Rezeki seperti harta atau pengalaman berharga. Tidak
pernah kita tau kapan dan dari mana datangnya. Oleh karena itu—hanya orang yang
siap—pantas menerimanya.
Sekedar
menunaikan kewajiban
Khusus untuk
ummat muslim. Shalat merupakan ibadah wajib bagi setiap insan mukallaf. Kewajiban
atas diri pribadi ini disebut fardhu ‘in.
Sehari semalam melaksanakannya sebanyak 5 waktu. Mulai terbit fajar—shubuh. Tengah hari di waktu siang—dhuhur. Sore hari—ashar. Dan saat menjelang terbenam matahari—maqrib. Terakhir di malam hari—isya.
Tiada seorang pun boleh meninggalkan ritual ini, apapun kondisi dan keadaannya.
Kecuali, tidak mampu shalat lagi. Akhirnya orang lain menyalatkannya.
Entah karena
lemahnya iman atau luput dari kesadaran? Terkadang ibadah ini, hanya menjadi
ritual menggugurkan kewajiban sahaja—sekedar menunaikan kewajiban. Bila saya
bercermin. Hal itu kemungkinan terjadi, karena lemahnya iman dalam diri saya. Selain
itu, kurangnya kesadaran dalam diriku. Sehingga, saat shalatpun, pikiranku ini
masih terngiang-ngiang urusan duniawi. Padahal, shalat merupakan puncak
prestasi ukhrawi.
Lantas,
apakah shalatnya sah? Berbicara mengenai sah atau tidak? Asal sudah memenuhi
syarat dan rukun. Maka, secara syar’i, saya sudah menuntaskan kewajibannya.
Namun, dalam ruang lain. Apakah shalat diterima atau tidak? Tiada makhluk yang
memahaminya. Karena, ini hak Allah. Tidak bisa diganggu-gugat. Apalagi
mencoba-coba untuk uji materi. Seperti menguji undang-undang ke Mahkamah
Kontitusi.
Sudahlah, saya
akhiri untuk pembahasan shalat cukup sampai di sini. Jantung saya lemah
membicarakannya—mengingat diri ini belum sempurna dalam melaksanakan shalat.
Selain itu, topik inti rawi kali ini, bukan tentang, apakah sah atau tidaknya
ibadah seseorang? Akan tetapi, seperti judul di atas. Antara asal jadi dan
bermakna. Sementara shalat, pengantar analogi saja.
Frustasi
bekerja
Sementara
itu, mari sejenak kita menyaksikan sebuah kisah seorang pekerja profesional. Dia
sudah mengabdikan umurnya, hampir 35 tahun di perusahan pembuatan mobil. Sebut
saja namanya bapak Atang. Rambutnya benar-benar sudah memutih. Kulit tidak bisa
dibohongi mulai memudar dan mengendor. Namun, dia sangat mensyukuri matanya
masih jernih tanpa memerlukan alat bantu melihat.
Dia mulai
memutuskan mengabdikan diri di perusahaan ini, semenjak beranjak usia 20 tahun.
Jadi, usianya sekarang sekitar 55 tahun. Karirnya dari level bawah, hingga konseptor
(perancang) mobil baru. Kemudian, karena sudah sangat lama dia di sana. Bapak Atang
memutuskan untuk pensiun sebelum jatah sewajarnya. Biasanya, di perusahaan
beliau bekerja, baru pensiun usia 58.
Suatu hari,
beliau datang menjumpai pimpinannya dengan membawa surat permohonan pensiun. Setelah
menyampaikan niatnya. Atasan menyetujui pengajuan beliau. Termasuk uang
pesangon yang beliau harapkan. Akan tetapi, direktur memohon kepada bapak
Atang. Agar beliau berkenan merancang sebuah mobil lagi. Sebagai karya terakhir
beliau di sana.
Mendengar
permohonan ini, pak Atang menarik nafas agak panjang. Kemudian menaikkan
sedikit alisnya. Seperti orang menerima beban. Dan apa boleh buat? Pak Atang
dengan terpaksa menerima perintah tersebut.
Proses
perancanganpun, Pak Atang mulai melakukan dibantu oleh asistennya. Namun,
perancangan kali ini tidak seperti biasanya pak Atang kerjakan. Biasanya beliau
memperhatikan setiap inci secara seksama. Namun, pada projek pengkhataman kerja
ini. Pak Atang membuat asal jadi saja. Dan kualitas hasil dari konsep abal-abal
(asal jadi), sudah bisa kita tebak seperti apa bentuknya?
Konsep sudah
jadi, kemudian masuk ke produksi. Sebagaimana rancangan yang Pak Atang buat.
Setelah mobilnya selesai. Atasan pak Atang mengucapkan terima kasih atas
kinerja beliau selama ini. Untuk pulang ke rumah menikmati masa tuanya. Pemilik
perusahaan menghadiahkan mobil rancangan terakhir kepada bapak Atang, (mobil
yang dibuat asal jadi).
Share
saham
Terlepas,
apakah itu hikayat hayalan atau memang pernah ada peristiwa sejenis? Mungkin
konteksnya saja berbeda. Baik nama pelaku maupun tempat kerja. Akan tetapi,
saya pernah mendengar secara langsung pernyataan seorang pemilik usaha dari
Surabaya. Beliau mempunyai beberapa bidang usaha, properti, stockist dan
sekolah musik.
Saat pelatihan
motivasi untuk seluruh pengajar dan staff. Beliau menyampaikan kepada saya—bahwa
ketua pelaksana yang menjemput saya di bandara Juanda—sudah bekerja hampir 5
tahun. Sementara yang lain karyawannya turn over. Cuma beliau bertahan.
Sebenarnya, beliau sedang menyiapkan usaha lain dan cabang baru kepada
karyawannya.
Namun,
karena kerjanya asal-asalan, ya tidak jadi. Tapi, khusus untuk ketua panitia,
beliau baru saja sign kontrak untuk cabang baru. Dan beliau akan menjadikan
ketua pelaksana sebagai kepala cabang. Sekaligus share saham, agar ada rasa
memiliki.
Gak
nyangka
Realitas ini
serupa seperti pada program “gak nyangka” di trans 7 setiap senin pagi. Ada
relawan dari program TV berpura-pura bertanya dalam bentuk komunikasi
sehari-hari. Tetapi tidak terasa sedang mewawancara. Pertanyaannyapun tidak berat,
sangat mudah. Bahkan penjual asonganpun tau. Seperti “Pemimpin kota itu apa
namanya?” jawaban yang dimaksud adalah wali kota.
Nah, Bagi
target yang mau meladeni dengan serius setiap pertanyaan, biasanya cenderung
bisa menjawab semuanya. Tetapi, ada yang ogah-ogahan, padahal tau. Maka,
menjawab semaunya “Gak tau”. Wal hasil, rezeki senilai Rp.50.000,- untuk setiap
jawaban yang benar dari pertanyaan, tidak menjadi jatahnya.
Kisah di
atas seakan mengingatkan, bahwa terkadang rezeki; baik harta atau pengalaman bermanfaat—tidak pernah saya duga—kapan dan
dari mana arah datangnya? Dan keperpihakan jatah rezeki
kepada saya, sangat tergantung dari usaha saya lakukan. Apakah berbuat asal-asalan
atau penuh totalitas? Saya menyebutnya mengerjakan penuh makna. Karena, sesuatu
yang bermakna itu, mengandung nilai tinggi (bernilai) dan penting.
Ciganjur,
Senin 14 Mei 2012
Bagikan