Allah memberikan apa yang kita
butuhkan, bukan apa yang kita inginkan.
#NasehatDiri
Berjumpa teman lama
Tanggal 27 Desember 2011 lalu,
shahabat saya dari Aceh berkunjung ke Jakarta setelah mengikuti program
pelatihan selama 3 hari di Tasikmalaya. Sebelum ke Jakarta, kami sudah janjian,
untuk sama-sama menjadwalkan pada hari tersebut--supaya bisa bersilaturahim. Alhamdulillah,
itu terjadi. Bayangkan bila Anda bisa bertemu kembali dengan teman dekat Anda,
setelah lama tidak berjumpa. Bagaimana suasana hati Anda? Oh, tentu
menyenangkan bukan?
Sebagaimana permintaan teman
saya, dia tidak hanya ingin berjumpa dengan saya, tapi juga mau bertemu dengan
anak mertua (istri) saya. Jadi, pada hari tersebut, setelah shalat ashar, saya
berangkat bersama istri dari rumah, menuju tempat yang kami sepakati bertemu,
di sekitar Mampang prapatan—supaya aksesnya sama-sama mudah kami tuju. Saya
berangkat dari arah Ciganjur, sementara teman saya dari Pasar Rumput. Tempat
dia menginap di Jakarta.
Dari depan rumah (gang Syarpa),
saya menggunakan jasa angkot M20 sampai putaran halte busway pertanian.
Selanjutnya menuju Mampang prapatan dengan angkutan bus-way. Ada pengalaman
menarik yang mau saya ceritakan di sini. Selama perjalanan di dalam busway,
saya memperoleh pembelajaran berharga dari sang bijak. Dan hal ini, yang mau
saya ceritakan kepada Anda sekarang.
Benarkah berbuat baik akan berbuah kebaikan?
Sementara itu, apa yang akan
Anda lakukan? Akankah Anda terus memberi bila tidak mendapatkan sesuatu? Lebih
spesifiknya, apakah Anda akan terus melakukan kebaikan, bila kebaikan itu tidak
berbalas kepada Anda?
Ceritanya, begitu saya dan
istri menaiki busway dari halte pertanian. Penumpangnya lumayan penuh. Sehingga
saya dan istri juga dengan penumpang yang lain, tidak kebagian tempat duduk. Kondisi
itu sangat lumrah menyebabkan saya dan siapapun, berdiri dan bergantungan sebagaimana
biasanya. Saya dan istri berdiri di tengah-tengah dekat pintu masuk. Kemudian,
kondekturnya melihat istri saya berdiri, yang perutnya lumayan berisi (hamil).
Lalu dia bertanya, “Ibu sedang hamil?”
saya langsung menjawab “Iya”.
Kondektur langsung
melihat-lihat posisi di depan dan belakang, sambil berusaha menjinjit dan
merendahkan posisi berdirinya--supaya bisa melihat penumpang yang bisa diajak
untuk berganti tempat duduk dengan istri saya. Tetapi, tidak ada satupun yang
menurut pak kondektur pantas untuk diminta ganti tempat duduk. “Mohon maaf bu ya, kursinya penuh”. Kata
pak kondektur penuh santun.
Rasanya tidak adil
Akhirnya, saya dan istri tetap
berdiri. Tetapi, ada perasaan semacam tidak bisa menerima dalam diri saya.
Pikiran saya langsung melakukan perbandingan antara perilaku yang pernah saya
lakukan bila ada ibu hamil seperti istri saya (7 bulan), atau ibu-ibu yang usia
sudah tua, maka saya langsung berdiri dan mempersilahkan ibu hamil untuk
menduduki kursi saya tempati. Karena saya berpikir, kalau istri saya yang
hamil, tentu saya berharap dia mendapat tempat duduk.
Tetapi, hari itu, tidak
demikian yang terjadi. Padahal saya tahu, di kursi tengah ada seorang anak muda
duduk di sana. Sungguh perasaan tidak bisa menerima itu, seperti ada ungkapan
dalam diri “Kok tidak adil?”. Namun,
saya sadar, ketika saya mengatakan tidak adil, lantas siapa yang mau saya
salahkan? Apakah Tuhan? Sementara sangat saya sadari, bahwa tidak ada satupun
peristiwa yang terjadi, selain bertujuan demi kebaikan bagi manusia.
Nasehat Sang Bijak
Saya diam tidak mempersoalkan
apapun lagi. Kecuali bertanya dalam diri, “Apa
maksud Allah? Apa yang Allah ingin ajarkan kepada saya lewat peristiwa ini?”
supaya bisa menenangkan emosi “perasaan tidak bisa menerima”. Setelah lima menit
saya menghening dalam desakan penumpang busway. Perlahan hadir pemahaman dan
pemikiran yang lebih memberdayakan bagi diri saya. Sehingga saya sangat
mengerti, apa yang membuat kita merasa menderita, bila kebaikan yang kita
lakukan tidak berbuah kepada kita?
Ada sang bijak menasehati saya
di dalam. “Mad, apakah kamu merasa hidup
ini tidak adil? Karena kamu pernah melakukan kebaikan (memberi tempat duduk
kepada ibu hamil) sementara pada saat giliran istrimu yang hamil, tidak ada
orang yang peka untuk berdiri dan mempersilahkan istrimu duduk? Apakah kamu
menganggap, apa yang kamu lakukan itu sia-sia?”
Lalu sang bijak menasehati
dengan nada lebih tinggi “Mad, tidakkah
kamu mensyukuri atas karunia yang telah Allah berikan kepada istrimu? Apakah
kamu lupa terhadap anugerah yang Allah limpahkan kepada istrimu? Setiap istri
yang hamil mengalami proses “ngidam” tetapi itu tidak terjadi pada istrimu,
sehingga engkau tidak mengalami permintaan yang aneh-aneh. Apakah itu bukan
kebaikan bagimu? Sudah 7 kali engkau berkonsultasi dengan dokter, alhamdulillah
anakmu dalam kandung sehat dan ibunya juga sehat. Apakah itu bukan kebaikan
dari Allah?”
Allah Maha Adil
Setelah sang bijak mengakhiri
wejanganya. Saya langsung beristiqfar “Astaqfirullah”.
Dan tak lupa bersyukur “Alhamdulillah”.
Saya bersyukur, karena Allah memberi pelajaran, bagaimana cara saya menyikapi
kehidupan. Dan, bagaimana proses penyesalan, atau perasaan yang tak selaras,
tidak bisa menerima, seolah merasa tidak adil, setelah melakukan kebaikan,
tetapi merasa tidak memperoleh hasilnya. Ternyata itu terjadi karena faktor
“pembanding”. Itu terjadi karena kurang luwes dan bijaksana dalam bersikap. Sungguh Allah Maha Adil. Justru saya yang
tidak adil dengan pemikiran saya sendiri.
Beberapa saat kemudian, muncul
tulisan “Mampang Prapatan” di layar pemberitahuan keberadaan posisi halte di
atas kiri kepala pak sopir. Sayapun bersiap-siap untuk turun. Lalu saya BBM
teman saya, memberitahukan bahwa saya sudah tiba dan menantinya di tempat makan
yang kami sepakati sebelumnya.
Sungguh, silaturahim luar biasa
sekali. Seperti pengalaman dan pembelajaran hidup yang saya peroleh dalam
perjalanan untuk bertemu dengan teman saya. Sehingga, hadir pesan untuk sang diri.
“Teruskan dan tingkatkan amal shaleh”.
Ciganjur, Rabu 11 Januari 2012
Mari bersilaturahim, follow @mind_therapist
Bagikan
