Jumat, 12 Oktober 2012

Kotemplasi; Derita Seorang Trainer



Penderitaan itu bagaikan menahan air seni, padahal kantung kemih sudah penuh dan harus segera dilepaskan.
#NasehatDiri

Ini tentang saya
Sebelum lebih jauh saya berkisah kepada Anda. Ada baiknya saya menjelaskan kepada Anda—bahwa trainer yang saya maksud dari episode ini—saya sendiri orangnya. Sehingga, mohon tidak mengeneralisasi kesadaran ini. Maksudnya, belum tentu setitik nila akan mengubah seluruh warna susu. Karena hakekatnya, susu berwarna putih. Dan nila dengan warnanya sendiri. Jadi, ini hanya keadaan saya. Bukan kehidupan para trainer lainnya di sekitar Anda. 

Namun, seandainya cuplikannya sama. Itu hanya fenomena hidup saja. Persis seperti blackberry, baju, atau kendaraan yang saya gunakan. Ada kesamaan di satu sisi jenisnya. Namun berbeda dalam pemanfaatanya. Dan saya tidak memungkiri, kesamaan itu ada.

Kesadaran ini berawal dari tema yang selalu menjadi buah bibir, orang-orang yang menyatakan dirinya sebagai golongan penolong orang lain. Pada buku-buku yang tertata rapi di taman pengetahuan (baca toko buku). Biasanya tertulis,  katagori “self help” atau pengembangan diri.

Tema yang tak pernah lekang sebagai pegangan pemikiran, sehingga tertawan dalam penjara karakter (baca attitude), adalah topik tentang walk to talk. Yakni, setiap pembicara menjadi keharusan baginya, untuk membadankan apa yang dia sampaikan? Bukan tuntutan, namun kelumrahan. Bahwa, nasehat-nasehat dalam ruang kelas, baik terbuka atau tertutup, merupakan amalan keseharian seorang trainer.

Pencitraan semata
Efek dari pemahaman ini. Saya sering menameng nama baik (baca;  menjaga image). Layaknya prajurit berpangkat rendah dalam pertempuran. Selalu siap sedia memberikan tubuhnya di garis depan. Seakan sudah memang begitu takdir mereka. Apalagi sugesti yang tertanam kepada pasukan khusus—baret merah—lebih baik pulang nama dari pada gagal di medan perang.

Agar nama baik terus menyelimuti diri ini. Maka, ide strategi pencitraan pun, satu persatu bermunculan. Dari yang alamiah, sampai ada sisi hidup mulai saya paksakan. Pemaksaan ini, selalu saja menelan korban. Dan subjek derita sudah barang tentu kena sasaran—padahal tidak berdosa apa pun—adalah keluarga. Dalam hal ini, istri dan anak-anak.

Saya pernah menyampaikan kepada putri anak mertua (istri saya). “Bunda, Ayah berharap sesekali bunda bisa ikut hadir di kelas menemani ayah. Tujuannya, bunda bisa mengingatkan ayah di rumah dan tempat mana pun di bumi ini. Bila ada perilaku ayah, bertolak belakang dengan yang ayah lontarkan dalam kelas”.

Sebenarnya, ego saya mau mengatakan. “Tolong berperilaku seperti aku sampaikan ya, supaya aku tidak malu”. Inilah contoh pemaksaan kehendak yang saya maksud. Tentu istri menjadi sasaran empuk. 

Bahkan, sempat terbesit angan-angan dalam kepala saya. Ketika anak saya besar nanti. Apa sikap yang akan saya ciptakan, tatkala dia memasuki dunia remaja lengkap dengan aktulisasi dirinya? Akankah saya berpesan “Nak, tolong jaga nama baik ayah ya. Jadi, hati-hati memilih kawan. Dan perilakumu, jangan sampai merusak nama orang tuamu?”. 

Kesadaran ini muncul, tatkala saya berdiskusi bersama para pengajar ilmu hidup berupa soft-skill. Di sana terlempar wacana, bahwa orang pertama harus kita ubah adalah yang berada di rumah. Jangan sampai, sanjungan dari manusia-manusia penerima manfaat keilmuan kita, terkotori oleh cacian dan makian istri di rumah. Juga tidak sampai terjadi, waktu buat klient banyak, sementara anak dan istri, hanya menerima sisa tenaga dan waktu.

Contoh untuk pembicara terkenal yang mendunia pun, menjadi bahan omongan. Seorang motivator di belahan benua Amerika sana, nasib rumah tangga mereka berujung pada perceraian. Naasnya, peristiwa itu terjadi, ketika sang pemotivasi lagi naik daun. Dan, sedang memasuki masa-masa kejayaannya.

Perumpamaan lilin
Ada pun kalimat omongan yang terucap “Semoga kita tidak seperti dia”. Karena, sungguh tidak bertanggung jawab. Menasehatkan orang lain bisa. Tapi diri sendiri tidak mampu. Hal ini layaknya lilin. Menerangi orang lain, namun merelakan dirinya terbakar. Lalu, mencair hingga habis. 

Padahal, kalau dipikir-pikir. Kehidupan ini memiliki kisahnya setiap putaran waktu yang telah ditetapkan. Hakekatnya, sang pengalaman ingin memberitahu, bahwa semesta memiliki aturan yang tidak bisa direkayasa. Terhadap ketetatapannya pun, tiada manusia mampu menangguhnya. Apalagi memaksakan diri mengubahnya. Sehingga, ada pun pemaksaan, merupakan usaha  penderitaan diri.

Sebenarnya, ini bukanlah persoalan menjaga nama baik. Bukan pula aib bila sempat terjadi ketidaksesuaian ucapan dalam perbuatan. Karena, sebagaimana kelumrahannya. Terkadang, sekuat apa pun menjaga dan menahan. Peristiwa yang telah ditakdirkan tetap menyapa. Meskipun tidak suka. Cuman, ini bukan juga azas pembenaran diri. Melainkan kesadaran diri semata. Seperti, sehebat apa pun merawat diri, bila jatah hidup sudah habis, maka ajal pasti menjemput.

Jadi, derita ini hanyalah persoalan ketidakmampuan diri menerima kenyataan terhadap peristiwa sedang berlaku. Seperti kemelekatan amat sangat kuat memeluk kesenangan, nama baik, dan sanjungan. Dan semua hal ini, tidak rela lepas dari pelukan. 

Ciganjur, Senin, 14 Mei 2012
Bagikan