Kamis, 09 Februari 2012

I Want To Give or To Get?



Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah.
# Nasehat Bijak

Terkadang, mudah terucap sulit dilakukan

Seperti itulah kalimat yang terdengar oleh telinga saya, semenjak saya berada di bangku sekolah dasar negeri Lampageu, kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. Nasehat ini, berulang kali terucap oleh guru mata pelajaran PMP dan Agama saya, melalui pintu segala pembuat penyakit juga kesehatan bagi tubuh. Memiliki katub atas dan bawah. Di dalam nya ada katrol fleksibel, bisa melebar, mengecil, memancang dan menebalkan diri. (Baca; mulut dan lidah).

Hingga saat ini, kalimat itu tidak pernah hilang pembicaraannya dari topik bertemakan sedekah. Siapapun pembicaranya. Entah dia seorang dai, atau pemungut sampah, menyadari akan pepatah itu. Meskipun, secara aplikasinya belum terlaksanakan. Wajar saja, karena kata-kata mulia itu, sebuah kiasan. Makna dari perumpaan tersebut, tidak ada standar dinding pembatas. Sanking luasnya, terkadang menjadi ucapan semata.

Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah

Bahkan, tahun 2005. Saya mendapat informasi menarik. Seorang teman yang belum saya kenali wajahnya, tetapi hanya nama emailnya saja. Dia mengirim penawaran kepada saya, untuk bergabung menjadi anggota milist, Tangan Di Atas (TDA). Nama milist ini, terinspirasi dari nasehat bijak di atas. Menjadi orang-orang yang tangan nya berada di atas, ternilai lebih baik dibandingkan di bawah. Dan di antara caranya adalah menjadi pengusaha. Karena dalam komunitas tersebut, berkumpul insan-insan mulia, pengusaha indonesia.

Hampir semua orang yang saya jumpai setuju, bahwa tangan di atas yang dimaksud adalah memberi. Baik berupa materi berwujud, atau tidak nampak. Dari uang, makanan, benda berharga, sampai dengan tenaga dan doa. Setiap orang yang beraktifitas pemberian, maka tergolong sebagai pribadi-pribadi tangan di atas. Terlepas itu karena ada tendensi tertentu. Atau ditumpangi oleh keinginan khusus. Atau bahkan lantaran karena pamrih (tidak ikhlas), yang sering dipersoalkan. Tetapi, intinya adalah memberi.

Ada siang ada malam, memberi juga menerima

Di dalam bahasa indonesia, setiap kata memiliki pasangannya masing-masing. Saat bersekolah di tingkat menengah pertama. Saya belajar bahasa Indonesia dan mengenal istilah antonim. Yaitu, lawan kata. Sehingga, bila kita berbicara kata memberi, maka pasangannyapun, pasti kita bahas, yakni menerima. Karena, bila kita hanya mengungkap tentang memberi saja, itu sama  artinya, kita hanya menyebut dunia ini selalu disiangi oleh mentari. Padahal, malam hari selalu mengiringi untuk menyeimbangkan, pada saat yang tepat.  Begitu pula dengan menerima.

Dan, keseimbangan siang dan malam, tiap wilayah berbeda-beda. Kalau negara-negara yang berada tepat di garis khatulistiwa dunia. Maka terbit matahari jam 04.30 di ufuk timur, dan terbenam jam 17.50, akan terus bertahan selamanya. Paling ada perubahan karena perputaran bumi mengitar matahari, 10-30 menit. Tidak lebih dari itu. Namun, hal ini tidak berlaku di negara-negara lain. Seperti, di benua Eropa. Di belahan sana, terkadang ada yang menikmati hari sampai dengan 18 jam sehari. Tergantung musimnya.

Demikian pula dengan memberi dan menerima. Sehingga, tidaklah heran. Bila kita bertemu para kestria yang kehidupannya penuh dengan memberi saja. Kalaupun menerima sangat sedikit yang ingin mereka terima. Dan ada juga, raja-raja yang masih jelata, semua urusan yang dikerjakan, semata-mata untuk menerima-menerima dan menerima. Tidak ada yang salah dan benar. Karena itu ornamen kehidupan yang harus selalu terisi. Semua tergantung pada konteksnya. Bisa Anda bayangkan, apa yang terjadi tatkala semua sudah tidak mau menerima, tetapi hanya mau memberi? 

I want to give or to get?

Lantaran konteks target dari sebuah tujuan. Maka, untuk meraihnya membutuhkan cara. Sehingga, memberi dan menerima, terkadang bisa menjadi tujuan, dan bisa juga menjadi strategi meraihnya. Seperti tadi saya mecari informasi di mbah google, bagaimana cara memperbanyak jumlah anggota group facebook—Terapi Berpikir Positif yang saya kelola? Alasan saya mencari info tersebut, ingin menambah jumlah anggota. Karena dari semenjak bulan Agustus saya dirikan, hingga sekarang, baru 234 orang. 

Dan, menariknya, selama proses mencari-cari blog yang memberikan keterangan tentang cara tersebut. Ada pertanyaan sang bijak dalam diri saya. Dengan penuh santun sang bijak bertanya “Apa yang mendasari saya membuat group facebook Terapi Berpikir Positif? Apa yang saya inginkan dibalik menambah sesak anggota group TBP?” Hemm. Ada sentakan hebat di dalam. Yang membuat saya merenung kembali tujuan awal saya membangun group fb ini.

Apakah saya mau memberi, atau mau menerima?  
Do I want to give, or to get?

Letakkan sesuatu pada tempatnya

Akhirnya niat mencari tahu informasi cara memperbanyak anggota group, saya batalkan. Karena, landasan saya melakukan tersebut, hanya ingin, supaya saya bisa banyak-banyak melakukan penjualan program-program saya. Karena saya admin, maka, saya bisa menggunakan akses membuat event di group fb. 

Tidak ada yang salah dan keliru dengan menjual. Itu perilaku baik dan siapapun melakukannya. Cuma, saya memegang nilai, segala sesuatu letakkan pada tempatnya, kalau tidak, ya pasti mengalami dampaknya. Ibarat, kita melawan arus jalan satu jalur. Kalau bukan terjadi kecelakaan, pluit pak polisi pasti terdengar.

Ciganjur, Selasa, 27 Desember 2011 
Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist
Bagikan