Rabu, 21 Maret 2012

Semakin Menderita Semakin Bahagia


Bila kamu ingin tahu bagaimana nikmatnya seteguk air dan sepotong roti. Tanyakanlah kepada mereka yang pernah haus dan lapar.
#NasehatDiri

Ngantar istri ke Bidan Endang

Hari ini. Pagi sekitar jam 09.00wib. Saya mengantar istri dan buah hati kesayangan kami Nur Avelyna ke bidan Endang. Klinik persalinan bidan Endang tidak jauh dari tempat saya tinggal. Bila menggunakan motor bisa saya tempuh dalam waktu di bawah 10 menit. Kami ke sini bukan karena putri sedang sakit. Tetapi ingin menindik telinga dan memasang anting-anting di telinganya. Sekaligus melaksanakan khitan bagi putri kami tercinta.

Awalnya saya berharap, proses khitanan bisa dilakukan langsung oleh pihak rumah sakit. Akan tetapi, karena peraturan baru dari pemerintah, rumah sakit tempat istri saya melahirkan putri kami, tidak bisa melakukannya. Sementara tindik telinga, ada jadwalnya saat saya mengontrol si bayi dua minggu setelah persalinan. Namun, istri lebih memutuskan tindik telinga, sekaligus saat khitan saja.

Menanti tangisan bayi

Kemudian, pas sampai di klinik. Suasana masih sepi. Belum ada pasien lain yang hadir. Kecuali saya, istri dan Bu Le Saniah (Adik mertua). Depan klinik hanya terparkir sebuah mobil masih terselimuti oleh penutupnya. Terbungkus rapi. Tanpa menunggu lama, istri saya membaringkan putri kami ke atas tempat tidur. Supaya bidan Endang mudah menindik telinga putri kami. Entah suatu keuntungan atau patut kami syukuri. Saat itu, Nur Avelyna dalam kondisi tertidur lelap. 

Selama proses khitan dan menindik telingan, saya hanya duduk di luar. Sambil mempersiapkan diri mendengar suara tangisan bayi. Bisa Anda rasakan, bagaimana rasanya bila kulit telinga Anda dilubangi? Saya belum pernah merasakannya. Bagi Anda kaum hawa, pasti sudah melewati masa itu, iyakan?

Tidak seperti saya duga
 
Setelah bidan Endang selesai menindik kedua telinga. Kemudian beliau mempersiapkan alat lain untuk proses khitan. Anehnya, anak saya menangis bukan seperti dugaan saya. Tadinya saya mengira, putri kami akan menangis sekeras-kerasnya. Bahkan bisa menjerit lama. Akan tetapi, tangisan hanya sebentar pada proses melubangi telinga. Dan, saat khitanpun juga demikian. Bahkan, saat suntik BCGpun, bayi saya hanya menangis sebentar saja. Setelah itu, dia tidur lagi.

Sakit hanya memori

Peristiwa ini, mengingatkan kembali pada pembicaraan tentang  rasa sakit semasa masih di Bogor. Saat itu kami sedang berdiskusi tentang khitan juga. Dan, cakupan debat kusir itu berkisar antara kapan proses khitan yang tepat untuk anak lekaki? Apakah setelah kelas 6 SD atau masih kecil (bayi di bawah 1 tahun)? Lalu, dosen saya menyampaikan, rasa sakit yang kita rasa, itu hanya persoalan memori. Sakit atau tidak, tergantung bagaimana perbandingan emosi (rasa sakit) yang pernah terekam di memori. 

Selain itu, saya juga teringat cerita istri saya tentang keponakan kami (Anak dari saudara sepupu). Sang keponakan baru merasakan bagaimana rasanya sakit, setelah dia berusia 2 tahun. Itupun karena, saat dia sedang bermain dengan sepupunya. Saat itu, entah bagaimana kejadian persisnya. Kepala kebentur dengan mainan mereka. Sentak saja, tangisan luar biasa keluar dari suaranya. Kalau Anda ahli di bidang tarik suara, mungkin mengetahui berapa oktaf tinggi tangisannya saat itu.

Rupanya, sang anak berada dalam pengasuhan serba protektif dari orang tuanya. Saya menyadari, begitulah cinta dan sayangnya ibu kepada anaknya. Akan tetapi, dampaknya, sang anak terlambat mengalami dan menyadari rasa sakit. Sehingga, benturan sedikit langsung menangis. Mungkin sangat berbeda kejadiannya. Seandainya, dulu dia sempat merasakan benturan. Sehingga, memori hanya melakukan perbandingan, antara rasa dulu, dengan rasa yang sekarang dialami.

Semakin menderita semakin bahagia

Barangkali, ini juga merupakan contoh dari penjelasan teori rasa sakit yang pernah saya baca. Sang penulis buku menyampaikan, karena otak bekerja dengan cara membandingkan, maka, seseorang yang pernah mengalami penderitaan (emosi) mendalam, dengan sendirinya dia akan mengalami perasaan bahagia serupa. 

Dan itu sebabnya juga, saya memperhatikan orang-orang mempunyai sejarah hidup (ujian paling mendalam). Biasanya, setelah dia terus menjalani dan merenovasi emosinya, maka dia akan mengalami emosi sebaliknya (kebahagiaan). Pak Gede prama mengukir perumpaan itu dengan kata-kata indah menawan. 

Ujian hidup adalah vitamin bagi jiwa yang sedang bertumbuh.

Ciganjur, Senin, 27 februari 2012
Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist BB 270fe9b7
Bagikan