”Bila hujan
turun, ayam akan mencari tempat untuk berteduh, dan bebek akan bermain di air.
Semua akan kembali kepada kodratnya masing-masing”.
#Gede Prama
Kisah remaja buta
Seorang guru mengisahkan kepada para muridnya. Di
Korea, teradapat keluarga dari salah seorang menteri pejabat Negara, memiliki
seorang anak yang tidak lengkap indera nya. Yaitu tidak bisa melihat, alias buta. Semenjak lahir, sang
anak memang sudah tidak bisa melihat apa-apa.
Suratan takdir tidak bisa ditolak,
memang begitulah nasib sang anak. Meski demikian, keluarga terus berusaha
mengaharapkan keajaiban. Langkah mencari dokter spesialistpun mereka lakukan.
Dengan harapan mungkin meiliki cara agar sang anak bisa menglihat. Dan cara itu
adalah menggantikan matanya dengan pendonor mata. Tapi itu sangat sulit, bahkan
orang mati saja, tidak mau matanya didonorkan. Sampai pada usia sang anak 17
tahun. Seorang dokter memberi kabar, ada orang yang rela mendonorkan matanya.
Remaja menerima kondisinya
Karena terlahir dengan mata
tidak bisa melihat, sang anak yang telah menjadi remaja, menerima kondisi itu
seutuhnya sebagai bagian dari kehidupan. Tidak ada keluhan baginya. Namun,
orang tuanya tetap berusaha dan mengupayakan yang terbaik bagi remaja tersebut.
Orang tuanya yakin, kehidupan anaknya akan lebih sempurna, jika anak mereka bisa
melihat indah nya matahari terbit dan terbenam.
Operasi berjalan lancar
Setelah mendapat orang yang
mau mendonorkan mata. Operasipun dijalankan. Perpindahan bola mata itu
berlangsung selama 3 jam. Saat dia bisa melihat cahaya, orang pertama yang
terlihat adalah Ayah dan ibunya. Karena operasi berhasil, tentu ayah dan ibunya
bahagia. Dokter yang membantunya pun, juga turut ikut bahagia.
Tetapi tidak dengan anak
remaja itu. Dia mulai kehilangan keseimbangan dalam berjalan. Bahkan
dia mulai mengenal kembali satu persatu setiap benda yang dia lihat. Karena
dulu mengandalkan feeling (kinesthtic) nya. Bahkan, yang sangat membuatnya
menderita, melihat ekspresi wajah-wajah orang bertengkar. Pembunuhan, demo, dan
hal-hal yang dulunya tidak membuat dia menjadi tersiksa...
Sampai dia berkata kepada Ayah
dan Ibu nya, ”Pada saat kalian
menjalankan operasi ini, mengapa tidak meminta pendapatku? Apakah aku
membutuhkan nya atau tidak?”
Jangan menawarkan makan kepada
orang yang kenyang,
Jangan menuangkan air kedalam
gelas yang penuh.
#NasehatDiri
Siapa yang membutuhkan?
Dalam beberapa kasus, saya
pernah mendapatkan pertanyaan dari teman-teman saya, terutama yang di facebook.
Kalimat yang mereka ucapkan kurang lebih seperti ini :
- ”Mas, kalau suka nyalahin orang lain, apakah bisa diterapi? Di tempatku berkerja, ada orang seperti itu, bisa bantu terapi dia?”
- ”Mas, anak saya suka sekali menari-nari, bahkan sedikit diamnya. Tidak seperti kebanyakan anak kecil, bisa bantu terapi dia agar tenang?”
- ”Lalu apa yang harus saya putuskan terhadap masalah saya ini?”
Menurut Anda, pertanyaan di
atas, hakekatnya siapa yang membutuhkan? Saya sering menjawab dengan :
- ”Apakah teman Anda itu merasa kalau dirinya butuh untuk diterapi? Atau mungkin Anda yang memerlukan terapi, agar bisa menerima kenyataan hidup, memiliki teman di kantor suka menyalahkan orang lain?”
- ”Ibu, setiap anak memiliki kecerdasan dan keunikan masing-masingkan?” untuk yang no 2 ini, teman saya yang seprofesi sebagai Trainer & Mind-Therapist, lebih ekstrem merespon ”Enak aja lho minta bantu terapi, yang punya anak kamu kan? Apa ini artinya mau melepas tanggungjawab mendidik anak? Yang butuh terapi kamu, agar mau bertanggung jawab dengan belajar memahami psikologi anakmu, tau kecendrungan gaya belajar dan kecerdasannya. Sehingga kamu mengetahui, bagaimana mendidik anak hebat seperti anak mu itu” (maafkan bila kata-kata shahabat saya itu kurang nyaman bagi Anda ya?)
- ”Yang menjalani hidup ini adalah kamu, kok saya yang memutuskan?”
Ukuran sepatu kita berbeda
Dulu saya pernah terjebak,
ingin mengikuti langkah-langkah yang dilakukan oleh para Trainer & Mind-Therapist, yang lebih dahulu menjalankan misi
(profesi) ini. Sehingga saya menganggap, apa yang cocok bagi mereka, juga pas
bagi saya. Padahal, secara ukuran sepatu saja berbeda. Tidak ada yang salah
mengikuti strategi orang-orang yang berhasil di bidangnya. Tetapi, tetap pada
kesadaran ”Bila hujan turun, ayam akan
mencari tempat untuk berteduh, dan bebek akan bermain di air”.
Baik bagi kita,
belum tentu untuk orang lain
Terkadang, entah karena
berfikir dan merasa sangat mengetahui. Atau karena merasa memiliki kuasa.
Saya menganggap, apa yang baik bagi saya, akan juga baik bagi orang lain? Padahal,
belum tentu. Sehingga tidaklah heran, terkadang permasalahan muncul
gara-gara ini. Biasanya saya sering mendapat curhat dalam konteks, kuliah,
karir dan jodoh. Permasalahan yang muncul karena, antara keinginan orang
tua, dan kemauan pilihan sang anak.
Padahal kalau kita mau bijak,
cukuplah mengajukan pertanyaan ini kepada diri ”Siapa yang membutuhkan? Apakah dia/mereka yang membutuhkan? Atau aku?”
Maafkan mengakhiri kalam ini dengan pertanyaan...
Ciganjur, 12 september 2011
