Pelaku seni ala Gypsi
Anggapan ini tercetus, tepat setelah saya menuntaskan jelajah
cerita perjalanan teman saya Daurie bintang ke Kediri. Kisah yang dia abadikan
pada note facebooknya, “Catatan
perjalanan Kediri: Jejak Pram, Odong-odong dan Ketoprak”.
Berawal dari perjalanan dalam kereta ekonomi dan segala
bentuk ornamennya. Perjalanan dengan odong-odong keliling kota, termasuk ke
Petilasan Arya Kamandanu. Hingga, menyaksikan atraksi seniman Sanggar Seni Ketoprak
Suryo Budhoyo.
Nah, yang menarik bagi saya dari cerita perjalanan itu.
Sekelumit peristiwa nan bermakna di pagelaran Ketoprak oleh para pelaku seni
ala gypsi--meminjam istilah yang
dipakai oleh Daurie. Para pelaku seni ini lintas usia. Dari anak-anak hingga
kakek. Bahkan, ada yang keluarga besarnya merupakan para lakon. Suami, istri
dan anak. Semuanya ambil bagian pada porsinya masing-masing.
Harga tiket Rp. 2000,-
Hal menarik adalah, mereka melakukan pementasan hampir setiap
malam. Jumlah mereka—para lakon—sekitar 40 orang. Sementara yang menetap di
atas tanah warga dusun setempat, berjumlah 17 orang. Setiap penonton hanya
menyiapkan uangnya, tidak lebih seharga tiket parkir satu jam pertama di
Mall-mall besar ibu kota Jakarta. Cukup Rp.2000 saja. Mereka bisa menyaksikan
pertunjukan tersebut selama 3 jam. Mulai pukul 21.00 hingga 24.00wib.
Setiap malam, rata-rata orang-orang yang datang duduk
menikmati pertunjukkan Ketoprak sekitar 3 sampai 10 orang. Itu berarti, semalam
mereka memperoleh uang sebanyak Rp.6.000,- sampai Rp.20.000,-. Bisa Anda
bayangkan, sementara jumlah manusia yang menetap pada sanggar tersebut sekitar
17 orang. Dan sepatutnya kita mempersembahkan apresiasi tertinggi. Karena mereka
tetap melakukan pementasan setiap malam. Tanpa peduli, berapa jumlah
penontonnya.
Kami melakukannya dengan jiwa
Cerita keistiqamahan para pelaku seni ala gypsi ini, membuat
antena penasaran saya memutar-mutar mencari tahu latar belakang perilaku mereka.
Sebagai praktisi bergelut di bidang pemberdaya pikiran. Saya sangat faham.
Perilaku pada setiap manusia, tidak ada yang spontan. Semuanya ada program
perintah tersembunyi dalam kamar rahasia bernama pikiran. Apakah Anda mau
menyebutnya sadar atau bawah sadar. Namun, ia ada dalam tatanan pikiran.
Lalu, saya menulis komentar pada catatan tersebut.
“Rie, yang aku suka dari kisah
perjalananmu ini--KEISTIQAMAHAN--Sanggar Seni Ketoprak "Suryo
Budhoyo". Aku berharap cerita belum tersampaikan "apa jawaban mereka
atas pertanyaanmu -- Apa yang menyebabkan mereka mau terus mentas meski
penontonya 10 orang?" Biasanya kamu tanyakan? Aku harap juga saat itu. Aku
nanti sharingnya ya...”
Hanya berselang satu menit kemudian. Muncul pemberitahuan mention akun saya
pada tanda notifikasi sudut kiri atas. Samping inbox. Lalu, saya membaca isi
balasan komentar teman saya Daurie.
“Rahmadsyah, jangankan 10 orang, 1 orang penonton atau gak ada yg nonton
sekalipun mereka tetap pentas:) jawaban pertanyaanmu sederhana
: "ini adalah laku hidup, kami menghidupi seni dan bukan sebaliknya, kami
melakukannya dgn jiwa", itu jawaban mereka saat kutanyakan ttg sedikitnya
penonton :)”.
Jawaban balasan Daurie memuaskan saya.
Bahkan, saat saya membaca jawaban para pelaku seni atas pertanyaan. Apa yang
mendasari mereka tetap melakon meskipun hanya satu orang pemirsanya? Setiap
malam lagi. “Ini adalah laku hidup. Kami
menghidupi seni, bukan sebaliknya. Kami melakukannya dengan jiwa”.
Kami menghidupi seni bukan sebaliknya
Sungguh saya merasa tersindir. Malu
bercampur aduk taubat niatan dalam pementasan pelatihan. Bagi saya, jawaban di
atas menyiratkan makna, betapa mereka sangat menghargai karyanya. Apalagi
kata-kata “Kami menghidupi seni, bukan
sebaliknya”. Kalimat itu semacam telapak tangan besar mendarat ke pipiku.
Selama ini saya larut menikmati hasil
karya. Sementara penghargaan saya terhadap karya saya sendiri, hanya sekedar
saja. Dari gambaran teman saya pada catatannya. Seakan, para seniman itu,
memposisikan karya sebagai wujud yang hidup. Bukan mati. Sementara saya,
sekedar menyiapkan ruang bagi karya saya sendiri, barang untuk diperjual
belikan. Contohnya, jika ada peserta main-main dan tidak mempraktekkan materi.
Saya menganggap itu hak mereka. Saya memakai asumsi “Ya itu hak Anda. Toh buat Anda juga”.
Mengkulturkan karya
Dari sini saya memahami. Mengapa
beberapa trainer sangat keras dalam hal pengkulturan ilmu saat proses belajar
mengajar. Bahkan, ada yang meminta peserta keluar, jika tidak mau
sungguh-sungguh. Di pontren NLP, guru saya Ki Noeryanto A Dhipuro sering
berwasiat. “Hindari menjawab atau
menjelaskan suatu ilmu, jika bukan hak dan jatahmu. Meskipun kamu sangat
menguasai ilmu tersebut”.
Rupanya, ini bukan persoalan
keikhlasan dan kedermawanan dalam hal ilmu. Akan tetapi, lebih kepada
memuliakan ilmu itu sendiri. Dan saya juga teringat, program MTGW di Batam,
yang tayang 28 Mei kemarin. Pak Mario menyarankan kepada salah seorang penjual
baju, tas, dan pakaian lainnya. Agar mengkulturkan barang yang mereka jual.
Sebab, lewat transaksi barang itu, Tuhan mengantarkan rezeki berupa uang,
melalui tangan pelanggan.
Nah, bagaimana barang dagangan cepat
laku? Disukai oleh orang banyak. Sementara jika penjualnya sendiri, tidak
menganggap ada barang tersebut. Hal ini terlihat, dari cara meletakkan.
Menunjukkan kepada pelanggan. Dan menjaga barang yang belum terjual.
Menghargai karya
Kembali ke cerita para pelaku seni.
Sungguh, cara mereka mengkulturkan karyanya, menginspirasi saya untuk lebih
menghargai ilmu. Terutama program-program pelatihan yang saya tawarkan. Memang
benar, hak peserta menggunakan materi yang saya fasilitasi atau tidak. Namun,
secara penghargaan, saya harus menganggap karya-karyaku itu hidup. Seperti IP
Man menghidupkan manusia kayu.
Karena, hanya saya sendiri yang bisa
menghargai lebih. Dan saya, tidak boleh mengharapkan orang lain melakukannya.
Seandainya pun itu terjadi. Sebenarnya peserta pelatihan sedang menghargai
miliknya sendiri. Sebab, apa yang mereka terima dari penjelasan di depan kelas.
Semua pemahamannya menjadi milik mereka.
Terima kasih kepada Daurie telah
membagikan pengalamannya. Dan khususnya untuk seluruh seniman di Sanggar Seni
Ketoprak Suryo Budhoyo, Kediri.
Dan sudahkah Anda menghargai karya
Anda? Maafkan mengakhiri cerita ini dengan pertanyaan.
Ciganjur, Kamis, 31 Mei 2012
Bagikan
