Lahaula
walaquwata illabillahi
(Addu’a)
Semua
atas izin Allah
Seorang pendengar program “terapi musik” setiap minggu malam di
radio Sonora , menyampaikan uangkapan terima
kasih nya kepada nara
sumber Coach Krishnamurti. “Terima kasih
sudah membantu menyelesaikan masalah saya”. Dengan penuh bijak nara sumber membalas “Berterima kasihlah kepada Allah, karena ini
semua atas kuasa dan izin-Nya”.
Pada program yang lain. Sering terdengar
ucapan dari para dermawan yang membantu berupa dana pendidikan beasiswa kepada
orang-orang membutuhkannya, “Semua rezeki
ini dari Allah, saya hanya perantara saja”. Tatkala berobat karena sakit
yang saya alami. Dokter terbiasa mengucapkan, “Semua atas izin Allah, kita hanya berusaha semampu kita”. Kejadian
itu semua seolah menjadi tanda-tanda alam. Bahwa, tiada sesuatu terjadi kecuali
atas izin Allah.
Pengalaman
menghadirkan pemahaman
Sudah tidak bisa kita tolak lagi, asumsi “Pengalaman empiris, menghasilkan teori
nyata. Apa yang kita alami, itu kenyataannya”. Artinya, saya dan Anda tidak mungkin benar-benar memahami sesuatu hal,
sebelum mengalaminya langsung, iya kan? Seperti anak kecil ingin memahami
rasanya manis. Sehebat apapun penjelasan orang tua tentang manisnya gula, satu
kecapan di lidah, sudah cukup memadai dan mematikan seribu kata-kata
penjelaasan.
Demikian pula
yang saya alami, akan hal kata-kata, semua atas izin Allah. Suatu hari saya
mendapat kesempatan dari sepasang suami istri yang baru saja mengikuti
pelatihan NLP di kantor saya, Mind-Talks Office, kebayoran Baru, Jakarta
Selatan. Setelah selesai training, mereka sharing lebih mendalam, ada kendala
yang sedang dialami oleh pasangan tersebut. Bukan kurangnya keharmonisan rumah
tangga mereka, tetapi sang istri mengalami psikosomatis
”Suatu permasalahan yang berdampak kepada
fisik, akibat pikiran dan perasaan yang belum selaras”.
Benjolan di kelopak mata kanan
Kemudian, sang
istri menyampaikan keluhan yang dialaminya. Mata sebelah kanan terasa sakit.
Seperti ada sesuatu menetap di sana. Secara klinis
sudah ke beberapa dokter spesialist, dan tes laboratorium. Hasilnya, tidak ada
gangguan apapun di matanya. Akan tetapi, sang istri merasakan keberadaannya.
Karena, suaminya seorang praktisi pemberdayaan pikiran juga. Beliau menyadari,
kalau ini bukan pesoalan fisik, tetapi karena faktor pikiran.
Rupanya, sang
istri pernah mengalami keguguran. Efeknya, kejadian itu terus terbayang-bayang
pada ingatannya. Inti masalahnya menurut saya, karena belum ikhlasnya diri
menerima kenyataan, atas takdir yang telah Allah tentukan. Saya akui, tidak
mudah untuk langsung mengatakan ikhlas (menerima tanpa bertanya) atas keputusan
Allah. Seperti yang dialami oleh pasangan itu. Anak yang sedang beliau kandung,
meninggal dalam rahimnya.
Mengnolkan diri
Setiap sebelum
proses terapi berlangsung, saya selalu berusaha untuk menyatu dengan sang klien
sebentar saja. Untuk memahami dan merasakan, bagaimana persisnya yang dia
alami. Apa sebenarnya inti persoalan? Sebelum saya terhubung (conect to associated), biasanya saya
tidak melakukan apapun, kecuali hanya menyimak saja.
Setelah
terkoneksi, saya mengdisasosiasi (disassociated)
kembali dengan klien. Kemudian, saya baru melakukan proses terapi. Tatkala mau
menterapi, saya memikirkan strategi yang tepat untuk mencapai tujuan sang
klien, begitu cepatnya fikiran saya mencari model yang cocok (tehnik terapi) susai
sulosi yang diinginkan.
Hanya menjadi perantara
Namun, sang
kreatif saya, belum memberi signal apapun. Selanjutnya saya mengnolkan diri
saya dengan berdoa di dalam ”Ya Allah,
izinkan hamba menjadi perantaraMu membantu makhluk-Mu”. Setelah berdoa, saya menghentikan keinginan untuk menyelesaikan masalah
teman saya itu. Dan saya hanya mengikuti kata-kata di dalam diri saya.
SubhanAllah,
saya menemukan ide-ide yang belum pernah saya fikirkan sebelumnya. Juga tehnik
terapi yang belum pernah saya pelajari. Sehingga, memiliki tehnik kombinasi
dari pengalaman tersebut. Alhadulillah, cara tersebut cocok bagi sang istri
itu. Dia merasa lebih enakan dari sebelumnya. Karena solusi berupa adanya
perubahan perilaku, maka totalitas penyelesaiaan ada pada perubahan perilaku
itu sendiri.
Kekuatan
pasrah (small difference makes big
different)
Setelah selesai
terapi, saya bersyukur kepada Allah. Atas semua pengalaman yang saya alami.
Kemudian saya menyadari, ada sesuatu perbedaan proses terapi barusan, dengan
terapi-terapi yang pernah saya lakukan sebelumnya. Perbedaan mendasar adalah
saya tidak merasa lelah sedikitpun. Bahkan, seolah-olah seperti tidak melakukan
apapun. Padahal, saya sadari, setiap proses yang kita lakukan, pasti terjadi
perubahan energi di dalam diri. Apalagi terapi. Tentu lebih banyak menguras
energi.
Saya duduk
sejenak menyadari semua proses yang telah saya lakukan, dari sebelum terapi
sampai selesai. Kemudian membandingkan dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Saya yakin, tentu ada strategi berbeda yang saya lakukan. Aha !, ternyata yang
membedakan, saya mengnolkan keinginan untuk membantu. Dari pengalaman ini saya mengambil
kesimpulan, serahkan tujuan kepada Allah, dan sebagai manusia, hanya berupaya
melakukan, apa yang bisa saya lakukan (mengikuti firasat di dalam).
Ciganjur, 2
oktober 2011
Mari bersilaturahim @mind_therapist
Bagikan
