Tangan di atas lebih baik dari
pada tangan di bawah.
# Nasehat Bijak
Terkadang, mudah terucap sulit dilakukan
Seperti itulah kalimat yang
terdengar oleh telinga saya, semenjak saya berada di bangku sekolah dasar
negeri Lampageu, kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. Nasehat ini, berulang kali
terucap oleh guru mata pelajaran PMP dan Agama saya, melalui pintu segala
pembuat penyakit juga kesehatan bagi tubuh. Memiliki katub atas dan bawah. Di
dalam nya ada katrol fleksibel, bisa melebar, mengecil, memancang dan menebalkan
diri. (Baca; mulut dan lidah).
Hingga saat ini, kalimat itu
tidak pernah hilang pembicaraannya dari topik bertemakan sedekah. Siapapun
pembicaranya. Entah dia seorang dai, atau pemungut sampah, menyadari akan
pepatah itu. Meskipun, secara aplikasinya belum terlaksanakan. Wajar saja,
karena kata-kata mulia itu, sebuah kiasan. Makna dari perumpaan tersebut, tidak
ada standar dinding pembatas. Sanking luasnya, terkadang menjadi ucapan semata.
Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah
Bahkan, tahun 2005. Saya
mendapat informasi menarik. Seorang teman yang belum saya kenali wajahnya,
tetapi hanya nama emailnya saja. Dia mengirim penawaran kepada saya, untuk
bergabung menjadi anggota milist, Tangan Di Atas (TDA). Nama milist ini,
terinspirasi dari nasehat bijak di atas. Menjadi orang-orang yang tangan nya
berada di atas, ternilai lebih baik dibandingkan di bawah. Dan di antara
caranya adalah menjadi pengusaha. Karena dalam komunitas tersebut, berkumpul
insan-insan mulia, pengusaha indonesia.
Hampir semua orang yang saya
jumpai setuju, bahwa tangan di atas yang dimaksud adalah memberi. Baik berupa materi
berwujud, atau tidak nampak. Dari uang, makanan, benda berharga, sampai dengan
tenaga dan doa. Setiap orang yang beraktifitas pemberian, maka tergolong sebagai
pribadi-pribadi tangan di atas. Terlepas itu karena ada tendensi tertentu. Atau
ditumpangi oleh keinginan khusus. Atau bahkan lantaran karena pamrih (tidak ikhlas),
yang sering dipersoalkan. Tetapi, intinya adalah memberi.
Ada siang ada malam, memberi juga menerima
Di dalam bahasa indonesia,
setiap kata memiliki pasangannya masing-masing. Saat bersekolah di tingkat
menengah pertama. Saya belajar bahasa Indonesia dan mengenal istilah antonim. Yaitu, lawan kata. Sehingga,
bila kita berbicara kata memberi, maka pasangannyapun, pasti kita bahas, yakni
menerima. Karena, bila kita hanya mengungkap tentang memberi saja, itu
sama artinya, kita hanya menyebut dunia
ini selalu disiangi oleh mentari. Padahal, malam hari selalu mengiringi untuk
menyeimbangkan, pada saat yang tepat.
Begitu pula dengan menerima.
Dan, keseimbangan siang dan
malam, tiap wilayah berbeda-beda. Kalau negara-negara yang berada tepat di
garis khatulistiwa dunia. Maka terbit matahari jam 04.30 di ufuk timur, dan
terbenam jam 17.50, akan terus bertahan selamanya. Paling ada perubahan karena
perputaran bumi mengitar matahari, 10-30 menit. Tidak lebih dari itu. Namun,
hal ini tidak berlaku di negara-negara lain. Seperti, di benua Eropa. Di
belahan sana, terkadang ada yang menikmati hari sampai dengan 18 jam sehari.
Tergantung musimnya.
Demikian pula dengan memberi
dan menerima. Sehingga, tidaklah heran. Bila kita bertemu para kestria yang
kehidupannya penuh dengan memberi saja. Kalaupun menerima sangat sedikit yang
ingin mereka terima. Dan ada juga, raja-raja yang masih jelata, semua urusan
yang dikerjakan, semata-mata untuk menerima-menerima dan menerima. Tidak ada
yang salah dan benar. Karena itu ornamen kehidupan yang harus selalu terisi.
Semua tergantung pada konteksnya. Bisa Anda bayangkan, apa yang terjadi tatkala
semua sudah tidak mau menerima, tetapi hanya mau memberi?
I want to give or to get?
Lantaran konteks target dari
sebuah tujuan. Maka, untuk meraihnya membutuhkan cara. Sehingga, memberi dan
menerima, terkadang bisa menjadi tujuan, dan bisa juga menjadi strategi
meraihnya. Seperti tadi saya mecari informasi di mbah google, bagaimana cara
memperbanyak jumlah anggota group facebook—Terapi Berpikir Positif yang saya
kelola? Alasan saya mencari info tersebut, ingin menambah jumlah anggota.
Karena dari semenjak bulan Agustus saya dirikan, hingga sekarang, baru 234 orang.
Dan, menariknya, selama proses
mencari-cari blog yang memberikan keterangan tentang cara tersebut. Ada
pertanyaan sang bijak dalam diri saya. Dengan penuh santun sang bijak bertanya
“Apa yang mendasari saya membuat group facebook
Terapi Berpikir Positif? Apa yang saya inginkan dibalik menambah sesak anggota
group TBP?” Hemm. Ada sentakan hebat di dalam. Yang membuat saya merenung
kembali tujuan awal saya membangun group fb ini.
Apakah saya mau memberi, atau
mau menerima?
Do I want to give, or to
get?
Letakkan sesuatu pada tempatnya
Akhirnya niat mencari tahu
informasi cara memperbanyak anggota group, saya batalkan. Karena, landasan saya
melakukan tersebut, hanya ingin, supaya saya bisa banyak-banyak melakukan
penjualan program-program saya. Karena saya admin, maka, saya bisa menggunakan
akses membuat event di group fb.
Tidak ada yang salah dan keliru
dengan menjual. Itu perilaku baik dan siapapun melakukannya. Cuma, saya
memegang nilai, segala sesuatu letakkan pada tempatnya, kalau tidak, ya pasti
mengalami dampaknya. Ibarat, kita melawan arus jalan satu jalur. Kalau bukan
terjadi kecelakaan, pluit pak polisi pasti terdengar.
Ciganjur, Selasa, 27 Desember
2011
Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist