Jika
saya baru menulis setelah mood datang. Sama hal nya saya memanjakan kemalasan
untuk menulis melekat permanen pada diri saya.
#NasehatDiri
Golden
Time
Apakah Anda
pernah membaca buku quantum leaning
karya Bobbi De Porter? Dalam buku karya wanita berkelahiran Amerika ini—dia
menyebutkan, masa belajar setiap orang itu berbeda-beda.
Dulu, waktu saya masih
sekolah di tingkat SMA. Saya meyakini, bahwa jam belajar yang paling tepat dan
cocok itu adalah di shubuh hari. Kemudian saya mencoba membaca dan mengkaji
setelah shalat shubuh. Apakah Anda tahu apa hasilnya? Bukan saya membaca buku,
tapi buku membaca saya (baca tertidur).
Rupanya,
waktu setelah shalat shubuh itu tidaklah cocok bagi saya. Sampai suatu ketika
saat saya kuliah di Bogor. Saya menemukan waktu-waktu emas dalam belajar. Saya
merasa otak saya sangat fresh mengikat setiap informasi yang saya lihat bahkan
saya dengar. Apalagi saya melakukannya. Yaitu setelah shalat ashar.
Hal ini
senada dengan pemaparan Debora dalam buku nya yang fenomenal itu. Sehingga,
semenjak saat itu, bila ada yang bertanya kepada saya, kapan saat terbaik untuk
belajar (membaca dan mengulang), maka saya menjawab “Setiap waktu, tergantung Anda sendiri, kapan jam yang sangat efektif
menurut Anda?”.
Golden
moment
Demikianpula
dalam konteks mengajar. Saat saya mengikuti kelas sertifikasi Multiple Intelligences bersama bapak Munif
Chatib diprakarsai oleh Lazuardi Next. Trainer lulusan Hukum ini menyampaikan “Efektif tidaknya mengajar agar siswa bisa
mengingat materi selamanya, sebenarnya tergantung kemampuan guru dalam
menyadari golden moment sang anak. Golden moment yaitu, waktu-waktu di mana
fikiran siswa sedang sangat siap menerima informasi. Pikirannya dalam kondisi
penasaran (learning state)”.
Ini
mengartikan, bukan hanya belajar mandiri mempunyai waktu-waktu khsusus (waktu
yang tepat). Akan tetapi, mengajarkan materipun, juga memiliki masa-masa
keemasannya. Dan saya sering sekali membagikan tehnik membuat siswa penasaran
kepada para guru dan orang tua. Atau memanfaatkan kondisi kesiapan mereka
belajar, untuk mengajarkan materi, sehingga apa yang kita ajarkan, siswa akan
mengingatnya dalam waktu lama (tersimpan di longterm
memory).
Golden
age
Dalam
agamapun mengenal istilah golden age. Usia-usia keemasan seseorang. Bila para
pemerhati anak mengatakan masa keemasan seseorang saat dia masih balita dan
kanak-kanak. Maka shahabat yang berjalan atas garis kebijaksanaan
mengasumsikan—tatkala seseorang memasuki usia 40 tahun—maka itulah yang
dimaksud usia keemasannya.
Entah karena
hal ini tercantum dalam kalam ilahi, atau dikaitkan dengan peristiwa penyerahan
mandat menjadi Rasul kepada Nabi Muhammad, saat beliau berumur 40 tahun.
Mungkin juga, bila dikaji dari ranah psikologi, ketika seseorang memasuki usia
40 tahun, secara karakter, pemikiran, dan perasaannya lebih bijaksana. Seperti
saya yang masih muda—emosinya sering meletuk-meletuk.
Golden
moment to write
Jika
demikian—ini berarti—setiap rubrik mempunyai jamnya masing-masing. Sebagaimana
lazimnya kita ketahui. Setiap arena mempunyai pemenangnya masing-masing. Para
petani meyakini ada waktu khsusus untuk menanam. Dan ini tergantung dari
objeknya. Teman-teman pelayanan kesehatan ala Nabi—Thibun nabawi—juga mempunyai
waktu khusus untuk membekam. Seksologpun menyarankan waktu tertentu bagi
pasangan yang ingin mendapatkan kepuasaan saat berhubungan intim. Lantas,
apakah ada waktu khusus untuk menulis?
Ya, mungkin
Anda bertanya, apakah ada waktu khusus untuk menulis? Meminjam istilah bapak
Hernowo—mengikat makna.
Saya tidak
tau bagaimana dengan para penulis lainnya. Apakah mereka mengagendakan jam
tertentu untuk menulis? Yang saya tau—bapak Agung webe menceritakan—kemacetan
bandara Soekarno Hatta menuju bekasi merupakan waktu luang bagi beliau mengukir
makna. Sehingga, ada beberapa karya lahir dalam mobil antar jemputnya. Dan saya
belum pernah membaca atau mendengar, para penulis kawakan menkulturkan waktu
tertentu agar bisa menuangkan pemikirannya bisa terbaca oleh banyak orang.
Saya yakin,
mungkin saja ada yang secara sengaja menetapkan waktu untuk menulis. Seperti
seorang inspirator yang saya kenal. Beliau setiap selesai shalat shubuh pasti
duduk depan Ipadnya memainkan jari-jemari. Merangkai kata menjadi kalimat,
kalimat terikat menjadi paragraf. Dan paragraf mentransformasikan dirinya
menjadi sebuah artikel. Beliau melakukan ini karena komitmen untuk memposting,
sehari satu artikel di blognya.
Ayo
menulis setiap waktu
Akan tetapi,
saya pribadi, tidak punya waktu khusus untuk menulis. Artinya, kapanpun ide
hadir, biasanya saya akan menuangkannya. Selama saya bisa membuka notebook
saya. Seperti catatan ini, saya mengikatnya karena modem internet saya pakai,
sinyalnya sedang lemot. Daripada menunggu sinyalnya memuncak—saya mengisinya
dengan mengikat makna ini.
Jadi
kesimpulannya, tidak ada waktu khsusus untuk menulis. Kapanpun Anda mau menulis,
maka menulislah. Dan hal terpenting Anda waspadai, hindari mengkristalisasi
ide-ide Anda lantaran Anda sedang mood. Sebab, bila Anda sedang gak mood,
bisa-bisa Anda tidak menulis. Karena bagi saya, lebih utama menulis
dibandingkan menentukan waktu untuk menulis itu sendiri (menanti mood datang).
Ciganjur,
Selasa 17 Maret 2012
Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist I 270fe9b7
Bagikan