp.10.000,-. Sebab uang 10ribu setara sekali makan. Itu lebih penting.

Apalagi menjadi tukang bangunan. Tidak berangkat setiap hari ke kantor. Seperti saya yang menaiki busway ketika berjumpa dengan teman. Kadang berangkat ke toko buku tempat saya berekreasi. Dan jika ditinjau dari sisi lain. Berkat bau badan ini. Telah menghidupi ratusan rumah tangga. Hanya karena bau badan, ada orang menjadi kaya karenanya. Lantaran bau badan, banyak orang bisa bekerja pada perusahaan deodorant.

Bau badan cukup menutup hidung
Akhirnya saya menyadari. Terkadang persoalan remeh temeh seperti bau badan yang bisa diselesaikan dengan menutup hidung atau pindah tempat. Malah saya sendiri memribetkannya. Sehingga, dampak emosi bergejolak adalah dampak yang wajib saya tanggung. Padahal, jika saya mau menggunakan logika saya lebih luwes. Hakekatnya, tidak ada manusia mau badannya bau. Kecuali keadaan terpaksa.

Ciganjur, Sabtu 2 Juni 2012 


Bagikan