Selasa, 15 Mei 2012

Golden Moment To Write; Kapan Saat Terbaik Menulis?


Jika saya baru menulis setelah mood datang. Sama hal nya saya memanjakan kemalasan untuk menulis melekat permanen pada diri saya.

#NasehatDiri

Golden Time 

Apakah Anda pernah membaca buku quantum leaning karya Bobbi De Porter? Dalam buku karya wanita berkelahiran Amerika ini—dia menyebutkan, masa belajar setiap orang itu berbeda-beda.

Dulu, waktu saya masih sekolah di tingkat SMA. Saya meyakini, bahwa jam belajar yang paling tepat dan cocok itu adalah di shubuh hari. Kemudian saya mencoba membaca dan mengkaji setelah shalat shubuh. Apakah Anda tahu apa hasilnya? Bukan saya membaca buku, tapi buku membaca saya (baca tertidur).

Rupanya, waktu setelah shalat shubuh itu tidaklah cocok bagi saya. Sampai suatu ketika saat saya kuliah di Bogor. Saya menemukan waktu-waktu emas dalam belajar. Saya merasa otak saya sangat fresh mengikat setiap informasi yang saya lihat bahkan saya dengar. Apalagi saya melakukannya. Yaitu setelah shalat ashar.

Hal ini senada dengan pemaparan Debora dalam buku nya yang fenomenal itu. Sehingga, semenjak saat itu, bila ada yang bertanya kepada saya, kapan saat terbaik untuk belajar (membaca dan mengulang), maka saya menjawab “Setiap waktu, tergantung Anda sendiri, kapan jam yang sangat efektif menurut Anda?”.

Golden moment

Demikianpula dalam konteks mengajar. Saat saya mengikuti kelas sertifikasi Multiple Intelligences bersama bapak Munif Chatib diprakarsai oleh Lazuardi Next. Trainer lulusan Hukum ini menyampaikan “Efektif tidaknya mengajar agar siswa bisa mengingat materi selamanya, sebenarnya tergantung kemampuan guru dalam menyadari golden moment sang anak. Golden moment yaitu, waktu-waktu di mana fikiran siswa sedang sangat siap menerima informasi. Pikirannya dalam kondisi penasaran (learning state)”.

Ini mengartikan, bukan hanya belajar mandiri mempunyai waktu-waktu khsusus (waktu yang tepat). Akan tetapi, mengajarkan materipun, juga memiliki masa-masa keemasannya. Dan saya sering sekali membagikan tehnik membuat siswa penasaran kepada para guru dan orang tua. Atau memanfaatkan kondisi kesiapan mereka belajar, untuk mengajarkan materi, sehingga apa yang kita ajarkan, siswa akan mengingatnya dalam waktu lama (tersimpan di longterm memory).

Golden age

Dalam agamapun mengenal istilah golden age. Usia-usia keemasan seseorang. Bila para pemerhati anak mengatakan masa keemasan seseorang saat dia masih balita dan kanak-kanak. Maka shahabat yang berjalan atas garis kebijaksanaan mengasumsikan—tatkala seseorang memasuki usia 40 tahun—maka itulah yang dimaksud usia keemasannya. 

Entah karena hal ini tercantum dalam kalam ilahi, atau dikaitkan dengan peristiwa penyerahan mandat menjadi Rasul kepada Nabi Muhammad, saat beliau berumur 40 tahun. Mungkin juga, bila dikaji dari ranah psikologi, ketika seseorang memasuki usia 40 tahun, secara karakter, pemikiran, dan perasaannya lebih bijaksana. Seperti saya yang masih muda—emosinya sering meletuk-meletuk.

Golden moment to write

Jika demikian—ini berarti—setiap rubrik mempunyai jamnya masing-masing. Sebagaimana lazimnya kita ketahui. Setiap arena mempunyai pemenangnya masing-masing. Para petani meyakini ada waktu khsusus untuk menanam. Dan ini tergantung dari objeknya. Teman-teman pelayanan kesehatan ala Nabi—Thibun nabawi—juga mempunyai waktu khusus untuk membekam. Seksologpun menyarankan waktu tertentu bagi pasangan yang ingin mendapatkan kepuasaan saat berhubungan intim. Lantas, apakah ada waktu khusus untuk menulis?

Ya, mungkin Anda bertanya, apakah ada waktu khusus untuk menulis? Meminjam istilah bapak Hernowo—mengikat makna. 

Saya tidak tau bagaimana dengan para penulis lainnya. Apakah mereka mengagendakan jam tertentu untuk menulis? Yang saya tau—bapak Agung webe menceritakan—kemacetan bandara Soekarno Hatta menuju bekasi merupakan waktu luang bagi beliau mengukir makna. Sehingga, ada beberapa karya lahir dalam mobil antar jemputnya. Dan saya belum pernah membaca atau mendengar, para penulis kawakan menkulturkan waktu tertentu agar bisa menuangkan pemikirannya bisa terbaca oleh banyak orang.

Saya yakin, mungkin saja ada yang secara sengaja menetapkan waktu untuk menulis. Seperti seorang inspirator yang saya kenal. Beliau setiap selesai shalat shubuh pasti duduk depan Ipadnya memainkan jari-jemari. Merangkai kata menjadi kalimat, kalimat terikat menjadi paragraf. Dan paragraf mentransformasikan dirinya menjadi sebuah artikel. Beliau melakukan ini karena komitmen untuk memposting, sehari satu artikel di blognya.

Ayo menulis setiap waktu

Akan tetapi, saya pribadi, tidak punya waktu khusus untuk menulis. Artinya, kapanpun ide hadir, biasanya saya akan menuangkannya. Selama saya bisa membuka notebook saya. Seperti catatan ini, saya mengikatnya karena modem internet saya pakai, sinyalnya sedang lemot. Daripada menunggu sinyalnya memuncak—saya mengisinya dengan mengikat makna ini.

Jadi kesimpulannya, tidak ada waktu khsusus untuk menulis. Kapanpun Anda mau menulis, maka menulislah. Dan hal terpenting Anda waspadai, hindari mengkristalisasi ide-ide Anda lantaran Anda sedang mood. Sebab, bila Anda sedang gak mood, bisa-bisa Anda tidak menulis. Karena bagi saya, lebih utama menulis dibandingkan menentukan waktu untuk menulis itu sendiri (menanti mood datang).

Ciganjur, Selasa 17 Maret 2012
Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist I 270fe9b7
Bagikan