Jumat, 11 Mei 2012

Keinginan Ini Hanya Ilusi


Apa yang saya butuhkan sebenarnya lebih dari cukup. Cuman keinginanlah membuatnya seakan kurang dan kurang.

#NasehatDiri

Menikmati hujan

Sore, jam di dinding ruang tamu bergerak angka 4 dan 12. Tiga puluh menit sebelumnya, suara kumandang azan terdengar dari corongan mesjid. Bertanda waktu shalat ashar telah tiba. Saya bangun dari tempat tidur menuju kamar mandi dan mengambil air sembahyang. Atau ritual ini diberi judul wudhu.

Bersamaan waktu itu, semesta mulai menunjukkan wajah gelapnya. Tidak lama kemudian, tangisan semesta terdengar bergemuruh. Dan air matanya tak kuasa tertahan hingga membasahi sebagian wajah bumi pertiwi. Persis seperti bayi menangis. Tidak semua wajahnya basah oleh air mata. Demikian juga dengan tangisan semesta. Mungkin, senin sore, 30 April 2012, hanya di tempat saya saja. Dan bau tanah terisrami hujan—merasuk ke dalam—melewati kedua rongga hidung ini.

Sebagaimana biasanya. Bila hujan turun. Saya memiliki kegemaran khusus—yakni duduk dengan kaki bersila menikmati nada-nada tetesan hujan yang tercipta di atas genteng dan tanah. Sambil memenjamkan kedua mata—meresapi anugerah ilahi ini. Atmosfhere setelah di sinari mentari yang berubah seketika lembut, rasanya sungguh amat sayang bila terlewat percuma.

Mengapa saya mau kaya?

Tiba-tiba saja. Di dalam sini ada yang menyapa. Suara dari dalam—yang sering saya ceritakan kepada Anda—saya beri nama sebagai sang bijak. Dia bercengkrama dengan saya. Kali ini dia bersilaturahim berkostum kontemplasi. Sang bijak bertanya “Mengapa saya kuliah?”, “Mengapa saya berusaha?”, “Mengapa saya berkeinginan kaya harta—mempunyai rumah besar, mobil mewah, dan uang berlimpah?”.

Selesai bertanya, suaranya menghilang. Lalu saya meresapi setiap kata-kata pertanyaannya. Sang kreatif dalam diri saya, mencoba menghayati maksud dari pertanyaan ini. Pertama-tama jawaban yang hadir “Saya kuliah supaya saya mempunyai ilmu pengetahuan”. Kedua, “Saya berusaha tak ubahnya membikin pundi-pundi—agar mempermudah rezeki yang telah Allah tetapkan—mengalir kepada saya”. Dan ketiga, “Saya menjadi kaya agar hidup mudah, nyaman dan bisa membantu sesama”.

Kemudian, sang bijak kembali berbisik dengan penuh kelembutannya. “Bukan itu maksud dari keinginanmu. Sesungguhnya, inisiatif kehasrat itu, kamu menciptakannya, karena semata supaya dianggap pantas. itu saja”. 

Sekedar anggapan pantas

Sanggahan sang bijak, membuat gerakan kecil kerutan alis menyembit ketengah. Reaksi sepontan ingin memahami, apa maksud dari sangahan tersebut? Ternyata, penjelasan di atas merupakan inti dasar dari niat saya. Yaitu, hanya menyesuaikan dengan anggapan orang-orang saja. Rupanya, selama ini ada sisi yang belum saya sadari, pendorong saya untuk kuliah, berusaha dan menjadi kaya.

Setelah menyadari, saya spontan berterima kasih kepada diri saya sendiri. Kemudian saya menerima kehadiran pendorong keinginan saya. Dan memaafkan diri secara keseluruhan. Saya melakukan ini, karena saya menyadari. Tidak ada niat yang buruk. Semuanya baik. Hal wajar patut saya lakukan saat itu, ya menerima diri secara utuh. 

Usai menerima dan memaafkan diri. Takwil dari si keinginan supaya dianggap pantas itu mendetailkan maksudnya kepada saya. Hal ini hadir, karena idenditas yang saya bangun kepada publik sebagai pelatih pontesi diri (Self Potentials Optimizer). Jadi menurutnya—kehidupan wajar seorang trainer—seperti keinginannya.

Mendengar penjabaran itu. Saya semakin menyadari maksud dari ungkapan “Apa yang kita butuhkan sebenarnya lebih dari cukup. Cuman keinginanlah membuatnya seakan kurang dan kurang”. Selain itu, saya memahami juga. Apa kiranya faktor ketengangan hidup? Rupanya saya menjalani hidup bukan dengan kekenian penuh. Bukan untuk diri sendiri. Tetapi, lebih karena menyesuaikan dengan anggapan tadi.

Keinginan ini tidak salah. Dan bagi saya bukan juga pantas dimasukkan dalam rumah “seharusnya”. Karena, memiliki pengetahuan itu jalan menuju pencerahan. Berusaha merupakan jalan lain menuju ke sana. Bahkan, amanah harta lebih dari cukup, juga bentuk-bentuk sinar pencerahan itu sendiri. 

Hanya ilusi

Dan yang amat penting adalah kesadaran. Yakni kesadaran—bahwa sebenarnya yang manusia perlukan—kebutuhan—bukan keinginan. Kesadaran semacam inilah yang akan menjadikan pengetahuan dan kekayaan menjadi nyata, bukan sebuah ilusi. Sebab, bagi saya, memiliki—pengetahuan, aktifitas pekerjaan, dan harta sebanyak apapun—bila tujuannya untuk memenuhi anggapan manusia. Maka sebenarnya, itu hanyalah ilusi semata.

Ciganjur, Senin, 30 April 2012 
Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist I 270fe9b7
Bagikan