![]() |
| Karyawan atau Pengusaha? |
Tulisan ini merupakan lanjutan dari note saya sebelumnya Jangan
jadikan pekerjaan sebagai tujuan, tapi...(1). Sebagaimana janji saya kepada
Anda, sekarang saya memnuhinya, dan menuntaskan apa yang telah saya mulai.
Pilihan ada di tangan Anda
Namun, Pak
Johny juga menceritakan perbedaan, bila memutuskan menjadi pengusaha. Setidaknya ada dua hal. Sehingga, hal itu membuat para profesional rela membuang
kemewahan dan memulainya dari bawah. Bahkan beliau termasuk di antaranya. Pak
Johny menjelaskan;
”Yang pertama adalah waktu. Saya ingin menentukan waktu saya sendiri. Di kala sibuk, saya
memang bekerja 18 jam sehari dan 7 hari seminggu. Ini akan sangat sering
terjadi, terutama di awal-awal mengerjakan bisnis Anda. Namun, sebagai
gantinya, di waktu senggang, saya bebas menetukan waktu. Saya bebas jalan-jalan
bersama keluarga dan teman-teman. Menyenangkan bukan?
Yang keuda, kebebasan.
Sebagai pengusaha, saya adalah pemilik kebebasan. Saya bebas membuat keputusan.
Saya tidak perlu meminta izin atasan. Memang dampaknya berbeda. Sebagai
karyawan, perusahaan akan menanggung kesalahan saya. Namun, sekarang saya yang
akan menanggungnya”.
Pekerjaan bukan sebagai tujuan
Setelah
menceritakan kedua artikel di atas kepada ibu Diana. Lalu, saya menambahkan
dengan pemikiran yang hadir dalam kepala saya. Berdasarkan perasaan yang saya
dapatkan dari memahami emosi di balik kata-kata, pada inti masalah di atas.
Saya hanya menyarankan ”Jangan jadikan pekerjaan sebagai tujuan,
tetapi cukup sebagai jembatan atau batu loncatan, menuju cita-cita yang ibu Diana
inginkan”. Karena menurut saya, kondisi dilematis yang ibu Diana alami
sekarang, disebabkan oleh, ibu Diana menjadikan pekerjaan atau bisnis yang
ditawarkan oleh temannya, sebagai tujuan.
Kebebasan memilih secara mutlak (freewill)
Sementara itu,
pernahkah Anda mendengar atau membaca konsep mengenai freewill? Supaya lebih menguatkan sudut pandang di atas, saya menuaikan pejelasan
tentang kebebabasan memilih ini, kepada ibu Diana.
Saya pertama
sekali menerima konsep freewill itu,
saat mengikuti pelatihan Managemen Kualitas Diri di Situ Gintung.
Fasilitatornya Ustaz Supardi Lee. Beliau menjelaskan. ”Pada dasarnya, setiap manusia memiliki kebebasan untuk memilih secara
mutlak pada awalnya. Namun, setelah itu, kebebasan memilih jadi terbatas,
karena harus menerima konsekwensi dari pilihan tersebut”.
Beliau
mencontohkan. ”Untuk menjadi muslim, itu
adalah pilihan, bukan karena garis keturunan. Jadi, mau memeluk kristen,
Buddha, Hindu atau agama apapun, saya bebas memilihnya. Dan ternyata, saya
memutuskan secara sadar, Islamlah pilihan saya”. Kata beliau. ”Nah, setelah saya memilih, maka saya harus bertangung
jawab terhadap sesuatu yang
mengikat dengan pilihan saya. Apa itu? Aturan-aturan yang di tentukan oleh
islam, mau suka atau tidak suka, saya kudu mengikutinya”. Ustaz Supardi Lee
menjelaskan dengan penuh meyakinkan.
Paket kereta Ekonomi Vs Eksekutif
| Ekonomi Vs Eksekutif |
Kemudian, untuk
menjelaskan bagaimana bertangung jawab dengan pilihan itu. Saya teringat dengan penjelasan seorang guru. Dia membuat metafora seperti perjalanan
ke luar kota, menggunakan kereta. Kalau kita berangkat
naik kereta ekonomi, harga yang kita keluarkan lumayan terjangkau, dan sangat
murah. Tapi, di dalam nya ada paket yang tak dapat kita tolak. Tidak bisa tidak
menerima berupa : Kalau, ada kereta eksekutif lewat, maka ekonomi antri jalur
dulu sebentar. Terus, di dalamnya berdesakan. Ada ayam nya juga. Penjual
asongan selalu menjajakan makanan tiap stasiun. Panas sudah pasti. Namun, bisa
sangat dingin, via AC alam, angin yang berhembus karena kaca jendela terbuka
saat malam hari.
Tapi, kalau
pakai kelas Eksekutif. Kita
harus membayar lebih mahal. Meski demikian, kita mendapatkan paket berupa; Tempat duduknya dua-dua, terbuat dari
bahan yang empuk. Sandaranya bisa di rebahkan. AC
nya, kalau malam hari kedinginan dan harus pakai selimut. Kalau siang hari
membuat perjalanan terasa adem. Mau tidur, insyAllah mata bisa terpejam. Mau
makan, tinggal panggil, ada yang melayani. Atau menuju keruang cafe.
Semua adalah pilihan
Semua ini
adalah pilihan. Seperti artikel pak John di atas. Pilihan ada di tangan Anda.
Biasanya, pilihan itu menjadi bijak, tatkala kita menyadari, pilihan itu sebagai
alat atau cara, bukan sebagai tujuan. Tetapi, bila menganggap pilihan sebagai
tujuan, maka kesulitan dalam memilihpun, menjadi persoalan baru.
Selain itu,
saya tidak menyarankan apa-apa lagi, kecuali mengajak ibu Diana, supaya lebih
menyadari diri seutuhnya hidup di dunia. Sebagai siapa hidup di dunia ini?
Untuk apa diberikan kesempatan oleh Allah hidup di dunia ini? Karena, saat alam
diciptakan, segala sesuatu sudah Allah tentukan secara proporsional. Para
pejalan spiritual sering menggunakan istilah, sesuai kodratnya masing-masing.
Hidup penuh manfaat karena hidup hanya sekali
Akhirnya, saya
menutup balasan surat kepada ibu Diana. Hidup hanya sekali. Mari kita menjalaninya penuh makna. Seuai kodrat kita masing-masing. Ayam
itu kalau bersuara berkokok, Anjing mengonggong, bebek kwek-kwek. Kambing dan
sapi di antara maksud kehadiran mereka, menjadi hewan
qurban (persembahan) manusia, tanda ketaatan makhluk kepada sang pencipta.
Bila
hewan-hewan itu Allah tetapkan sesuai kodratnya masing-masing. Terus, apakah
kita sudah seperti kodratnya kita sebagai manusia? Maafkan, sharing ini saya
akhiri dengan pertanyaan ya...
Rahmadsyah Mind-Therapist
Ciganjur, Selasa, 27 Desember 2011
Ikuti Workshop KOMUNIKASIH, 28
januari 2012
Mari
bersilaturahim, follow @mind_therapist
Dapatkan
e-book “Explore Your Potentials”
Gratis, Klik download
Bagikan
