Sesungguhnya orang yang sangat pantas pertama sekali saya
maafkan dalam hidup ini—diri saya sendiri.
#NasehatDiri
Pulang dari kampus
Malam itu, sekitar jam 21.00 wib.
Saya lupa hari dan tanggalnya. Tetapi ingatan saya masih merekam dengan jelas. Bagaimana
gambar, perasaan dan suara-suara yang terdengar saat itu?
Kejadiannya, saya baru pulang dari
kampus. Bukan karena saya anak rajin belajar hingga jam segitu masih berada di
kampus. Akan tetapi, menghadiri pertemuan bersama teman-teman mahasiswa Aceh. Juga
memamfaatkan fasilitas kampus bagi mahasiswa, berupa internet gratis. Saya
mengecek email masuk, dan membaca beberapa artikel dari milist yang saya ikuti.
Pengendara motor misterius
Pas di depan gang caringin. Tiba-tiba
saja ada orang melintas dengan motor di depan saya. Kilauan lampu motor yang
dia kendarai, mengenai mata saya. Sehingga, saya harus mengecilkan pupil,
akibat cahaya lampu kendaraannya. Sesaat kemudian, motor tersebut berhenti
tepat di samping saya, dan pengendarannya langsung menyodorkan 3 buah baju kaos
berwarna hijau, merah dan hitam. Terikat dalam satu gulungan dengan tali
plastik/rapia.
Pengendara motor tersebut,
mengenakan jaket tebal dan helm sport. Sehingga saya tidak bisa melihat dengan
jelas wajahnya, melainkan mata dan pangkal hitungnya. Hal itu membuat saya
tidak bisa mengenalinya. Dengan cepat dia menawari saya sambil menyodorkan
barang yang dia bawa ”Mas beli baju saya
ini, harganya Rp.100.000,- biasanya saya menjual dengan harga Rp.60.000 perbaju”.
Seperti modus penipuan
Saya melihat apa yang dia tawarkan?
Lalu saya merespon dengan nada rendah ”Maaf
saya tidak tertarik”. Kemudian dia melanjutkan sedikit memaksa ”Tolong saya pak, tolong beli baju ini.
Bensin motor saya sudah hampir kosong. Saya butuh uang untuk mengisinya dan
pulang bertemu keluarga saya di Jakarta”. Suaranya sedikit lebih tinggi dari sebelumnya.
”Maaf Pak, saya tidak berminat, bapak boleh menjual untuk orang lain
saja”. Saya membalas dengan tegas. ”Mas
punya uang berapapun boleh, asal saya bisa isi bensin untuk pulang bertemu
keluarga saya”. Dia ngotot. Tetapi saya tetap melangkah dan meninggalkan
beliau. Akhirnya beliau menyalakan motornya dan melanjutkan perjalanannya
sambil menggeleng-gelengkan. Karena ulah saya tidak mau membeli penawarannya.
Selama melangkah pergi, gejolak di
dalam diri saya, tidak mampu saya elakkan. ”Kok kamu tega tidak membantu dia?”. Suara berbisik dalam diri saya. Namun
di sisi lain, saya mengetahui bagaimana modus-modus penipuan minta tolong—memanfaatkan
ketidakenakan seseorang—sehingga nalar logika menurun. (Bila nalar logika kita
lemah, Anda tau sendiri, kemungkinan seperti apa yang bisa terjadi, iyakan?)
Seperti yang pengendara motor tadi
lakukan kepada saya. Dia melakukan pada momen yang tepat, berupa memberhentikan
motor secara mendadak dan menawarkan baju. Bila Anda berada di posisi saya, mungkin
Anda juga akan terkejut. Dan kondisi terkejutpun, merupakan momen yang tepat
membuat fikiran seseorang menjadi blank.
(Kondisi terkejut, ditambah
penawaran-penawaran tertentu, pikiran kita menjadi sangat sibuk. Kesibukan itu
pula membuat kita sulit menganalisis setiap tawaran-tawaran atau pertanyaan
yang diberikan)
Menyelaraskan perasaan bersalah
Sementara itu, tetap saja batin
ini berkata ”Kalau memang orang itu
benar-benar membutuhkan pertolongan, betapa teganya kamu Mad?” Perasaan bersalah
karena tidak membantu, sungguh membuat saya menjadi sedih, gundah dan gelisah.
Kemudian saya memutuskan untuk menceritakan pengalaman itu kepada teman saya.
Kronologis kejadian, dan keputusan yang saya ambil. Saya meminta pendapatnya,
agar saya menjadi tenang.
Kemudian, teman saya mengomentari
cerita dan kondisi yang sedang saya alami. Lebih tepatnya, dia menyarankan
kepada saya, layaknya persis sedang melakukan proses terapi. Seperti ini
kata-katanya.
”Si bagian yang kurang nyaman itu dan merasa sedih, karena kang Rahmad
belum melakukan kebajikan, kan? Dalam hal ini membantu (bersedekah). Sekarang,
Kang Rahmad damaikan saja dengan dia, tawarkan, apabila kang Rahmad bersedekah
kepada orang lain, apakah dia bisa tenang? Bila bisa, itu berarti bukan rezeki
sang pengendara motot tadi”.
Saran dari teman saya di atas.
Saya kira sangat tepat dan pas. Langsung saat itu juga, saya melakukan proses
pendamaian diri. Dengan cara berdialog kepada bagian yang merasa kurang nyaman
pada diri saya. Hasilnya alhamdulilah memuaskan. Sisi yang tidak rela atas
keputusan saya dengan pengendara motor setuju, kalau saya melakukan pertolongan
dalam bentuk lain. Yaitu bersedekah kepada yang membutuhkan.
Setelah itu, saya menjadi lebih
tenang. Dan keesokan hari nya, saya menyedekahkan uang Rp.100.000,- sebagai
pengganti rasa bersalah saya. Pada dasarnya, perasaan itu terus hadir karena
saya belum membantu. Tidak bisa membantu kepada pengendara motor itu, tetapi
bukan berarti hilang kesempatan untuk berbagi. Selanjutnya, sayapun menjadi
tenang, tentram dan damai. Setelah melaksanakan apa yang diinginkan oleh bagian
(part) dalam diri saya.
Ciganjur, 22 September 2011
Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist
Bagikan