Penderitaan itu bagaikan menahan air seni, padahal
kantung kemih sudah penuh dan harus segera dilepaskan.
#NasehatDiri
Ini
tentang saya
Sebelum
lebih jauh saya berkisah kepada Anda. Ada baiknya saya menjelaskan kepada
Anda—bahwa trainer yang saya maksud dari episode ini—saya sendiri orangnya.
Sehingga, mohon tidak mengeneralisasi kesadaran ini. Maksudnya, belum tentu
setitik nila akan mengubah seluruh warna susu. Karena hakekatnya, susu berwarna
putih. Dan nila dengan warnanya sendiri. Jadi, ini hanya keadaan saya. Bukan
kehidupan para trainer lainnya di sekitar Anda.
Namun,
seandainya cuplikannya sama. Itu hanya fenomena hidup saja. Persis seperti
blackberry, baju, atau kendaraan yang saya gunakan. Ada kesamaan di satu sisi jenisnya.
Namun berbeda dalam pemanfaatanya. Dan saya tidak memungkiri, kesamaan itu ada.
Kesadaran
ini berawal dari tema yang selalu menjadi buah bibir, orang-orang yang
menyatakan dirinya sebagai golongan penolong orang lain. Pada buku-buku yang
tertata rapi di taman pengetahuan (baca toko buku). Biasanya tertulis, katagori “self
help” atau pengembangan diri.
Tema
yang tak pernah lekang sebagai pegangan pemikiran, sehingga tertawan dalam penjara
karakter (baca attitude), adalah
topik tentang walk to talk. Yakni,
setiap pembicara menjadi keharusan baginya, untuk membadankan apa yang dia
sampaikan? Bukan tuntutan, namun kelumrahan. Bahwa, nasehat-nasehat dalam ruang
kelas, baik terbuka atau tertutup, merupakan amalan keseharian seorang trainer.
Pencitraan
semata
Efek
dari pemahaman ini. Saya sering menameng nama baik (baca; menjaga image). Layaknya prajurit berpangkat
rendah dalam pertempuran. Selalu siap sedia memberikan tubuhnya di garis depan.
Seakan sudah memang begitu takdir mereka. Apalagi sugesti yang tertanam kepada
pasukan khusus—baret merah—lebih baik pulang nama dari pada gagal di medan
perang.
Agar
nama baik terus menyelimuti diri ini. Maka, ide strategi pencitraan pun, satu
persatu bermunculan. Dari yang alamiah, sampai ada sisi hidup mulai saya
paksakan. Pemaksaan ini, selalu saja menelan korban. Dan subjek derita sudah
barang tentu kena sasaran—padahal tidak berdosa apa pun—adalah keluarga. Dalam
hal ini, istri dan anak-anak.
Saya
pernah menyampaikan kepada putri anak mertua (istri saya). “Bunda, Ayah berharap sesekali bunda bisa
ikut hadir di kelas menemani ayah. Tujuannya, bunda bisa mengingatkan ayah di
rumah dan tempat mana pun di bumi ini. Bila ada perilaku ayah, bertolak
belakang dengan yang ayah lontarkan dalam kelas”.
Sebenarnya,
ego saya mau mengatakan. “Tolong
berperilaku seperti aku sampaikan ya, supaya aku tidak malu”. Inilah contoh
pemaksaan kehendak yang saya maksud. Tentu istri menjadi sasaran empuk.
Bahkan,
sempat terbesit angan-angan dalam kepala saya. Ketika anak saya besar nanti.
Apa sikap yang akan saya ciptakan, tatkala dia memasuki dunia remaja lengkap
dengan aktulisasi dirinya? Akankah saya berpesan “Nak, tolong jaga nama baik ayah ya. Jadi, hati-hati memilih kawan. Dan
perilakumu, jangan sampai merusak nama orang tuamu?”.
Kesadaran
ini muncul, tatkala saya berdiskusi bersama para pengajar ilmu hidup berupa soft-skill. Di sana terlempar wacana,
bahwa orang pertama harus kita ubah adalah yang berada di rumah. Jangan sampai,
sanjungan dari manusia-manusia penerima manfaat keilmuan kita, terkotori oleh
cacian dan makian istri di rumah. Juga tidak sampai terjadi, waktu buat klient
banyak, sementara anak dan istri, hanya menerima sisa tenaga dan waktu.
Contoh
untuk pembicara terkenal yang mendunia pun, menjadi bahan omongan. Seorang
motivator di belahan benua Amerika sana, nasib rumah tangga mereka berujung
pada perceraian. Naasnya, peristiwa itu terjadi, ketika sang pemotivasi lagi
naik daun. Dan, sedang memasuki masa-masa kejayaannya.
Perumpamaan
lilin
Ada
pun kalimat omongan yang terucap “Semoga
kita tidak seperti dia”. Karena, sungguh tidak bertanggung jawab.
Menasehatkan orang lain bisa. Tapi diri sendiri tidak mampu. Hal ini layaknya
lilin. Menerangi orang lain, namun merelakan dirinya terbakar. Lalu, mencair
hingga habis.
Padahal,
kalau dipikir-pikir. Kehidupan ini memiliki kisahnya setiap putaran waktu yang
telah ditetapkan. Hakekatnya, sang pengalaman ingin memberitahu, bahwa semesta
memiliki aturan yang tidak bisa direkayasa. Terhadap ketetatapannya pun, tiada
manusia mampu menangguhnya. Apalagi memaksakan diri mengubahnya. Sehingga, ada pun
pemaksaan, merupakan usaha penderitaan
diri.
Sebenarnya,
ini bukanlah persoalan menjaga nama baik. Bukan pula aib bila sempat terjadi
ketidaksesuaian ucapan dalam perbuatan. Karena, sebagaimana kelumrahannya.
Terkadang, sekuat apa pun menjaga dan menahan. Peristiwa yang telah ditakdirkan
tetap menyapa. Meskipun tidak suka. Cuman, ini bukan juga azas pembenaran diri.
Melainkan kesadaran diri semata. Seperti, sehebat apa pun merawat diri, bila
jatah hidup sudah habis, maka ajal pasti menjemput.
Jadi,
derita ini hanyalah persoalan ketidakmampuan diri menerima kenyataan terhadap
peristiwa sedang berlaku. Seperti kemelekatan amat sangat kuat memeluk
kesenangan, nama baik, dan sanjungan. Dan semua hal ini, tidak rela lepas dari
pelukan.
Ciganjur,
Senin, 14 Mei 2012
Bagikan
