Bila
kamu ingin tahu bagaimana nikmatnya seteguk air dan sepotong roti. Tanyakanlah
kepada mereka yang pernah haus dan lapar.
#NasehatDiri
Ngantar
istri ke Bidan Endang
Hari ini.
Pagi sekitar jam 09.00wib. Saya mengantar istri dan buah hati kesayangan kami
Nur Avelyna ke bidan Endang. Klinik persalinan bidan Endang tidak jauh dari
tempat saya tinggal. Bila menggunakan motor bisa saya tempuh dalam waktu di
bawah 10 menit. Kami ke sini bukan karena putri sedang sakit. Tetapi ingin
menindik telinga dan memasang anting-anting di telinganya. Sekaligus
melaksanakan khitan bagi putri kami tercinta.
Awalnya saya
berharap, proses khitanan bisa dilakukan langsung oleh pihak rumah sakit. Akan
tetapi, karena peraturan baru dari pemerintah, rumah sakit tempat istri saya melahirkan
putri kami, tidak bisa melakukannya. Sementara tindik telinga, ada jadwalnya
saat saya mengontrol si bayi dua minggu setelah persalinan. Namun, istri lebih
memutuskan tindik telinga, sekaligus saat khitan saja.
Menanti
tangisan bayi
Kemudian,
pas sampai di klinik. Suasana masih sepi. Belum ada pasien lain yang hadir.
Kecuali saya, istri dan Bu Le Saniah (Adik mertua). Depan klinik hanya
terparkir sebuah mobil masih terselimuti oleh penutupnya. Terbungkus rapi. Tanpa
menunggu lama, istri saya membaringkan putri kami ke atas tempat tidur. Supaya
bidan Endang mudah menindik telinga putri kami. Entah suatu keuntungan atau
patut kami syukuri. Saat itu, Nur Avelyna dalam kondisi tertidur lelap.
Selama
proses khitan dan menindik telingan, saya hanya duduk di luar. Sambil
mempersiapkan diri mendengar suara tangisan bayi. Bisa Anda rasakan, bagaimana
rasanya bila kulit telinga Anda dilubangi? Saya belum pernah merasakannya. Bagi
Anda kaum hawa, pasti sudah melewati masa itu, iyakan?
Tidak
seperti saya duga
Setelah
bidan Endang selesai menindik kedua telinga. Kemudian beliau mempersiapkan alat
lain untuk proses khitan. Anehnya, anak saya menangis bukan seperti dugaan
saya. Tadinya saya mengira, putri kami akan menangis sekeras-kerasnya. Bahkan
bisa menjerit lama. Akan tetapi, tangisan hanya sebentar pada proses melubangi
telinga. Dan, saat khitanpun juga demikian. Bahkan, saat suntik BCGpun, bayi
saya hanya menangis sebentar saja. Setelah itu, dia tidur lagi.
Sakit
hanya memori
Peristiwa
ini, mengingatkan kembali pada pembicaraan tentang rasa sakit semasa masih di Bogor. Saat itu
kami sedang berdiskusi tentang khitan juga. Dan, cakupan debat kusir itu
berkisar antara kapan proses khitan yang tepat untuk anak lekaki? Apakah
setelah kelas 6 SD atau masih kecil (bayi di bawah 1 tahun)? Lalu, dosen saya
menyampaikan, rasa sakit yang kita rasa, itu hanya persoalan memori. Sakit atau
tidak, tergantung bagaimana perbandingan emosi (rasa sakit) yang pernah terekam
di memori.
Selain itu,
saya juga teringat cerita istri saya tentang keponakan kami (Anak dari saudara
sepupu). Sang keponakan baru merasakan bagaimana rasanya sakit, setelah dia
berusia 2 tahun. Itupun karena, saat dia sedang bermain dengan sepupunya. Saat
itu, entah bagaimana kejadian persisnya. Kepala kebentur dengan mainan mereka.
Sentak saja, tangisan luar biasa keluar dari suaranya. Kalau Anda ahli di
bidang tarik suara, mungkin mengetahui berapa oktaf tinggi tangisannya saat
itu.
Rupanya,
sang anak berada dalam pengasuhan serba protektif dari orang tuanya. Saya
menyadari, begitulah cinta dan sayangnya ibu kepada anaknya. Akan tetapi,
dampaknya, sang anak terlambat mengalami dan menyadari rasa sakit. Sehingga,
benturan sedikit langsung menangis. Mungkin sangat berbeda kejadiannya.
Seandainya, dulu dia sempat merasakan benturan. Sehingga, memori hanya
melakukan perbandingan, antara rasa dulu, dengan rasa yang sekarang dialami.
Semakin
menderita semakin bahagia
Barangkali,
ini juga merupakan contoh dari penjelasan teori rasa sakit yang pernah saya
baca. Sang penulis buku menyampaikan, karena otak bekerja dengan cara
membandingkan, maka, seseorang yang pernah mengalami penderitaan (emosi)
mendalam, dengan sendirinya dia akan mengalami perasaan bahagia serupa.
Dan itu
sebabnya juga, saya memperhatikan orang-orang mempunyai sejarah hidup (ujian
paling mendalam). Biasanya, setelah dia terus menjalani dan merenovasi
emosinya, maka dia akan mengalami emosi sebaliknya (kebahagiaan). Pak Gede
prama mengukir perumpaan itu dengan kata-kata indah menawan.
Ujian hidup adalah vitamin bagi jiwa yang sedang
bertumbuh.
Ciganjur,
Senin, 27 februari 2012
Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist BB
270fe9b7
Bagikan
