Rabu, 16 Mei 2012

Bagaimana Cara Menyelaraskan Perasaan Bersalah?


Sesungguhnya orang yang sangat pantas pertama sekali saya maafkan dalam hidup ini—diri saya sendiri.

#NasehatDiri

Pulang dari kampus

Malam itu, sekitar jam 21.00 wib. Saya lupa hari dan tanggalnya. Tetapi ingatan saya masih merekam dengan jelas. Bagaimana gambar, perasaan dan suara-suara yang terdengar saat itu?

Kejadiannya, saya baru pulang dari kampus. Bukan karena saya anak rajin belajar hingga jam segitu masih berada di kampus. Akan tetapi, menghadiri pertemuan bersama teman-teman mahasiswa Aceh. Juga memamfaatkan fasilitas kampus bagi mahasiswa, berupa internet gratis. Saya mengecek email masuk, dan membaca beberapa artikel dari milist yang saya ikuti.

Pengendara motor misterius

Pas di depan gang caringin. Tiba-tiba saja ada orang melintas dengan motor di depan saya. Kilauan lampu motor yang dia kendarai, mengenai mata saya. Sehingga, saya harus mengecilkan pupil, akibat cahaya lampu kendaraannya. Sesaat kemudian, motor tersebut berhenti tepat di samping saya, dan pengendarannya langsung menyodorkan 3 buah baju kaos berwarna hijau, merah dan hitam. Terikat dalam satu gulungan dengan tali plastik/rapia.

Pengendara motor tersebut, mengenakan jaket tebal dan helm sport. Sehingga saya tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya, melainkan mata dan pangkal hitungnya. Hal itu membuat saya tidak bisa mengenalinya. Dengan cepat dia menawari saya sambil menyodorkan barang yang dia bawa ”Mas beli baju saya ini, harganya Rp.100.000,- biasanya saya menjual dengan harga Rp.60.000 perbaju”.

Seperti modus penipuan

Saya melihat apa yang dia tawarkan? Lalu saya merespon dengan nada rendah ”Maaf saya tidak tertarik”. Kemudian dia melanjutkan sedikit memaksa ”Tolong saya pak, tolong beli baju ini. Bensin motor saya sudah hampir kosong. Saya butuh uang untuk mengisinya dan pulang bertemu keluarga saya di Jakarta”.  Suaranya sedikit lebih tinggi dari sebelumnya.

Maaf Pak, saya tidak berminat, bapak boleh menjual untuk orang lain saja”. Saya membalas dengan tegas. ”Mas punya uang berapapun boleh, asal saya bisa isi bensin untuk pulang bertemu keluarga saya”. Dia ngotot. Tetapi saya tetap melangkah dan meninggalkan beliau. Akhirnya beliau menyalakan motornya dan melanjutkan perjalanannya sambil menggeleng-gelengkan. Karena ulah saya tidak mau membeli penawarannya.

Selama melangkah pergi, gejolak di dalam diri saya, tidak mampu saya elakkan. ”Kok kamu tega tidak membantu dia?”. Suara berbisik dalam diri saya. Namun di sisi lain, saya mengetahui bagaimana modus-modus penipuan minta tolong—memanfaatkan ketidakenakan seseorang—sehingga nalar logika menurun. (Bila nalar logika kita lemah, Anda tau sendiri, kemungkinan seperti apa yang bisa terjadi, iyakan?)

Seperti yang pengendara motor tadi lakukan kepada saya. Dia melakukan pada momen yang tepat, berupa memberhentikan motor secara mendadak dan menawarkan baju. Bila Anda berada di posisi saya, mungkin Anda juga akan terkejut. Dan kondisi terkejutpun, merupakan momen yang tepat membuat fikiran seseorang menjadi blank.

(Kondisi terkejut, ditambah penawaran-penawaran tertentu, pikiran kita menjadi sangat sibuk. Kesibukan itu pula membuat kita sulit menganalisis setiap tawaran-tawaran atau pertanyaan yang diberikan)

Menyelaraskan perasaan bersalah

Sementara itu, tetap saja batin ini berkata ”Kalau memang orang itu benar-benar membutuhkan pertolongan, betapa teganya kamu Mad?Perasaan bersalah karena tidak membantu, sungguh membuat saya menjadi sedih, gundah dan gelisah. Kemudian saya memutuskan untuk menceritakan pengalaman itu kepada teman saya. Kronologis kejadian, dan keputusan yang saya ambil. Saya meminta pendapatnya, agar saya menjadi tenang.

Kemudian, teman saya mengomentari cerita dan kondisi yang sedang saya alami. Lebih tepatnya, dia menyarankan kepada saya, layaknya persis sedang melakukan proses terapi. Seperti ini kata-katanya.

Si bagian yang kurang nyaman itu dan merasa sedih, karena kang Rahmad belum melakukan kebajikan, kan? Dalam hal ini membantu (bersedekah). Sekarang, Kang Rahmad damaikan saja dengan dia, tawarkan, apabila kang Rahmad bersedekah kepada orang lain, apakah dia bisa tenang? Bila bisa, itu berarti bukan rezeki sang pengendara motot tadi”.

Saran dari teman saya di atas. Saya kira sangat tepat dan pas. Langsung saat itu juga, saya melakukan proses pendamaian diri. Dengan cara berdialog kepada bagian yang merasa kurang nyaman pada diri saya. Hasilnya alhamdulilah memuaskan. Sisi yang tidak rela atas keputusan saya dengan pengendara motor setuju, kalau saya melakukan pertolongan dalam bentuk lain. Yaitu bersedekah kepada yang membutuhkan.

Setelah itu, saya menjadi lebih tenang. Dan keesokan hari nya, saya menyedekahkan uang Rp.100.000,- sebagai pengganti rasa bersalah saya. Pada dasarnya, perasaan itu terus hadir karena saya belum membantu. Tidak bisa membantu kepada pengendara motor itu, tetapi bukan berarti hilang kesempatan untuk berbagi. Selanjutnya, sayapun menjadi tenang, tentram dan damai. Setelah melaksanakan apa yang diinginkan oleh bagian (part) dalam diri saya.

Ciganjur, 22 September 2011 
Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist
Bagikan