”Manusiakan manusia. Jika dia butuh senyum, maka berikan senyum. Bila
dia ingin sanjungan, pujilah ia. Seandainya dia membutuhkan perhatianmu, maka
berikan perhatian untuknya”.
Dilema
Sering sekali saya merasa
tergoda oleh nya. Setiap kali melihat pengumuman facebook di sisi kanan halaman
beranda saya. Mungkin Anda tau. Itu, di sisi kanan atas, ada gambar persegi-empat berwarna pink. Di
tengah bagian atas dan sisi kiri agak masuk ke dalam. Ada pita berwarna merah.
Pertemuan antara sisi
kiri dan kanan saling menyilang, berhiaskan bunga terbuat dari lipatan pita tersebut.
Biasanya sering orang hias untuk sebuah kado. Dan, bisa jadi, gambar itu
sendiri mendeskripsikan—akan pengumuman itu sendiri—yakni, pemberitahuan ulang
tahun.
Adapun godaan dalam diri
saya berupa, keinginan untuk mengklik link berakun fulan tersebut. Namun,
bersamaan itu. Ada sisi dalam diri saya, enggan melakukannya. Keengganan itu
berbentuk suara dalam pikiran saya. Asal suara di sisi kanan atas. Persis di
atas telinga kanan saya.
”Buat apa menyampaikan ucapan basa basi ini. Kamu tidak mengenal sedikit
pun tentang orang itu. Terkecuali membaca info yang bersangkutan”. Saat itu
pula, ada sisi yang berhasrat mengklik dan memberi komentar—bentuknya berupa
suara juga, posisinya dari sisi tengah dada saya—membalas, ”Inikan hari kebahagiaannya. Meski tidak
kenal, ya sampaikan saja ucapan selamat ultah. Kan, ada pahala membuat orang
lain senang”.
Sekedar basa-basi
Itulah yang sering sekali
terjadi dalam diri saya. Terkadang, si enggan (saya menamai yang tidak suka
basa-basi) menang. Jadi saya tidak mengklik dan kemudian tidak mengomentari
apapun. Dan sering pula, si ”hasrat” mengungguli si ”enggan”. Sehingga, ucapan
selamat ulang tahun terukir di
kolom komentar teman saya.
Bahkan, tidak jarang, terkadang saya hanya melakukan sebatas basa basi saja.
Supaya dianggap orang peduli. Padahal, tidak tulus.
Namun, akhir-akhir ini,
pertengkaran sengit antara si enggan dan hasrat mulai berkurang dalam diri
saya. Hal ini terjadi, semenjak saya mempunyai pola pandang baru mengenai
”basa-basi”.
Memangnya ada apa dengan
basa-basi, sampai seolah-olah itu menjadi sebuah persoalan bagi saya?
Sebenarnya, kalau saya mau menjadi diri saya apa adanya, tidak ada yang keliru
dan salah dengan basa-basi. Yakni, saya tidak suka yang namanya basa-basi.
Karena, saya lebih suka blak-blakan saja.
Mengubah sudut pandang
Akan tetapi, perjalanan
waktu. Saya pernah berjumpa dengan beberapa orang teman, di mana baginya,
basa-basi itu sungguh sangat penting. Karena, tolak ukur peduli sesama,
permukaan awalnya, ya basa-basi itu menurutnya.
Bagi orang seperti ini, saya pernah mempunyai pengalaman. Perhatian yang
sekedar pemanis saja (basa-basi palsu), baginya sudah sangat luar biasa.
Dari pengalaman inilah,
saya menyimpulkan. Basa-basi itu perlu saya lakukan untuk orang lain. Jika ada
orang basa-basi kepada saya, maka saya harus menghormati pola hidup orang
tersebut.
Kejadian ini membuat saya
teringat dengan pesan sang Guru. ”Manusiakan
manusia. Jika dia butuh senyum, maka berikan senyum. Bila dia ingin sanjungan,
pujilah ia. Seandainya dia membutuhkan perhatianmu, maka berikan perhatian
untuknya”.
Semenjak cara pandang
saya seperti ini. Terkadang saya bisa basa-basi tanpa rasa berat. Demikian pula
dengan blak-blakan. Saya hanya perlu menyesuaikan, kapan, di mana, dan kepada
siapa saya butuh berbasi-basi? Juga, kepada siapa pantas untuk terang-terangan
(blak-blakan).
Ciganjur, Rabu, 18 Juli
2012
Bagikan
