Apa yang saya butuhkan sebenarnya lebih dari cukup.
Cuman keinginanlah membuatnya seakan kurang dan kurang.
#NasehatDiri
Menikmati
hujan
Sore, jam di
dinding ruang tamu bergerak angka 4 dan 12. Tiga puluh menit sebelumnya, suara
kumandang azan terdengar dari corongan mesjid. Bertanda waktu shalat ashar
telah tiba. Saya bangun dari tempat tidur menuju kamar mandi dan mengambil air
sembahyang. Atau ritual ini diberi judul wudhu.
Bersamaan
waktu itu, semesta mulai menunjukkan wajah gelapnya. Tidak lama kemudian,
tangisan semesta terdengar bergemuruh. Dan air matanya tak kuasa tertahan
hingga membasahi sebagian wajah bumi pertiwi. Persis seperti bayi menangis.
Tidak semua wajahnya basah oleh air mata. Demikian juga dengan tangisan
semesta. Mungkin, senin sore, 30 April 2012, hanya di tempat saya saja. Dan bau
tanah terisrami hujan—merasuk ke dalam—melewati kedua rongga hidung ini.
Sebagaimana
biasanya. Bila hujan turun. Saya memiliki kegemaran khusus—yakni duduk dengan
kaki bersila menikmati nada-nada tetesan hujan yang tercipta di atas genteng
dan tanah. Sambil memenjamkan kedua mata—meresapi anugerah ilahi ini. Atmosfhere
setelah di sinari mentari yang berubah seketika lembut, rasanya sungguh amat
sayang bila terlewat percuma.
Mengapa
saya mau kaya?
Tiba-tiba
saja. Di dalam sini ada yang menyapa. Suara dari dalam—yang sering saya
ceritakan kepada Anda—saya beri nama sebagai sang bijak. Dia bercengkrama
dengan saya. Kali ini dia bersilaturahim berkostum kontemplasi. Sang bijak
bertanya “Mengapa saya kuliah?”, “Mengapa saya berusaha?”, “Mengapa saya berkeinginan kaya
harta—mempunyai rumah besar, mobil mewah, dan uang berlimpah?”.
Selesai
bertanya, suaranya menghilang. Lalu saya meresapi setiap kata-kata
pertanyaannya. Sang kreatif dalam diri saya, mencoba menghayati maksud dari
pertanyaan ini. Pertama-tama jawaban yang hadir “Saya kuliah supaya saya mempunyai ilmu pengetahuan”. Kedua, “Saya berusaha tak ubahnya membikin
pundi-pundi—agar mempermudah rezeki yang telah Allah tetapkan—mengalir kepada
saya”. Dan ketiga, “Saya menjadi kaya
agar hidup mudah, nyaman dan bisa membantu sesama”.
Kemudian,
sang bijak kembali berbisik dengan penuh kelembutannya. “Bukan itu maksud dari keinginanmu. Sesungguhnya, inisiatif kehasrat
itu, kamu menciptakannya, karena semata supaya dianggap pantas. itu saja”.
Sekedar
anggapan pantas
Sanggahan
sang bijak, membuat gerakan kecil kerutan alis menyembit ketengah. Reaksi
sepontan ingin memahami, apa maksud dari sangahan tersebut? Ternyata,
penjelasan di atas merupakan inti dasar dari niat saya. Yaitu, hanya
menyesuaikan dengan anggapan orang-orang saja. Rupanya, selama ini ada sisi
yang belum saya sadari, pendorong saya untuk kuliah, berusaha dan menjadi kaya.
Setelah
menyadari, saya spontan berterima kasih kepada diri saya sendiri. Kemudian saya
menerima kehadiran pendorong keinginan saya. Dan memaafkan diri secara
keseluruhan. Saya melakukan ini, karena saya menyadari. Tidak ada niat yang
buruk. Semuanya baik. Hal wajar patut saya lakukan saat itu, ya menerima diri
secara utuh.
Usai
menerima dan memaafkan diri. Takwil dari si keinginan supaya dianggap pantas
itu mendetailkan maksudnya kepada saya. Hal ini hadir, karena idenditas yang
saya bangun kepada publik sebagai pelatih pontesi diri (Self Potentials Optimizer). Jadi menurutnya—kehidupan wajar seorang
trainer—seperti keinginannya.
Mendengar
penjabaran itu. Saya semakin menyadari maksud dari ungkapan “Apa yang kita butuhkan sebenarnya lebih dari
cukup. Cuman keinginanlah membuatnya seakan kurang dan kurang”. Selain itu,
saya memahami juga. Apa kiranya faktor ketengangan hidup? Rupanya saya
menjalani hidup bukan dengan kekenian penuh. Bukan untuk diri sendiri. Tetapi,
lebih karena menyesuaikan dengan anggapan tadi.
Keinginan
ini tidak salah. Dan bagi saya bukan juga pantas dimasukkan dalam rumah
“seharusnya”. Karena, memiliki pengetahuan itu jalan menuju pencerahan.
Berusaha merupakan jalan lain menuju ke sana. Bahkan, amanah harta lebih dari
cukup, juga bentuk-bentuk sinar pencerahan itu sendiri.
Hanya
ilusi
Dan yang
amat penting adalah kesadaran. Yakni kesadaran—bahwa sebenarnya yang manusia
perlukan—kebutuhan—bukan keinginan. Kesadaran semacam inilah yang akan
menjadikan pengetahuan dan kekayaan menjadi nyata, bukan sebuah ilusi. Sebab,
bagi saya, memiliki—pengetahuan, aktifitas pekerjaan, dan harta sebanyak
apapun—bila tujuannya untuk memenuhi anggapan manusia. Maka sebenarnya, itu
hanyalah ilusi semata.
Ciganjur,
Senin, 30 April 2012
Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist I 270fe9b7
Bagikan